Oleh: Abdul Jalil*
KOLOM KALEM | NUGres – Coblosan atau hari pemungutan suara untuk Pemilu 2024 telah usai. Tapi rangkaian Pemilu masih berlangsung hingga semua suara terkumpul dan diumumkan oleh KPU. Karenanya, tensi obrolan seputar Pemilu masih hangat di jagat media sosial, yang rentan memilukan dan bikin sial.
Berbagai macam informasi yang tak terbendung terus meluap. Jutaan akun seakan tak pernah capek untuk saling cakap. Sialnya, tidak sedikit yang care tentang pentingnya mengukur informasi mana yang layak di-keep atau yang pantas di-share.
Inflasi informasi selalu diwarnai misinformasi (informasi yang salah) dan disinformasi (informasi yang sengaja dipalsukan). Seseorang rentan membuang energi untuk Informasi yang tak selayaknya diikuti atau dipercayai. Pikiran jernih pun rawan dikotori dengan emosi yang kurang terkendali saat menerima misinformasi atau disinformasi.
Emosi memberi peranan penting pada seseorang saat merespon sesuatu yang diterima. Emosi, dalam wacana psikologi, merupakan perasaan yang muncul ketika menerima stimulus, dan juga mendorong timbulnya perilaku. Tidak hanya negatif, emosi juga ada yang positif. Marah, sedih, jengkel, malu, takut, senang, terkejut, merasa nikmat, merupakan di antara bentuk emosi.
Konten-konten yang terus mengalir di timeline media sosial selalu rentan diterima dengan emosi. Akhirnya seseorang lebih suka menyelami atau scroll medsos ketika timeline yang disuguhkan mampu menyentuh emosinya. Baik itu emosi negatif atau positif.
Rata-rata IQ masyarakat Indonesia yang berada di angka 78,4 kiranya bukan satu-satunya yang memberi pengaruh pada percekcokan percakapan yang terjadi di medsos. Akan tetapi, kecerdasan emosional, atau yang disebut dengan EQ (Emotional Intelligence), juga sangat berdampak.
EQ merupakan kemampuan seseorang untuk memahami gejolak perasaan di dalam dirinya. Termasuk juga yang berkaitan dengan orang lain. Daniel Goleman, Psikolog yang menulis tentang Emotional Intelligence mengungkapkan bahwa EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengelola perasaan dan suasana hatinya agar tetap terjaga jernih alur pikirannya.
Kejernihan berpikir seseorang ternyata dipengaruhi oleh bagaimana ia mengelola emosi. Pertikaian atau kalimat-kalimat kurang pantas yang berseliweran di medsos acap kali bukan semata karena orang yang mengucapkannya tidak berpikir, akan tetapi diawali dari emosinya yang kurang stabil dan mungkin ketar-ketir.
Contoh lain, orang yang terlanjur menaruh emosi suka pada satu paslon, apapun informasi yang mendukung rasa sukanya itu akan terus diikuti. Begitu pun sebaliknya, ketika terlanjur benci pada paslon tertentu, apapun informasi yang mendukung kebenciannya itu pun sangat menarik baginya. Misinformasi atau disinformasi diabaikan. Karena yang terpenting adalah kepuasan emosi yang diluapkan.
Apalagi, di sisi lain, algoritma medsos juga sangat pandai dengan artificial intelligence-nya untuk mengatur sedemikian rupa agar para user bernyaman-nyaman melakukan scroll, dan turut kontribusi meramaikan medsos. Seseorang yang berlama-lama menyimak konten “A”, misalnya, akan terus disuguhkan konten serupa.
Emosi seseorang rentan dibikin berlebihan oleh konten yang dinikmatinya di medsos. Termasuk emosi suka dan benci.
Sebagai muslim, layaknya kita familiar dengan sabda Nabi, “Sukai seseorang sekadarnya, karena bisa saja menjadi musuh; dan benci pun sekadarnya, karena mungkin nanti akan jadi kekasih”. Itulah, bagaimana pentingnya mengelola emosi, memahami diri dan suasana hati untuk menjaga pikiran tetap jernih.
Pada laman resminya (danielgoleman.info), Daniel Goleman juga menyampaikan, “Dengan mengajari masyarakat untuk mengelola emosi mereka dengan kecerdasan, dan memperluas lingkaran kepedulian mereka, kita dapat mengaplikasikan suasana dalam diri yang baik ke luar diri kita (society) dan menjadikan dunia kita lebih baik.”.
*Abdul Jalil, Guru BK SMK Islamic Qon Gresik