SURABAYA | NUGres – Hadir mewakili Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang belum berkesempatan hadir dalam Mujahadah Pejuang NU, Rais Syuriyah PBNU Prof Dr Ir Mohammad NUH, DEA, mewedar makna hakiki “NU dan Kemerdekaan” pada Sabtu (9/11/2024) malam, di Gedung HBNO, Surabaya.
Dalam pemaparan setelah pembacaan “Catatan Historis Resolusi Jihad Perang 10 Nopember di Surabaya” oleh KH Kikin Abdul Hakim, Prof M NUH menyampaikan bahwa dalam kata kemerdekaan terdapat dua kata yang tersembunyi.
“Yaitu yang pertama adalah kepahlawanan. Karena tidak mungkin kemerdekaan itu bisa dicapai tanpa kepahlawanan. Khususnya kepahlawanan keluarga besar Nahdlatul Ulama,” kata Prof M Nuh.
Kedua, lanjut dia, terdapat janji kemerdekaan. Karena dengan darah dan jiwa para pahlawan khususnya keluarga besar Nahdlatul Ulama.
“Kalau sudah merdeka terung ngapain? ..dan sekarang kita sudah merdeka, terus laopo?,” tanya Prof M Nuh, menyuguh pertanyaan kritis kepada para jamaah yang hadir untuk turut merenungkan keadaan.
Oleh karena itu, Prof M NUH mengatakan bila kepahlawanan memang menjadi ruh, menjadi modal yang sangat luar biasa. Akan tetapi kalau hanya dapat gelar-gelar Pahlawan Nasional, nama-namanya para tokoh diabadikan menjadi nama sebuah jalan, masih belum lah cukup sebagai penghargaan. Menurutnya hal itu penting, namun belum lah cukup.
“Sekarang ini konteksnya adalah bagaimana investasi yang sudah dilakukan oleh para tokoh-tokoh kita yang sangat luar biasa itu, akhirnya merdeka, dan di dalam kita merdeka dulu pernah punya janji, namanya janji kemerdekaan,” jelasnya.
Lebih lanjut, mengenai janji kemerdekaan itu, Prof M Nuh menyampaikan bahwa pada hakikatnya telah dituangkan ke dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
“Ada empat janji kemerdekaan itu. Yaitu melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menjaga perdamaian dunia,” bebernya.
Prof M NUH di penghujung paparannya mengajak puluhan ribu warga NU yang hadir agar memperjuangkan hak-hak kemerdekaan melalui organisasi Nahdlatul Ulama mulai dari tingkatan PBNU sampai Ranting NU.
Ia juga berharap, ada langkah-langkah strategis, baik dari PBNU sampai ke ranting apa yang harus dilakukan agar janji-janji kemerdekaan itu agar bisa diraih.
“Paling tidak ada tiga hal. Pertama, kepahlawanan itu terkait dengan masa lalu, investasi yang sudah kita lakukan. Sehingga tugas kita adalah menarik investasi-investasi itu untuk menjadi riil masa kini. Dan dari masa kini lah kita persiapkan masa depan itu,” ucapnya.
Berkenaan dengan masa depan NU, secara spesifik, Prof M NUH berpesan agar warga NU mendampingi anak-anak dan mempersiapkan masa depannya mereka dengan pembekalan nilai-nilai ke-Aswaja-an, hal ini agar NU di masa mendatang juga akan kuat.
“Yang kedua, mau tidak mau, kita harus memperkuat sektor ekonomi kita. Mau ndak mau. Kalau gelar-gelar pahlawan tadi itu sifatnya adalah non bendawi. Bukan benda. Tetapi kehidupan kita yang kita butuhkan keseharian itu sifatnya bendawi. Kita makan, minum, itu barang-barang yang bendawi. Sehingga kita tidak cukup hanya diberikan makanan-makanan yang sifatnya non bendawi, bahwa kita punya pahlawan-pahlawan yang sangat luar biasa–iya, itu penting, tapi sekali lagi itu ndak cukup. karena kita hidup di dunia riil yang memerlukan bendawi itu,” tandas Prof M NUH.
Sehingga, pihaknya berharap bahwa PWNU Jawa Timur dan PCNU-PCNU termasuk PCNU Surabaya, tempat lahirnya NU, maka di sini lah diharapkan muncul model-model, prototipe-prototipe tentang pengembangan; pendidikan, kesehatan, ekonomi dan dakwah. Insyaallah masa depan NU makin cerah dan bermartabat.
“Paling akhir, dan paling mahal ini, tahun 2040 populasi Indonesia 70 persen penduduknya usia produktif. Kalau kita hitung 87 persen Indonesia Muslim dan 70 persen dari muslim tadi itu NU, maka usia produktif itu 50 persennya adalah orang-orang NU. Sehingga bagi pemimpin bangsa ini, kalau dia tahu peta demografi, maka dia harus berbaik-baik dengan NU. Karena NU pegang 50 persen dari modal demografi, bonus demografi tadi itu,” ungkapnya, memungkasi.
Editor: Chidir Amirullah