GRESIK | NUGres – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum dan Media, H Mohamad Syafi’ Alieha, mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait ambang batas pencalonan dan batas usia calon bersifat mengikat dan tidak dapat dianulir termasuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Savic menilai dalam permasalahan ini DPR cenderung membangkang terhadap putusan hukum yang ditetapkan MK dengan menggelar Rapat Paripurna ke-3 yang salah satunya membahas revisi UU Pilkada.
Ia juga menekankan bahwa jika putusan MK sebagai lembaga tertinggi dalam sengketa konstitusi dianulir, maka prinsip negara hukum akan terganggu.
Padahal, menurutnya, prinsip demokrasi adalah undang-undang harus memenuhi prinsip fairness, artinya adil untuk semua pihak, bukan hanya untuk kelompok tertentu saja.
Senada dengan H Savic Ali, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) PCNU Gresik, Achmad Qomaruz Zaman berpandangan bahwa tidak ada lembaga lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali MK.
“Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali MK, yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi di negara ini,” ujarnya kepada NUGres Jumat (23/8/2024).
Lebih lanjut Qomaruz Zaman menyampaikan kalau putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah inkrah, final dan mengikat. Baginya kedudukan berlakunya putusan MK selayaknya berlakunya undang-undang.
Langkah DPR sebagai bentuk vetokrasi sebagian elit politik, dikatakannya sebagai upaya yang ingin menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada 2024.
“Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi sebagaimana dalam Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang berupaya menyelamatkan demokrasi,” tandasnya.
Editor: Chidir Amirullah