GRESIK | NUGres – Kewaspadaan dalam mengawal transisi kepemimpinan politik, mestinya tidak sekadar dilakukan di level nasional saja, tetapi juga di tingkat lokal.
Eskalasi tinggi berpotensi terjadi pada skup yang lebih kecil. Penjelasan sederhana tentang hal ini bisa dilakukan dengan meminjam perspektif proximity atau proksimitas alias kedekatan.
Analisis tersebut dihantarkan oleh Prof. Akh Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA,M,Phil,Ph.D, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya dalam diskusi terbatas, tentang “Deteksi Dini dalam Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional yang Demokratis dan Bermartabat”, Kamis 21 November 2024 di Surabaya.
Diskusi ini dihelat oleh Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Jawa Timur, dimana Prof Zaki menjadi ketua pada lembaga tersebut.
“Semakin dekat sebuah kejadian, semakin terbatas resources yang tersedia, maka semakin tinggi eskalasinya. Itulah kira-kira penjelasan dari teori proximity. Karenanya, fokus untuk mengawal transisi kepemimpinan tidak hanya di level nasional, karena efek yang lebih besar timbul pada proses politik yang secara jarak, lebih dekat dengan masyarakat,” papar Guru Besar Sosiologi Pendidikan, melalui keterangan yang diterima NUGres, Jumat (22/11/2024).
Cara pandang ini yang dalam kondisi mutakhir, kata Prof Zaki, bisa digunakan untuk memahami sejumlah kasus kerawanan sosial yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah di Jawa Timur.
”Ini kan ironi. Apakah pelaksanaan pemilu harus dengan dibarengi dengan adanya korban? Saya lalu berpikir, bagaimana dengan pemilihan kepala desa? Tingkat eskalasinya mungkin akan lebih tinggi karena momen tersebut berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat,” imbuh Prof Zaki.
Dengan begitu mengawal transisi kepemimpinan di semua level harus terus diupayakan, terutama peralihan kekuasaan pada level yang paling dekat dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, Prof Zaki juga menyoroti era transisi yang kerap kali berujung transaksi. Menurut Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, upaya untuk mengawal situasi ini penting untuk dilakukan oleh semua kalangan.
Menurutnya, kekuatan pengawalan atau dalam batas-batas tertentu berubah menjadi perlawanan, terjadi ketika satu peristiwa mendapatkan atensi publik.
Di sini, kekuatan media sosial bisa diupayakan untuk menjadi tekanan pada kekuasaan. “Maka, jangan disimplifikasi atau jangan dianggap enteng kekuatan media sosial itu, karena sebuah peristiwa betapapun ia ada di tingkat lokal, ketika menjadi atensi publik melalui media sosial, ia akan berubah sebagai medium perlawanan,” terang alumnus dari Australian National University (ANU) dan University of Queensland, di akhir sesi. (*)
Editor: Chidir Amirullah