*Oleh: Dr Muchammad Toha
KOLOM KALEM | NUGres – Senin pagi setelah apel, teman kerja saya saat dinas di Bali yang beragama Hindu masuk ruang kerja saya dan bercerita, “Pak Aji, tadi malam ketika saya ketemu Pak Aji, itu diantar adik saya Faisal anak orang Jawa”. Hampir semua teman kerja saya di Bali memanggil saya Pak Aji, padahal telah beberapa kali saya sampaikan kalau memanggil saya cukup namanya saja, tapi rupanya karena ini sudah kebiasaan jadi susah merubahnya dan ini merupakan salah satu bentuk kesantunan orang Bali dalam menghormati pendatang khususnya yang beragama Islam, panggilan aji berasal dari kata haji gelar yang kerap disandangkan bagi kaum muslimin yang telah melaksanakan rukun Islam kelima, sebenarnya panggilan aji ini sama dengan masyarakat Bali asli ketika memanggil orang tua laki-laki yaitu aji atau ajik yang artinya bapak.
Karena penasaran lalu saya tanya, “Bagaimana ceritanya bisa punya adik dari etnis Jawa dan namanya Faisal”, cukup detail sahabat saya dalam dinas itu menceritakan kronologisnya, tapi singkatnya bisa saya simpulkan, bahwa ada tukang dari Jawa yang bekerja memperbaiki rumah orang tua teman saya tadi dan si tukang itu bercerita bahwa punya tetangga kekurangan dalam ekonomi serta memiliki anak banyak jumlahnya dan tidak keberatan bila jabang bayi yang sedang dikandung ketika lahir nanti untuk diadop orang lain asal bisa merawat dengan baik.
Ringkasnya berangkatlah teman saya tadi dengan kedua orang tuanya ke Pulau Jawa menemui ibu hamil dan berbicara cukup detail dengan keluarganya perihal mengadop bayi tersebut, akhirnya dari perbincangan itu saling sepakat untuk bayi yang lahir nanti dibawa ke Bali dan keluarga teman akan membiayai persalinannya, ringkasnya sesampai di Bali kehadiran bayi mungil diupacarai sebagaimana masyarakat Bali umumnya setelah melahirkan, salah satunya penanaman ari-ari di rumah keluarga baru yang merawat bayi tersebut.
Saat dibawa dari Jawa, bayi laki-laki itu sudah diberi nama Faisal, nama pemberian orang tua kandungnya yang beragama Islam tersebut sampai sekarang (usia perjaka) tetap tidak diganti hanya ditambah nama depan Ketut yang menunjukkan anak keempat dalam urutan keluarga, jadi bayi dari pernikahan sepasang orang tua beretnis Jawa beragama Islam kini bernama Ketut Faisal anak laki-laki yang diasuh dan dibesarkan bersama keluarga Bali beragama Hindu dengan segala tradisi budayanya.
Hidup dan tumbuh kembang sejak bayi bersama keluarga Bali menjadikan Ketut Faisal anak yang cukup paham dengan adat tradisi termasuk juga kepatuhannya untuk pergi ke pura dan paham dengan hari-hari besar Hindu dan apa yang harus dilakukannya, dalam berbahasa Bali juga begitu luwes padahal dari genealoginya dia berasal dari aliran darah Jawa, bahkan ketika ibu kandungnya hadir menjenguknya ketika dewasa, dia tidak bisa komunikasi dalam Bahasa Jawa yang digunakan ibu kandungnya, maka harus menggunakan Bahasa Indonesia.
Dari kisah nyata diatas, tentunya kita akan menyadari bahwa kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dalam keluarga bagaimana, andai boleh memilih pasti akan memilih lahir ditengah-tengah keluarga berada dan mapan atau kuat secara ekonomi dan terhormat di masyarakat, serta hidup tidak dirundung dengan masalah rasis sehingga selalu dibully dan dijadikan sasaran kekerasan baik melalui kata-kata maupun perbuatan fisik yang kadang-kadang berakibat cedera karena ulah mereka yang alergi atas segala perbedaan.
Maka tidak salah bila ada yang berpendapat,“Sungguh tidak etis ketika seseorang menjelek-jelekan agama lain, bukankah agama yang dijelek-jelekkan itu dulu dianut leluhurnya”, sehingga yang penting adalah bagaimana akhlak kita ketika sudah memproklamirkan sebagai pemeluk suatu agama, apakah kehadiran kita dalam komunitas agama itu perangai kita semakin memberikan muka pada agama yang kita anut atau malah sebaliknya orang melihat semakin kotor suatu agama ketika kita berada didalamnya.
Dari fakta diatas tidak ada keharusan bagi etnis tertentu harus beragama tertentu pula, walaupun ada etnis yang berada di wilayah tetentu biasanya beragama tertentu, misalnya, ada anggapan bahwa di Tanah Batak umumnya masyarakatnya beragama Nasrani, namun tidak banyak yang tahu bahwa di wilayah ini juga terdapat daerah (desa) yang cukup kuat dalam beragama Islam. Anggapan yang sama juga ada di Pulau Sulawesi, sering kita dengan masyarakat Sulawesi sangat kuat dalam memeluk Agama Islam apalagi jika sukunya Bugis, Wajo, Makassar namun berbeda lagi jika yang di maksud masyarakat Sulawesi itu adalah Toraja dan Minahasa.
Begitu juga di Jawa yang umumnya dikenal beragama Islam, namun ada juga daerah- daerah di Jawa yang masyarakatnya memeluk Agama Kristen bahkan tradisi upacara kemasyarakatannya diwarnai dengan nilai-nilai ajaran Agama Kristen, seperti di Jombang yang terkenal sebagai Kota Santri dan cukup banyak pondok pesantren besar legendaris diantaranya Pondok Pesantren Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, begitu juga beberapa tokoh Islam level nasional maupun internasional lahir di kota ini, namun Agama Kristen Jawi Wetan lahir dan berkembang di kota ini, dengan tokoh Penginjil Pribumi bernama Kiyai Sadrach.
Dalam sejarahnya perkembangan pesat Kristen Jawi Wetan yang berpusat di Mojowarno Kabupaten Jombang ini ketika masuknya tokoh-tokoh yang berasal dari Madura, antara lain, Raden Paing Wiryoguno dan adiknya Raden Samodin, adapun kakak beradik ini anak dari Pangeran Cokrokusumo yang beragama Islam. Ringkasnya dua bersaudara ini menemui tokoh Kristen bernama Coolen dan akhirnya mengikuti Agama yang dianut penginjil dari Eropah ini, akhirnya tepat pada 13 April 1844 Raden Paing Wiryoguno dibaptis oleh Pendeta Van Meyer dengan nama baptis Karolus Wiryoguno beserta seluruh keluarga dan kerabatnya yang berasal dari Madura, dari keluarga inilah kemudian menjadi keluarga pribumi Kristen yang membabad desa Kristen di Jombang.
Demikian juga di Gresik yang memiliki karakter masyarakat sama dengan Jombang yakni santri, di Dusun Bongso Wetan, Desa Pengalangan, Kecamatan Menganti Gresik bagian selatan, masyarakatnya sangat kuat dan sudah ratusan tahun memeluk Agama Hindu, ditempat itu bukan saja berdiri pura yang megah dan indah, tapi tradisi budaya masyarakatnya bercorak Hindu, sehingga dapat dikatakan sebagai komunitas Hindu yang taat ditengah masyarakat santri. Uniknya para penganut Hindu ini mengklaim para leluhurnya berasal dari Madura dan memang faktanya komunitas ini cukup fasih berbahasa Madura ditengah komunitas berbahasa Jawa, begitu juga tradisi busananya juga Madura dengan ciri khasnya dominan warna hitam dan merah. Padahal umumnya orang menganggap Madura ya Islam atau lebih dalam lagi Madura ya NU.
*Dr Muchammad Toha, Kepala Balai Diklat Keagamaan Semarang.