BUNGAH | NUGres – Masyarakat Nahdhiyyin (NU) di Kabupaten Gresik khususnya Desa Bungah menggelar tradisi kupatan. Di Sampurnan Bungah, tradisi menyambut hari kedelapan bulan Syawal tersebut bukan hanya sekedar menyajikan hidangan makanan belaka. Bahkan lebih dari itu, kupatan juga sarat akan nilai persaudaraan dan keislaman.
Tradisi kupatan dilakukan pada pagi hari. Tahun ini, masyarakat Sampurnan Bungah dan sekitarnya menyelenggarakan tradisi kupatan di Langgar Sampurnan, Senin (9/5) pagi.
Meski belum ada kepastian kapan dimulainya tradisi kupatan di Sampurnan. KH. Muhammad Ala’uddin mengatakan bahwa tradisi kupatan di Sampurnan sudah ada sejak ia kecil.
“Kupat itu artinya ‘ngaku lepat’. Di Sampurnan, dalam setahun terdapat dua kali kupatan. Pertama pada malam Nisfu Sya’ban, dan Kedua, pada tanggal 8 Syawal. Makna dari tradisi kupatan di Sampurnan ini adalah untuk saling meminta maaf dan saling memaafkan agar diberi rahmah dan maghfiroh dari Allah,” terang sosok yang kerap disapa Gus Ala ini.
Tradisi kupatan di Sampurnan juga memiliki keunikan tersendiri. Berikut rangkaian tradisi kupatan di Sampurnan:
Bedug Dender
Acara kupatan di Sampurnan selalu dimulai dengan penabuhan bedug, atau yang sering dikenal dengan Bedug Dender. Saat warga sekitar Sampurnan mendengar suara bedug, warga langsung berbondong-bondong mengantarkan makanan ke langgar Sampurnan. Bedug dender ini sejak dulu hingga sekarang masih tetap lestari digunakan sebagai penanda dimulainya kupatan di Sampurnan.
Konon, Bedug Dender dulu ada iramanya sendiri untuk penanda kupatan. Karena selain ditabuh saat kupatan, bedug Dender juga ditabuh saat malam hari di bulan Ramadan. Wallahu a’lam.
Ater-ater
Ater-ater berasal dari kata ‘ngeterno’ atau mengantarkan. Ater-ater berarti warga mengantarkan berbagai macam makanan. Dalam tradisi kupatan di Sampurnan, beberapa jenis makanan yang diantarkan adalah Nasi Ambengan, Ketupat, Lepet, buah-buahan, minuman, teh, kopi, dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut diletakkan di tengah langgar, sementara warga yang datang duduk melingkari langgar.
Dulu, selain mengantarkan makanan ke langgar Sampurnan, warga Sampurnan biasanya mengantarkan makanan ke tetangga-tetangga. Anak-anak kecil yang mengantarkan ke rumah-rumah.
Membaca Sholawat Nabi dan Doa
Setelah suguhan ketupat, lepet, ambeng, dsb siap, acara kemudian dimulai dengan Fatihah. Lalu membaca Shalawat Nabi, dan langsung ditutup dengan doa yang dipimpin langsung Pemangku Pondok Pesantren Qomaruddin, KH Iklil Sholeh. Doa juga dibacakan oleh para sesepuh di Sampurnan, termasuk Ketua Umum Pondok Pesantren Qomaruddin, KH. Muhammad Ala’uddin.
Pembagian Berkat
Saat berbagai macam suguhan dari warga sudah terkumpul di langgar, berbarengan dengan acara pembukaan Fatihah, beberapa warga langsung membagi suguhan. Untuk ketupat dan lepet dan jajanan, dibagi dan dimasukkan dalam bungkus untuk dijadikan berkat. Sementara ambeng, dibagi menyesuaikan perkiraan jumlah warga yang hadir.
Berkat yang sudah dibagi tadi, langsung dibagikan ke warga yang mengikuti kupatan. Saat doa sudah selesai, biasanya berkat juga sudah dibagikan dan ambeng sudah siap untuk ditanjak.
Saling Memaafkan
Salah satu warga Sampurnan, Umamah (86 tahun), bahwa terdapat dua kali kupatan di Sampurnan. Umamah juga mengatakan bahwa sejak kecil di Sampurnan sudah ada kupatan. Momen ini juga diisi dengan saling salaman bermaaf-maafan.
Kupatan Rojokoyo dan Poco Telu
Umamah juga menambahkan bahwa kupatan di bulan Syawal dulu disebut kupatan Rojokoyo. Ada beberapa hewan ternak yang dikalungi ketupat. Sehingga, terdapat ketupat khusus untuk dikalungkan ke Rojokoyo. Bentuk ketupat khusus itu berbeda dengan ketupat pada umumnya. Bukan segi empat, tapi segitiga.
“Setalah diberi doa, ketupat khusus itu, biasanya berjumlah dua, sepasang, kupat-lepet, dikalungkan ke Rojokoyo, wedus, sapi, dan sebagainya. Dulu namanya itu puchu telu. Tidak besar, kecil, biar tidak berat. Janurnya dipotong kanan-kiri,” terang Umamah, Senin (9/5).
Bukan Sekedar Hidangan
Tradisi kupatan di Sampurnan bukan sekedar hidangan, namun juga sarat akan nilai-nilai, terutama nilai keislaman. Warga sekitar Sampurnan masih banyak yang mau menyempatkan diri untuk datang sebagai ajang silaturahmi dan menjalin keakraban sesama.
“Menurut saya, kupatan ini tidak cuma makan-makan. Tapi juga sebagai momen untuk bertemu. Mengakrabkan. Yang ikut juga mulai anak kecil, ibu-ibu, dan para sesepuh. Sehingga rasa persaudaraan akan kuat dan harmonis,” kata Maghfur, salah satu warga sekitar yang mengikuti kupatan.
Beberapa pengamat budaya mengatakan bahwa tradisi kupatan sudah ada sejak zaman Walisongo, di mana Sunan Kalijaga menggelar semacam Open House di kerajaan Demak sebagai bentuk rasa syukur.
Nilai Persaudaraan dan Nilai Keislaman
Ada juga yang mengatakan tradisi kupatan mulai marak sejak awal abad 20, di mana para kiai terdahulu, termasuk KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah, dan kiai-kiai di desa-desa, menggelar kupatan sebagai bentuk perwujudan sikap mengakui kesalahan.
Mungkin karena itulah, umum diterima oleh masyarakat bahwa kupatan berasal dari kata “ngaku lepat” atau mengakui kesalahan. Lalu “lepet” merupakan akronim dari “silep kang rapet” yang berarti “tutup yang rapat” (Lihat H. Munawir Abdul Fattah, “Tradisi Orang-orang NU”, tahun 2006, LKiS, hal. 118).
Jadi kupat dan lepet menjadi satu kesatuan, yang artinya: setelah mengakui kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan, lalu persaudaraan pun akan “rapet” seperti lepet . Beberapa pengamat juga mengatakan, kupatan merupakan tradisi khusus untuk kaum muslim yang telah melaksanakan puasa sunnah Syawal 6 hari berturut-turut dari 2 Syawal hingga 7 Syawal. Wallahua’lam.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Ala juga berharap agar tradisi kupatan di Sampurnan dapat terus bertahan sampai hari kiamat.
“Saya berharap, tradisi yang sangat baik ini bisa terus istiqomah ilaa yaumil qiyamah. Memag tidak ada dalil khusus [untuk tradisi kupatan. Red], tapi dalil yang umum sangat banyak, misalnya dalil untuk saling minta maaf, dalil untuk saling berbagi rezeki, saling berbagi kebahagiaan, dalil silaturahmi, dan yang lain. Makanya ini adalah tradisi yang sangat baik sekali dan manfaatnya sangat besar sekali,” kata Gus Ala.
“Jadi Rasul pernah melakukannya, meski tidak selalu waktu tanggal 8 syawal dan meskipun tidak makan kupat. Jd bukan bid’ah,” jelas Gus Ala menambahkan.