Kedudukan Rais Akbar diberikan kepada KH Hasyim Asy’ari saat pertama Nahdlatul Ulama lahir pada 16 Rajab 1344 bertepatan pada 31 Januari 1926. Namun setelah Kiai Hasyim Asy’ari meninggal dunia, kedudukan tersebut secara istilah tidak digunakan lagi. KH Wahab Chasbullah yang menggantikan Kiai Hasyim Asy’ari lebih memilih istilah Rais Aam.
Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 457), dengan sikap tawadhu’, Kiai Wahab Chasbullah tidak bersedia menyandang gelar ‘Rais Akbar’ yang menurut Kiai Wahab hanya tepat untuk Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari, saudara misan (sepupu) yang juga gurunya. Kiai Wahab memilih istilah untuk jabatannya itu dengan ‘Rais Aam’.
Melalui Muktamar ke-17 NU tahun 1947 di Madiun, Jawa Timur, ia resmi menggantikan peran Kiai Hasyim Asy’ari yang wafat untuk memimpin NU dan Masyumi kala itu.
Besarnya jasa dan peran Kiai Wahab Chasbullah dalam membawa setiap pergerakan keagamaan dan kebangsaan ke arah persatuan dan kedaulatan bangsa membuatnya disebut sebagai seorang ‘sopir’, pengemudi, pengendali. Meskipun dirinya juga pernah menjadi sopir beneran ketika membawa para kiai ke sebuah kota di Banyumas, Jawa Tengah. Hal itu merupakan bentuk ketawadhuan beliau.
Peristiwa tersebut terjadi tahun 1932 ketika Saifuddin Zuhri berusia 14 tahun. Ia melihat sebuah mobil Chevrolet berisi ulama-ulama besar di antaranya Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri. Mobil merek terkemuka pada zamannya hingga di era sekarang ini datang dari Cirebon, Jawa Barat dan singgah di kota kecil kelahiran Saifuddin Zuhri, Sokaraja, Banyumas untuk melantik berdirinya cabang NU.
Kedatangan mobil yang membawa para tokoh besar NU dan bangsa Indonesia itu membuat antusiasme tinggi masyarakat Banyumas kala itu karena yang mengemudikannya adalah Kiai Wahab sendiri dengan setelan sarung dan sorbannya.
Pemandangan tersebut menggambarkan bahwa Kiai Wahab adalah ‘sopir’, pengemudi NU yang di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh ulama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdullah Faqih, dan Kiai Bisri Syansuri. Juga ‘sopir’ politik yang mengemudikan kebijaksanaan politik Partai Masyumi yang di dalamnya duduk para politisi intelektual seperti Dr Sukiman, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Kasman Singadimedjo, Muhammad Natsir, Mr. Muhamad Roem, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan lain-lain.
Kiai Wahab telah memegang kendali politik Partai Masyumi yang semula anti persetujuan Renville untuk duduk di Kabinet Hatta yang salah satu programnya melaksanakan Persetujuan Renville. Sebagian besar pimpinan pusat Partai Masyumi kala itu menolak pinangan Hatta agar ada dari Masyumi yang duduk di kabinetnya. Namun, Kiai Wahab mampu memberikan pemikiran brilian bahwa justru umat Islam hanya akan jadi penonton jika tidak ada perwakilan yang duduk dalam pemerintahan.
Dengan diantar oleh garis politik Kiai Wahab, Partai Masyumi mendukung para tokohnya duduk di dalam Kabinet Hatta. Mereka terdiri dari Dr Sukiman, Muhammad Natsir, Mr. Syafruddin Prawiranegara, dan Kiai Masykur. Secara berurutan, masing-masing duduk sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Penerangan, Menteri Kemakmuran, dan Menteri Agama.
Dari ‘sopir’ mobil para kiai, Kiai Wahab lalu mengemudikan NU yang beranggotakan banyak ulama kala menjadi Rais Aam menggantikan Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari setelah sebelumnya juga banyak menginisiasi dan menggerakkan banyak organisasi dan perkumpulan. Kiai Wahab juga mengemudikan Partai Masyumi yang beranggotakan banyak tokoh-tokoh politik dan intelektual dengan menjadi pimpinan tertinggi, Ketua Majelis Syuro. Kedudukan Kiai Wahab tersebut sebagai pengambil keputusan terakhir kebijakan politik Partai Masyumi. Penulis: Fathoni Ahmad
Penulis : Fathoni Ahmad
Sumber: https://www.nu.or.id