Esai Mardi Luhung*
Musim
Musim adalah bagian dari waktu. Waktu di mana kita berada. Dan musim itu gampang berganti wujud. Kadang dingin, panas, setengah dingin, kering, atau malah tak menentu. Dan semua itu belum ditambah dengan musim yang lain. Musim yang berat. Yaitu musim pagebluk. Musim, di mana, wabah menyerang. Menyerang tanpa permisi. Menyerang manusia. Dan itu membuat nalar yang lurus mesti diliukkan. Dan kebiasaan yang ada mesti digeser. Mungkin digeser sedikit. Atau malah menjadi lelompatan yang mengejutkan. Nah, berkenaan dengan musim yang berat. Yang membuat kebiasaan manusia yang ada digeser, cerita-cerita kecil ini disajikan.
Ruang
Ini musim yang berat. Bekerja di rumah. Ngambil jarak dengan orang lain. Dan mesti terus menjaga kesehatan. Jadinya, bagi yang kesepian akan main sosmed: WA, atau bikin pertunjukan/permainan via online. Atau langsung digelar di balkon. Dan dari gedung lain sekian penonton pun menonton dari jendela atau balkonnya. Jauh. Dan jauh. Pernahkah kita mengimpikan hidup semacam ini? Hidup yang antara satu dengan lainnya mesti berjauhan. Tentu saja tidak bukan. Tapi mau apa lagi. Hidup semacan ini benar-benar nyata. Suka atau tidak, mesti diterima agar cepat berlalu. Ya, pelan-pelan kita mesti sadar, jika ruang yang ada di sekitar adalah karunia terindah yang dititipkan olehNya. Sayang, itu kerap tak tersadari.
Hebat
Ada video menarik. Yang dikirim teman dalam satu group. Adegannya: ada wajah di balik pintu. Terus nongol dan berkata: “Gak duwe duwek blas…” terus wajah itu balik ke balik pintu. Seperti tak ada apa-apa. Aku pun tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasa. Sebab, aku merasa ini bukan sesuatu untuk kelucuan. Tapi sebuah keberanian yang tak terkira. Keberanian untuk tetap bertahan. Yang meski sudah: “gak duwe duwek blas”, tapi tetap menganggap ini adalah musim (yang mesti berat), tapi dianggap biasa. Sebiasa untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Hebat.
Guru
Bentuk teks tidak hanya tulis tapi juga lisan (termasuk audio visual/video). Sebagai teks, maka itu mesti disimak, dibaca, diingat, dibicarakan, dan ditulis kembali dalam tugas.
Sebagai guru bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia), titik tumpu menulis itu yang penting. Sebab di wilayah ini, termaktub masalah kognitif, afektif, dan psikomotorik (diringkas menjadi pengetahuan dan ketrampilan).
Oleh karenanya, apa pun yang dibelajarkan ke siswa, apa itu teks tulis atau teks lisan (dalam pembelajaran daring) harus mampu membuat siswa berpikir sekaligus menulis.
Dan untuk hal menulis, guru bahasa mesti berani untuk membuka lahan-lahan baru. Artinya, administrasi atau perangkat pembelajaran hanya “cetak biru” dalam melakukan proses belajar-mengajar. Yang hasil akhirnya (nilainya) selalu bermuara pada dedikasi setiap diri guru. Juga kekreatifan siswa yang mesti selalu disulut.
Lain itu, dengan beredarnya kabar, jika dalam pembelajaran daring, (dalam musim yang berat ini), guru hanya memberi tugas. Lalu siswa mengerjakan sendiri, tentu saja ini tak berdasar. Sebab dalam pembelajaran daring, malah guru mesti lebih telaten dan tahan banting.
Sebab, dalam pembelajaran daring, apa yang diberikan guru melebihi dalam pembelajaran kelas. Baik secara tenaga dan waktu. Sehingga tak heran, jika ada kilahan: “Untuk menjadi guru dalam pembelajaran daring yang baik, harus rela untuk tidur dengan HP.”
Mungkin
Kini, mari bicara tentang kata mungkin. Dan kata mungkin ini akan menjadi kata sakti. Apalagi di dalam musim yang berat. Musim yang kita jalani ini. Mungkin begini. Mungkin begitu. Tak akan ada habisnya. Menyedot tenaga. Seperti sedotan label “terusan-terusan” di kabar itu. Jadinya, daripada terus terpusar, tetaplah kita percaya. Bahwa selalu ada jalan yang memang sebagai jalan. Jalan, yang meski kerap diuruki pepasir atau disapu angin, akan mengantar kita dengan tulus. Mengantar ke arah semacam batas. Batas yang berbisik: “Seberat-berat musim yang ada, ayo, lewati saja. Jangan menyerah. Sebab Dia telah menunggumu dengan cinta yang tak pernah aus..”
(Gresik, 2020)
*Mardi Luhung, penulis puisi yang tinggal di Gresik.