Ijtihad Kreatif Diperlukan untuk Pemajuan Kebudayaan, Pesan Halaqoh di Pesantren Luhur Malang
MALANG | NUGres – Kontes pencarian bakat bukan wujud ekspresi utama dalam memaknai kebudayaan. Kontes pencarian bakat, hanyalah wujud aktualisasi diri para remaja yang positif, ketimbang hanya menjadi konsumen drama korea (drakor) yang mereka gandrungi.
Demikian diungkapkan Riadi Ngasiran, Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) PWNU Jawa Timur, pada Halaqah Kebudayaan bertajuk “Pesantren sebagai Pusat Pemajuan Kebudayaan dan Moralitas Bangsa” di Pesantren Luhur, Kota Malang, Sabtu 18 Januari 2025.
Menurut Riadi Ngasiran, yang sebelumnya dikenal sebagai esais dan penelaah seni, bila pencarian bakat atau talent digemari para remaja hal itu merupakan ruang ekspresi yang berada pada ranah budaya populer. Bukan ekspresi pada kebudayaan dalam pengertian sesungguhnya.
“Kebudayaan populer, lebih bersifat instan dan temporer. Juga bersifat fashionable, yang tak bisa berumur panjang,” tutur Cak Riadi, demikian sapaan akrabnya.
Kebudayaan dalam pengertian sesungguhnya, terang dia, merupakan upaya yang terus-menerus dari kesadaran manusia untuk memaknai kehidupan. Salah satu ukuran dalam kebudayaan, menurutnya adalah memaknai ruang-ruang ekspresi dengan mengetengahkan daya intelektual dan bakat alam dalam mempergulatkan pengalaman estetikanya.
Karena itu, produk karya sastra, misalnya, tidak seluruhnya memberikan kontribusi bagi perkembangan kebudayaan. Karya-karya sastra populer, tidak bersifat panjang usia karena dihasilkan dari proses yang instan.
Ijtihad Kreatif
“Karya-karya sastra dunia, karya Ernes Hemingway, Shakespeare, Chairil Anwar, Orhan Pamuk, Najib Mahfudz, tidak dihasilkan karena proses instans. Tapi, dengan daya juang dan ijtihad kreatif yang bersungguh-sungguh,” ungkapnya.
Dalam proses kreatif pun, kata Cak Riadi, seniman sebagai makhluk yang mengemban tugas kebudayaan, sesungguhnya melakukan “ijtihad kreatif”.
Pesantren dan Kebudayaan
Gus Muhammad Danial Farafish S.H., S.Hum, M.Ag, Pengasuh Pesantren Luhur, memberikan sambutan hangat. Para santri mempunyai semangat dalam menghidupkan suasana belajar yang sungguh-sungguh dan mengembangkan wawasan secara luas, bukan hanya pada keilmuan Islam melainkan juga ilmu-ilmu yang sifatnya umum. Seperti sains dan teknologi, dan ilmu-ilmu humaniora, seperti kebudayaan.
“Ini semua mewarisi semangat para muassis (pendiri) NU dan terutama muassis Pesantren Luhur, seperti Prof KH Achmad Mudlor (almaghfurlah) yang meletakkan dasar-dasar dalam pengembangan pesantren yang santrinya adalah para mahasiswa di kota Malang,” tuturnya.
Dengan terselenggaranya Halaqah Kebudayaan, mengambil kesimpulan bahwa pesantren berperan sebagai pusat pemajuan budaya, peradaban, dan pembentuk moralitas bangsa yang telah lama mengakar di Indonesia.
“Santri, dengan keilmuan yang mengakar melalui tradisi sanad, memiliki kekuatan besar yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu, penting bagi santri untuk mengasah budaya berpikir, membaca, menulis, serta menangkap fenomena sosial agar dapat menjadi agen pembaharu, pejuang, dan intelektual yang berkontribusi bagi masyarakat,” tutur Riadi Ngasiran.
Selain itu, santri juga perlu memiliki wawasan global, sehingga karya dan kiprah mereka tidak hanya memberi dampak bagi masyarakat lokal, tetapi juga untuk dunia. “Santri harus terus berkembang, mekar, dan menyebar, menyebarkan kebaikan dan ilmu yang mereka miliki,” tandas Ketua Lesbumi PWNU Jatim itu.
Editor: Chidir Amirullah