*Oleh: Ahmad Farid Hasan
KOLOM KALEM | NUGres – Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan bagi umat Islam di seluruh dunia. Pada 10 hari pertama penuh dengan Rahmat, 10 hari kedua adalah pengampunan, dan 10 hari terakhir adalah pembebasan dari api neraka.
Bagi umat Islam Indonesia, keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan menjadi semakin sempurna dengan adanya tradisi mudik yang hanya ada di Indonesia tidak di negara lain. Mudik, menjadi momentum bagi para perantau baik yang bekerja maupun sedang menuntut ilmu di kota-kota yang jauh dari tempat asal.
Biasanya, kegiatan mudik ini baru terasa 10 hari terakhir menjelang hari raya idul fitri, jalan jalan terlihat sangat ramai, masyarakat dengan berbagai macam kendaraan berbondong bondong menuju desa tempat mereka dilahirkan dan mengukir sejarah pada masa kecilnya. Tampak lelah di wajahnya, tapi terbersit kegembiraan, kebahagiaan dan harapan untuk segera bertemu dengan orang tua, keluarga, sahabat sepermainan dan handai tolan dalam suasana yang haru biru penuh dengan keceriaan.
Selain itu, mengirim do’a kepada para leluhur dan keluarga yang lebih dulu meninggalkan dunia menjadi ritualitas dan spiritualitas yang tak bisa ditinggalkan. Ada doa dan kenang serta harapan di balik ritual tahunan mudik. Ada ikatan batin antara yang hidup dan mati meskipun telah dipisahkan secara jasad.
Dalam mudik, ada kebahagiaan yang menjadi ekspresi simbolik sebuah kemenangan setelah menjalankan puasa. Ada kegembiraan yang tampak nyata pada para insan setelah lulus menjalankan ibadahnya.
Dalam mudik, juga ada kerukunan, kekompakan, kerja sama dan ta’aruf karena dalam perjalanan tidak jarang para pemudik berangkat secara bersama, rombongan menuju desa masing-masing. Dari yang tidak kenal menjadi kenal, saling bertukar pengalaman dan menambah persaudaraan. Mudik merupakan instrumen sosial secara komunal antar sesama manusia dalam bentuk saling memaafkan, berbagi dan silaturrahim.
Menurut budayawan Umar Kayam, mudik adalah simbol munculnya kesadaran rohani akibat kering dan gersangnya spiritualitas sosial dalam menjalankan kehidupan di kota besar. Modernitas dengan industrialisasi, teknologi dan digitalisasinya telah menciptakan keterasingan dan impersonalitas yang menjadikan manusia kehilangan eksistensinya. Kehidupan yang jauh berbeda dalam norma, nilai dan tatanan bermasyarakat saat mereka hidup di desa.
Ketika mudik ke kampung halaman seolah mereka merasa kembali ke tempat asal mereka dilahirkan dan dibesarkan dengan nilai nilai,norma dan tatanan yang sarat dengan keluhuran. Mereka merasa telah kembali kepada hakekat kehidupan yang mulia. Mudik juga menjadi simbol pelepasan dahaga atas kekosongan nilai nilai budaya ketimuran dan kearifan lokal dalam tatanan bermasyarakat. Bagi sebagian orang, mudik atau pulang kampung menjadi momentum merefresh otak dan jiwa guna melepaskan kepenatan tekanan dari rutinitas hidup di kota.
Mudik juga dianggap sebagai sebuah kewajiban. Ada sebagian yang memaksakan diri untuk mudik meskipun secara finansial tidak mencukupi demi bertemu orang tua, keluarga, sahabat, melepaskan rasa kangen dan berziarah ke makam leluhur.
Tradisi mudik juga tak bisa lepas dari kritik. Sebagian orang mengatakan bahwa mudik bukan bagian dari ajaran islam. Mudik adalah simbol prilaku hedonistik, menghambur-hamburkan uang dan berlomba-lomba memamerkan keberhasilan atau pencapaian di perantauan dalam bentuk materi. Mudik menggambarkan budaya konsumtif.
Dalam hemat Penulis, mudik adalah bagian dari implementasi; Hablumminallah dan Habluminannas. Di dalamnya ada dimensi teologis dan profan. Ada aspek kemuamalatan yang dibingkai dalam bentuk transendensi. Saling memaafkan, menghormati,membantu ,berbagi satu sama lain. Ada do’a, wujud rasa syukur dan menjaga tali silaturrahim sesama saudara muslim yang diajarkan oleh agama.
Al faqir
*Ahmad Farid Hasan, Ketua Lembaga Kajian Strategis Keislaman dan Kebangsaan PC-IKAPETE Gresik, tinggal di Desa Mojopuro Bungah.