BUNGAH | NUGres – Menjaga Hak Allah dan pentingnya sikap malu menjadi pembahasan utama dalam Lailatul Kopdar MWCNU Bungah, Selasa (4/4/2023), di Kantor MWCNU Bungah. Pengajian kitab Arbain An-Nawawi pertemuan ke-10 ini telah menapak pembahasan hadist ke-19 dan ke-20.
Hadits itu dibacakan oleh Ustaz M. As’ad, Guru Sejarah MA Assa’adah, selaku Wakil Sekertaris MWCNU Bungah. Ia merupakan santri Qomaruddin yang melanjutkan pendidikan S1 dan S2 di Yogyakarta.
Hadits ke-19
Dalam kesempatan kali ini Ustaz M. As’ad mengartikan hadits ke-19 dengan “Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu, jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan, maka mohon pertolonganlah kepada Allah.”
Penjagaan terhadap Allah dalam hadits ini dalam penjabaran Qori’ bukanlah penjaagaan secara harfiah, karena Allah adalah dzat yang berkuasa dan paling perkasa. Tetapi dimaknai menjaga hak-hak Allah berupa menjaga syariat yang sudah ditetapkan oleh-Nya, melakukan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Qori’ menuturkan bahwa konteks redaksi hadits ke-19 bukanlah hanya diperuntukan (khitob) bagi Abdullah bin Abbas sebagai wasiat Nabi, tapi untuk umat muslim secara keseluruhan.
Sebagai muslim kita harus menggantungkan semua urusan kita kepada Allah, berdo’a dan meminta pertolongan hanya kepada-nya, tidak boleh kepada selainnya. Jika kita menggantungkan kepada selain-Nya, maka potensi kerusakan sangat banyak. Dapat berbuah kekecewaan hingga penyesalan akan meliputi kita semua, karena hanya Allah yang Maha Sempurna, selain-Nya tidak “imbuh beliau”.
Beliau memberi contoh jika kita berobat misalnya kita tidak boleh meyakini bahwa dokter adalah orang yang memberi kesembuhan, tapi Allah lah yang menyembuhkan. Sikap demikian bukan berarti kita hanya pasrah berdiam diri di rumah karena yakin Allah yang menanggung urusan kita, tetapi kita tetap harus melakukan pengobatan dan pasrah atas ketentuan-Nya.
Melanjutkan hadits tersebut, Qori’ menuturkan, “Dan seandainya manusia bersatu untuk memberi kemanfaatan atau mencelakakan seseorang, maka mereka tidak akan mampu melakukannya, kecuali dengan suatu yang telah Allah tuliskan dan ditetapkan akan menimpanya. Pena telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering”.
Dalam hal ini Qori’ menjelaskan pentingnya sikap penyerahan diri secara penuh atas ketentuan Allah. “Kita tidak boleh bergantung terhadap usaha-usaha yang sudah kita lakukan. Beliau memberi contoh bahkan jika kita mencintai seseorang dan berharap menikahinya, sekuat tenaga berusaha. Jika Allah tidak menjadikan dia jodoh kita, meskipun kita sampai memindahkan gunung sekalipun, tidak akan terjadi”.
Hadits ke-20
Pembacaan hadits selanjutnya diartikan oleh Qori’ dengan, diriwayatkan dari Abu Masud Uqbah bin ‘Amr Al Anshari bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah diketahui oleh manusia dari pesan kenabian yang terdahulu: jika kamu tak punya malu, maka berbuatlah sesukamu. (HR. Al Bukhari).
Dalam penjelasan Qori’, hadits ini adalah bentuk khabar yang menyimpan makna amar tahdid dengan maksud “Jika kamu tidak punya punya rasa malu, maka lakukanlah semaumu. Maka niscaya kamu akan celaka”. Pnggunaan amar lil-tahdid yang biasa kita dengar adalah ketika kita menyuruh anak turun dari atas pohon dengan kata “naiklah” bukan “turunlah”.
“Sikap malu disini bukan juga seperti malu bertanya atau malu dengan kondisi lahiriyahnya, tapi malu dalam melakukan kemaksiatan terhadap Allah dan malu terhadap-Nya jika tidak melakukan kebaikan yang bersifat mubah dalam artian yang membawa kita dalam ketaqwaan. Karena itu kita diperintah untuk menjaga sikap malu agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan dan selalu dalam koridor ketaqwaan,” tutup Qori’.
Wallahu A’lam