Salah Niat
Loyo Sebelum Waktunya
Islam begitu gampangnya tersebar di bumia nusantara. Sepertinya ada deal-deal ghoib yang melapangkan dakwah waliyullah di wilayah kekuasaan Mojopahit. Atau karena Raja Mojopahit sudah memiliki well informed tentang Islam, sehingga sang raja selalu welcome setiap waliyullah sowan ke istana.
Menariknya, raja tidak pernah murka setiap diajak pindah agama, justru waliyullah itu diberi tanah perdikan sebagai hadiah. Jalinan komunikasi yang interaktif anatara waliyullah dan penguasa ini menandaskan bahwa lobi-lobi politik kekuasaan untuk sukses dakwah, itu penting. Cara yang ditempuh waliyullah ini merupakan model dakwah termodern.
Para da’i itu memahami dengan baik kultur masyarakat mojopahitan. Jika saja saat itu, dakwahnya ditempuh lewat pintu belakang, mengajak orang dengan cara sluman-slumun atau kasak kusuk pasti dicurigai sebagai gerombolan teroris. Apalagi jika petugas tilik sandi menyampaikan informasi yang diplintar-plintir. Wow… bisa-bisa muballigh itu dibunuh, ditangkap, minimal diusir.
Tanah perdikan dari raja, dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan kader da’i. Satri-santri jebnolan pesantrennya banyak yang berhasil menjadi tokoh, kiai kelana dan ada juga yang menduduki maqom tertinggi di deretan walisongo. Seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dan lainnya.
Bekas kebesaran Sunan Ampel berupa bangunan masjid dapat disaksikan sampai sekarang. Pada tahun 1990-an Probosutejo kroni Soeharto merevatilasi bangunan kompleks masjid. Tanahnya diperluas, bangunannya ditambah, tetapi bangunan lama dipertahankan keasliannya. Sayang rencana revitalisasi itu tidak terlaksanan 100%.
Pengelola masjid kuno ini menerapkan menejemen yang sangat baik. Lingkungan masjid di luar dan di dalam terlihat semakin bersih. Jamaah yang istirahat bermalam baik dari peziarah maupun dari warga T4 (tempat tinggal tidak tetap) tidak membikin kumuh lingkungan sebagaimana puluhan tahun silam.
Kerinduan salat tarawih di masjid Ampel hadir kembali setelah sekian puluh tahun absen. Disamping sudah lama tidak menikmati, nasi kambing kebuli, nasi mandli, gule maryam, kebab, atau kambing gule di kawasan Ampel. Belum lagi kopi arabnya yang khas hangatnya.
Suasana Ramadlan semakin ritmis, setelah melihat ruang-ruang dalam masjid. Titik-titik untuk salat, baca al-Qur’an dan iktikaf sudah ditentukan sejak datang siang hari. Semua akan dijalankan sesuai scenario, tapi apa lacur, saat menjalankan salat tarawih, terasa ada spirit beribadah yang tercerabut.
Kaki dan tangan malas sekali digerakan mengikuti imam. Sampai rokaat keempat, benar-benar tidak ada enerji yang bisa diperbaharui lagi. Solusinya direfresh dengan cara duduk istirahat dan tubuh disandarkan pada tiang bulat besar.
Ndilalah kersane Allah tubuh ini akhirnya tidur ndelosor di atas lantai marmer. Dan kaget juga, saat terjaga dari tidur tepat saat imam salat witir berakhir. Hanya istighfar …kali ini janji yang terucap dalam doa iftitah, bahwa salat itu harus hanifan musliman diganti dengan beragam niat yang diselewengkan. Salat yang diskenario ‘seakan-akan’ untuk Allah ternyata tidak lebih dari upaya show off, pamer diri.
Benar-benar kali ini salah niat…akhirya loyo sebelum waktunya.*
Penulis : Nur Faqih