Oleh: Yudi Cholil Sodiq*
KOLOM KALEM | NUGres – Pada saat saya kuliah di Malang tahun tahun 70/80-an, ketika bulan Ramadhan datang, ada kerinduan yang dalam. Suasana hati “kangen” yang tidak bisa dilukiskan. Dan timbul kelebatan bayang-bayang atau khayalan yang khas Gresik-an yaitu Tradisi Pasar Bandeng di penghujung akhir ramadhon malam Songolikur.
Sayup-sayup seolah terdengar lagu seniman Oslan Husein “Selamat Hari Lebaran” yang melegenda.
Barangkali ini adalah rasa yang terpupuk sejak masa anak-anak. Tarikannya amat sangat kuat, seperti ada tanda yang membekas di lubuk paling dalam, dan sulit untuk terhapuskan.
Di sana ada kerinduan untuk senda-gurau. Tertawa ngakak dengan teman sebaya, dan mampir untuk bermain. Menikmati pemandangan di deretan lapak atau bedak-bedak yang digelar para penjual di tepi jalan sepanjang Samanhudi.
Jalan Samahudi yang dulu kala bernama Jalan Niaga Gresik. Dan memang, sejak zaman Belanda di sana sampai sekarang adalah pusat perniagaan.
Di Pasar Bandeng, bermacam-macam dagangan miniatur khas mainan anak-anak. Seperti mobil-mobilan, kapal-kapalan, mainan alat masak-memasak, timbangan, mainan alat rumah tangga dan produk gerabah terakota yang lucu dan menggemaskan.
Pada tahun 2000-an sampai sekarang, ketika menikmati kesibukan bekerja di Jakarta, di antara kapal-kapal tanker minyak BBM, Mall dan Cafe-cafe. Diantara lalu lalang alunan Avant Garde Jazz Miles Davis dan Chick Corea, saya kira ingatan tentang Pasar Bandeng sudah sedikit banyak terkikis. Tapi ternyata keliru, apalagi disaat-saat mau tidur dan mata menerawang jauh diujung serpihan-serpihan masa lalu.
Tidak terasa, air mata ngecembeng dan tak terbendung menetes perlahan sekuat tarikan rindu yang berkecamuk. Bayangan Pasar Bandeng menyeruak muncul tak disangka-sangka.
Kekuatan tradisi bagaikan “roh” manusia. Yang tanpa itu dapat dipastikan mati suri atau mati klepek. Tradisi turun-temurun bagaikan sari pati atau kaldu yang menyedapkan hiruk pikuk kehidupan yang profan. Kehidupan kekinian yang dijejali perkembangan tehnologi IT yang luar biasa.
Saat pulang kampung dan menghadiri tradisi Pasar Bandeng, seolah kehidupan yang mekanik-hedonis kita tinggalkan sementara. Kita ikuti ritus apa adanya bak seorang anak kecil yang seolah dilepas bermain dalam arena bermain yang menyenangkan.
Seperti halnya tradisi, giat itu, pasar bandeng itu, adalah sebuah kesadaran kolektif dari suatu masyarakat Gresik. Ia tidak dipaksa untuk diadakan seperti pasar malam atau bazar yang pada umumnya diadakan oleh instansi tertentu. Ia adalah denyut nadi dari masyarakat. Denyut nadi Wong Gresik.
Pasar Bandeng, ibarat suatu “ritus” untuk rileks sejenak. Suatu majelis untuk merenung dan tafakur dari kegiatan kerja yang amat duniawi di kota.
Kita memang sedang mencari satu sudut, dimana, ditempat itu, ada space untuk cari tahu suatu “enigma” kehidupan, dan mengendorkan otot-otot pikiran yang penat. Semoga.
*Yudi Choliq Shoiq, Nahdliyin Gresik tinggal Kelurahan Sukodono.