Oleh: Muhammad Ubaidillah*
KOLOM KALEM | NUGres – Bulan Oktober merupakan momentum untuk merefleksikan semangat ke-Islam-an dan Ke-Indonesia-an dalam bingkai toleransi keragaman sosial budaya. Tepatnya tanggal 22 Oktober diperingati Hari Santri Nasional. Jika kita refleksikan dalam pemahaman sejarah bangsa, peran ulama dan santri banyak menorehkan gagasan sebagai tonggak (pondasi mental) Nusantara.
Ulama dan santri tidak hanya berdakwah, melainkan juga berjihad melawan penjajah. Tidak hanya berdiri di mimbar untuk menyampaikan ceramah keagamaan, tapi juga mengatur siasat jihad supaya penjajah hengkang dari bumi Nusantara.
Mulai dari awal, ketika penjajah datang menapak daratan Nusantara, berakar dari perjanjian Tordesilas, dengan kesewenangan sepihak mereka membagi wilayah dunia menjadi dua bagian. Wilayah timur dan Barat.
Wilayah timur diserahkan kepada Portugal, sedangkan wilayah barat diberikan ke Spanyol. Portugis bergerak ke arah timur, berlayar sampai ke Tanjung Pengharapan, dan masuk ke Nusantara dalam wilayah Malaka pada tahun 1511 Masehi.
Sontak, hal tersebut direspons oleh Pati Unus yang berkuasa di Kesultanan Demak Bintoro. Dengan rombongan dua armada kapal siap menghadang Portugis di Malaka, dan disertai armada dari kesultanan Islam yang lain seperti Palembang, Riau, aceh, dan kerajaan Islam di Jawa lainnya.
Kesultanan Islam boleh saja berbeda daulat kuasa. Tetapi ketika sudah urusan jihad, semuanya bergabung untuk menumpas kemungkaran penjajah Nusantara. Perlawanan terhadap Portugis juga berlanjut pada tahun 1527, ketika sedang singgah di Sunda Kelapa.
Falatehan atau Fatahillah dengan segenap pasukannya menyerang Portugis untuk mengusirnya. Menangguk kemenangan, momentum ini disebut kemenangan yang gemilang diambil dari ayat Al-Qur’an surat Al-Fath “Fathan Mubina”, dan Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta.
Dalam instrumen Nasional, bendera pusaka juga menjadi warisan atas laku bijak ulama dan santri, yang membudayakan tradisi sekapur sirih. Juga instrumen bahasa persatuan Indonesia, tercipta karena dalam keseharian ketika berdagang di pasar selalu membudayakan bahasa Melayu-pasar.
Berlanjut pada perjuangan Sultan Agung di bawah Panji Mataram Islam Jogjakarta. Dengan gigih memerangi VOC penjajah kongsi dagang Belanda. Perjuangan Ulama Syekh Yusuf dari Makassar yang menjadi penasihat Sultan Hasanuddin di Gowa yang kemudian dikalahkan oleh VOC karena kompeni bekerja sama dengan Aru Palakka Pangeran Bone (pribumi Bugis-Makassar).
Kemudian, Syekh Yusuf berlayar ke Bantam (sekarang Banten) dan akhirnya menjadi penasihat Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengusir kompeni. Tetapi mirisnya, Sultan Haji yang merupakan putra Sultan Ageng Tirtayasa membelot membela VOC dan berperang melawan ayahnya sendiri.
Selanjutnya, kisah perjuangan Pangeran Diponegoro tokoh santri-priyayi dalam perang Jawa tahun 1825 – 1830, yang banyak merugikan anggaran hasil tahunan tanah jajahan VOC.
Bergulir pada zaman Kebangkitan Nasional, peran ulama dan santri juga terus bergejolak. Dalam bentuk perjuangan yang lain, ulama KH Ahmad Dahlan sepulangnya menimba ilmu di Makkah mendirikan organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang pada kiprahnya melahirkan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan seperti Ir Soekarno, Panglima Besar Soedirman, KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo dan lain sebagainya.
Kemudian Ulama Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, yang memprakarsai berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama. Dalam puncaknya, setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 ketika sekutu kembali menyerang dan ingin merebut kekuasan Indonesia, beliau menyerukan “Resolusi Jihad” yang mana mewajibkan seluruh rakyat dalam wilayah yang belum diperbolehkan untuk Qashar shalat untuk mengangkat senjata melawan sekutu.
Bung Tomo mengambil peran pidato untuk membakar jiwa semangat Arek-arek Suroboyo. Kurang lebih satu pekan, 2 orang Jenderal sekutu gugur dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Dari bekal sejarah itu lah, dalam era modern santri memiliki previlege atau modal sosial yang ikut serta dalam membangun dan mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Dalam era teknologi digital, santri dan pemuda harus selalu update mengikuti arus zaman dan menjadi pemenang atas berbagai tantangan zaman dan tidak hanyut dalam deras kegelapan zaman dari ketidakberdayaan santri dan pemuda sehingga disalahgunakan oleh oknum yang hanya ingin menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya.
Karena santri dan pemuda kini ialah pemimpin masa depan dengan disertai ide dan etika, maka mula-mula yang harus dilakukan ialah “Revolusi Mental” dari kudet menjadi adaptif terhadap informasi sehingga dengan SDM yang berkualitas, memiliki gagasan yang cemerlang untuk kesejahteraan jangka panjang umat dan bangsa, niscaya masa depan negeri menjadi gemilang.
Dalam konteks Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Kiai Tolhah Mansur ketika memprakarsai berdirinya IPNU ialah bercita-cita menjadikan IPNU bisa membentuk kader yang “Intelektual Santri-Santri Intelektual”. Dengan indikator memiliki wawasan luas, mampu berpikir kritis, rasional, dan terstruktur. Serta dihiasi dengan akhlakul karimah, budi pekerti yang baik.
Di era modern ini untuk mendapatkan informasi ialah hal yang mudah karena banyaknya pihak yang memberikan akses informasi tersebut, Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul “Matinya Kepakaran” juga mengatakan di zaman yang banjir informasi seperti ini banyak orang yang berargumen mengenai suatu hal yang bukan pakarnya atau ahli di bidangnya.
Maka menjadi intelektual santri harus disertai kemampuan membaca realitas dan filter yang teliti. Sehingga apa yang kita pelajari merupakan hal yang benar dan yang kita amalkan menjadi bermanfaat, dalam istilah Ali Syari’ati intelektual santri harus menjadi Rausyanfikr atau pemikir yang mencerahkan, kehadirannya ditengah masyarakat bukan sebagai kasta elit yang jauh dari interaksi masyarakat tetapi ikut andil dalam memberikan solusi nyata atas persoalan umat dan bangsa.
*Muhammad Ubaidillah, Wakil Ketua II Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Gresik.
Referensi Opini:
– Api Sejarah 1, Ahmad Mansur Suryanegara
– Api Sejarah 2, Ahmad Mansur Suryanegara
– Rausyan Fikr, Ali Syariati