Oleh: Ahmad Rofiq*
Tauhid tidak bisa diterapkan secara membabi-buta. Karena Tauhid yang diterapkan secara membabi-buta akan menjerumuskan pelakunya pada kesombongan dan sikap jumawa. Tauhid biar tetap berjalan di rel yang benar harus dikawal dan disertai dengan etika.
Tawassul, ber-wasilah atau menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai perantara dalam hubungan kita dengan Allah SWT sebenarnya hanyalah soal strategi dan etika dalam berkomunikasi. Namun bagi orang yang tidak setuju, tawasshul dikatakan sebagai tindakan bid’ah, syirik atau istilah-istilah yang menyakitkan lainnya. Padahal, ber-tawassul adalah satu upaya realistis dalam menjalani tahap-tahap berkomunikasi.
Jika Anda orang awam dan ingin meminta atau menyampaikan sesuatu pada presiden, maka Anda harus melewati tahap-tahap yang telah ditentukan. Tidak bisa Anda langsung menemui presiden atau menelpon beliau untuk menyampaikan permintaan Anda. Pada awalnya perlu bagi Anda untuk melobi orang-orang yang punya kedekatan dengan presiden. Anda berkomunikasi pada orang tersebut, dengan harapan orang tersebut bisa menyampaikan permintaan Anda pada bapak presiden.
Ber-tawassul pada seseorang yang diyakini punya kedekatan khusus dengan Allah SWT (para wali, orang-orang Soleh) masih diperselisihkan. Bagi yang tidak setuju bahkan hal itu dianggap sebagai perilaku yang merusak tauhid. Yang hampir semua kalangan setuju adalah ber-tawassul dengan amal soleh. Artinya, kita menjadikan satu amal soleh sebagai wasilah untuk memohon pertolongan pada Allah SWT. Ini relatif disepakati hampir semua golongan (muttafaq alaih). Sebab berdasarkan hadits sohih yang menceritakan tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua. Ketiganya mendapatkan pertolongan dari Allah SWT setelah ber-tawassul dengan amal soleh mereka.
Inilah yang dilakukan warga Nahdliyyin di malam Nishfu Sya’ban. Misalnya dengan membaca surah Yasin tiga kali atau melakukan amalan-amalan Sunnah lainnya. Kita tahu, membaca surah Yasin adalah salah satu amal kebaikan. Dan amal kebaikan yang kita lakukan itu kita jadikan wasilah untuk meminta pertolongan Allah SWT. Misalnya, meminta panjang umur, Rizki barokah, terhindar dari balak, Khusnul khatimah dan sebagainya.
Kenapa harus tawassul, kenapa tidak langsung minta pada Allah SWT? Jika Anda melontarkan pertanyaan semacam ini, itu sama dengan bila Anda bertanya, “Kenapa kalau ingin kenyang harus dengan makan nasi, bukankah yang memberi kenyang atau lapar adalah Allah? Kalau sakit kenapa harus ke dokter atau minum obat, bukankah yang memberi kesembuhan dan kesehatan adalah Allah SWT?”
Pada prinsipnya, asal dalam hati kita selalu meyakini bahwa segalanya dari Allah SWT, bukan dari selain DIA, maka tauhid kita masih steril. Sehingga apabila secara lahiriah kita meminta tolong pada makhluk (orang atau apa saja), maka itu semua adalah bagian dari etika berkomunikasi kita dengan Allah SWT. Inilah sedikit penjelasan ilmiah tentang amaliyah-amaliyah warga nahdliyyah
BERSAMBUNG
*Penulis adalah Sekretaris LDNU Gresik, penulis buku “Jagat Kiai Gresik: Nuansa Islam Nusantara”