BUNGAH | NUGres — Teposliro dan terjaminnya jiwa seorang muslim menjadi pembahasan utama dalam Lailatul Kopdar MWCNU Bungah #7 pada Sabtu (1/4/2023), di Kantor MWCNU Bungah, di mana pengajian Arbain An-Nawawi sudah menapak hadist ke-13 dan 14.
Hadits ini dibacakan oleh Atiq Mujahid, pemuda asal Tajungwidoro Mengare. Ia adalah anggota LTN MWCNU Bungah. Selain pernah menjadi santri Qomaruddin, ia dulu pernah mondok di Kajen dan Krapyak.
Gus Atiq, sapaan akrabnya, mengartikan hadits ketiga belas itu dengan “Seseorang diantara kalian tidaklah beriman (secara sempurna) sampai dia mencintai sesuatu yang ada pada saudaranya, seperti halnya dia mecintai barang tersebut, ada pada dirinya”. Sebagai contoh: Jika kita senang dengan usaha kita laku, maka kita juga harus suka jika usaha saudara kita juga laku. Tidak boleh kita mengharapkan usaha saudara kita bangkrut, sedangkan usaha kita terus berkembang.
Gus Atiq mencatat, saudara di sini mempunyai makna bukan hanya saudara sedarah atau saudara seiman saja, tapi juga meliputi orang kafir. Sebagai orang muslim kita harus senang jika ada orang kafir mendapatkan hidayah masuk islam sama porsinya dengan kita senang jika saudara muslim kita berada dalam kondisi islam terus menerus. Oleh karena itu mendoakan orang kafir mendapatkan hidayat berupa keimanan adalah sunnah (anjuran).
Dalam pembacaan syarahnya, Gus Atiq menjelaskan bahwa hadits ke-13 Arbain An-Nawawi menegaskan karakter (tabiat) manusia secara umum tidak suka jika orang lain mendapatkan kebaikan, dan tidak peduli dia orang baik atau buruk. Hadits ini juga mengingatkan kita semua untuk tidak hasud. Ia menjelaskan Hasud adalah sikap tidak suka kalau orang lain mendapatkan kenikmatan.
Mengutip Imam Al-Ghazali, ia menyebutkan ada 3 macam sikap Hasud, yaitu: pertama, mengharapkan kenikmatan orang hilang, dan mengingikan kenikmatan itu ada pada dirinya; kedua, mengharapkan hilangnya kenikmatan orang lain, meskipun kenikmatan itu bukan pada dirinya, asalkan orang lain tidak dapat nikmat. Kategori kedua ini statusnya lebih buruk dari yang pertama.
Ketiga, tidak mengharap hilangnya nikmat orang lain, tapi berharap tidak boleh ada seseorang yang mengunggulinya atau minimal setara. Menurut Al-Ghozali, dengan kita bersikap Hasud, maka itu sama halnya kita menentang Allah atau tidak terima dengan takdir (ketentuan) Allah. Ini berhubungan dengan hadits ke-13 Arbain An-Nawawi.
Sementara di hadits ke-14, Gus Atiq mengartikan bahwa Darah (nyawa) seorang muslim sangat dijamin dalam islam, tidak boleh ada satupun dari kita yang berhak mengalirkan darahnya (membunuh) kecuali atas dasar tiga perkara, yaitu (1) perzinaan yang dilakukan orang yang sudah menikah (al-muhson); (2) membunuh seseorang dengan sengaja(amd); dan (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta memisahkan diri dari jamaah.
Gus Atiq menjelaskan bahwa kategori ats-tsayyib adalah orang yang sudah menikah dalam aqad yang sah dan sudah merasakan nikmatnya jima’, meskipun semalam dan tidak disyaratkan harus sudah cerai. Hukum berzina bagi orang yang sudah menikah dengan yang belum menikah ada perbedaan, bagi zina muhson dikenakan hukuman rajam sampai mati jika terbukti dengan empat orang saksi atau ia mengakuinya sendiri. Sedangkan zina ghoiru muhson (perjaka) dijatuhi hukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun.
Tentang pembunuhan dalam hadits ke-14 adalah pembunuhan yang disengaja (‘amdun) bukan pembunuhan khoto’ maupun syibih ‘amd. para ulama juga terdapat perbedaan pendapat. Imam Syafi’i mensyaratkan pembunuhan ini harus setara dan keluarga yang bersangkutan tidak memberi ampunan. Jika diampuni, maka hukum eksekusi (qatlu) tidak boleh dilanjut, harus diganti dengan denda (diyat).
Sementara, perihal murtad, Gus Atiq menjelaskan bahwa murtad dapat berarti bisa pindah dari satu agama ke agama lain, meskipun kadar kebenaran itu selevel. Misalnya, Yahudi ke Nasrani atau sebalikanya. Kemudian, ketika murtad keluar dari Islam beberapa ulama’ menganjurkan untuk memberi waktu dan mengajak dia kembali Islam dalam kurun waktu tertentu.
Al-riddah sendiri dalam penjelasan Gus Atiq mengutip keterangan Syekh Ali Jum’ah dan Syekh Romadlon al-Buthi, harus dilakukan pengkajian yang teliti dalam implementasi hukumnya, karena dalam sirah nabawi tidak semua orang yang murtad langsung dibunuh seperti peristiwa orang badui yang meminta Baiat Islamnya dicabut oleh Nabi, meskipun dalam catatan sejarah semasa Khalifah Abu Bakar ada peristiwa memerangi orang murtad yang enggan membayar zakat.
Dengan mengutip Syarah Arbain An-Nawawi, Gus Atiq mencatat ada tiga jenis murtad, yaitu: pertama, i’tiqadiyah (misalnya: menganggap Allah tidak adil, dsb); kedua, fi’liyah (misalnya: menginjak Alquran, dsb); dan ketiga, qouliyah (misalnya: mengkafirkan orang lain, dsb). Gus Atiq menggaris bawahi, di akhir zaman, orang biasanya tidak sadar telah murtad karena ia mengkafirkan seseorang (takfiri) secara sembrono.
Sebagai catatan Gus Atiq mengatakan bahwa wewenang menentukan dia berhak dibunuh atau tidak meskipun masuk dalam kategori 3 golongan diatas, bukanlah sembarangan orang, tapi harus melalui Imam (pemerintah).
Dengan demikian, di Lailatul Kopdar #7 MWCNU Bungah, kita dapat belajar bahwa “Intinya, dalam dua hadist ini, kita harus punya sikap tepo sliro, tidak hasud serta menjaga hak dan keberlangsungan hidup orang muslim lainya,” kata Gus Atiq mengakhiri pengajian. Wallahu a’lam.