Ziarah ke Makam Waliyullah (Bagian-02)
Oleh: Ahmad Rofiq
Setelah Mbah Moen mencium tangan Mbah Fadhol Senori dan menyambutnya dengan penuh takdzim, orang-orang baru tahu bahwa lelaki berbaju lusuh itu adalah Mbah Fadhol Senori yang namanya masyhur lewat karya-karyanya yang banyak tersebut.
Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa yang dialami para murid Imam Syafi’i saat mereka melihat Imam Syafi’i sering menemui seorang penggembala kambing dan berdiskusi atau bertukar pendapat dengan penuh takdzim sama penggembala kambing itu. Para muridnya heran, kenapa Imam Syafi’i yang merupakan ulama dan pejabat masyhur begitu hormat dengan seorang lelaki penggembala kambing yang pakaiannya lusuh.
Ketika ditanya muridnya siapakah gerangan lelaki yang sehari-hari menggembala kambing itu, Imam Syafi’i menjawab, “Dialah Syaiban Ar-Ra’i, orang alim yang kedalaman ilmunya sebanding dengan diriku”
Setelah dijawab seperti itu, baru para muridnya mengerti bahwa lelaki penggembala kambing itu ternyata seorang alim yang kedalaman ilmunya kaliber dunia, sebagaimana Imam Syafi’i.
Syaikh Abul Fadhol Senori atau biasa disebut Mbah Dhol adalah santri spesial dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Mbah Fadhol juga sangat mencintai gurunya. Tidak tanggung-tanggung, Mbah Fadhol mencintai gurunya, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari secara total. Kejadian berikut ini menjadi bukti betapa totalitas cinta Mbah Fadhol terhadap Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Setelah abahnya, Syaikh Abdus Syakur wafat, Mbah Fadhol menjual semua peninggalan abahnya. Baik rumah, tanah, sawah, kebun maupun tinggalan yang lainnya. Mbah Fadhol kemudian pergi ke Tebuireng Jombang untuk berguru dan “tabarrukan” pada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Sesampainya di Jombang, hasil dari penjualan semua harta peninggalan Abah beliau diberikan semuanya kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Tak ada yang tersisa sedikit pun kecuali hanya untuk makan selama 3 tahun, kopi 2 cangkir dan pisang goreng 2 biji. Padahal tanah yang dijual Mbah Fadhol lebih dari 2 hektar, belum rumah dan lainnya. Namun saking cintanya Mbah Fadhol terhadap sang guru, semua itu diberikan pada sang guru, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
Begitulah, cinta memang membutuhkan pembuktian, dan pembuktian cinta inilah yang relatif tidak gampang dilakukan. Banyak orang mengaku cinta pada ulama, guru, para wali dan sebagainya, tapi mampukah mereka memberi pembuktian untuk hal tersebut. Setiap orang bisa saja mengklaim cinta, namun benarkah itu semua nyata -nyata cinta atau sekedar klaim cinta? Berbeda dengan apa yang telah dilakukan Syaikh Abul Fadhol Senori.
Setelah pulang dari pondok pesantren Tebuireng Jombang, Mbah Fadhol tak punya apa-apa lagi sebab semua harta bendanya telah beliau konversikan dengan sesuatu yang jauh lebih berharga, yaitu ilmu. Adapun untuk kehidupan sehari-hari, Mbah Fadhol bekerja apa saja yang penting halal. Beliau menjahit untuk membuat kopyah dari anyaman tikar. Barang-barang itu kemudian dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Ulama yang kedalaman ilmunya luar biasa tersebut mau bekerja apa saja sebagaimana orang kebanyakan. Beliau juga pernah bekerja sebagai tukang servis elektro, tukang servis jam tangan, penjual minyak wangi, penjahit celana untuk para petani dan lain sebagainya. Semua pekerjaan itu beliau jalani tanpa harus merasa gengsi. Semua pekerjaan itu tidak menurunkan martabat dan kehormatannya, bahkan semakin menambah derajat dan ke-keramatannya.
BERSAMBUNG