SAYA turut ucapkan ini: Selamat dan sukses NUGres. Sebuah kanal digital. Baru tapi lama. Lama tapi baru. Barunya bagi NUGresik. Barunya semangatnya itu. Ghirrahnya itu.
Lama karena “pemain” kanal digital sudah begitu banyak. Membuih. Lahir Lebih dulu. Bahkan, di internal organisasi NU sendiri. NU Online, misalnya. Yang kini sudah diperhitungkan banyak kalangan. Jadi satu referensi.
Launching NUGres juga unik. Ada ikhtiar, meminjam kata Prof Rheinald Kasali, ada sentuhan orkestrasi. Menjadikan sesuatu yang mungkin biasa, menjadi lebih dari biasa.
Kalau diibaratkan bayi, kelahiran NUGres layak disembelihkan kambing dua. Berarti bayinya laki-laki. Patut mendapat apresiasi. Serta bisa menjadi inspirasi NU di kabupaten/kota lain.
Jika semua daerah ada, betapa makin riuhnya kanal digital. Jasa penyedia-penyedia informasi. Publik, terutama bagi warga NU, tinggal berselancar. Maka, hukum pasar pun berlaku: Kualitaslah pemenangnya. Kreatifitas dan inovasilah yang kelak akan menjadi rajanya.
Persoalannya kreatif dan inovatif itu adalah konsep. Karena konsep, maka definisinya kontekstual. Terus akan berubah. Beriringan dengan masa.
Kata “kreatif dan inovatif” akan statis. Selalu tetap. Selamanya. Tapi definisinya dinamis, terus berubah. Kemarin sebuah produk dianggap sangat kreatif dan inovatif, hari ini bisa jadi kuno. Sekuno-kunonya. Lusa, lebih kuno lagi. Terus begitu. Kita pun bisa dengan mudah menyebut banyak contohnya.
Karena baru tapi lama, lama tapi baru itu, maka konsistensi dan komitmen menjadi pegangannya. Konsisten apa? Komitmen bagaimana? Ini juga menjadi modal pertaruhan. Betapa banyak yang akhirnya tertelan zaman karena dua hal itu. Jawabannya, ada pada SDM.
***
Saya menemukan kata kunci ini: Jurnalistik emosional. Kata kunci itu saya dengar dari Pak Dahlan Iskan (DI). Guru kami. Saat saya dkk silaturahmi ke rumahnya. Minggu lalu, beramai-ramai. Untuk nge-charge kompetensi, skill dan knowledge.
Memang, Pak DI tidak mendadar panjang dan lebar soal itu. Jurnalistik emosional itu. Tapi, kami lah yang mesti berusaha mencari tafsirnya.
“Emotions will save journalism in the digital age.”
Kira-kira begitu “teori” yang disampaikan Pak DI. Saya berusaha menerka. Menafsir sendiri. Intinya, konten emosional yang akan menyelamatkan produk jurnalistik di era ‘ambyar’’ saat ini.
Saya pun menelusuri. Pengajar media, Charlie Becket dan Mark Deuze dari University of Amsterdam, pernah menuliskan itu dalam sebuah jurnalnya. Kenapa emosi menyelamatkan jurnalisme di era digital? Hasil penelitiannya, penyebabnya adalah media sosial.
Dan penelusuran saya berangkat dari definisi: “maa huwa emosi?”
***
Era sekarang, zaman ‘’ambyar’’ ini, publik tidak lagi hidup bersama media. Beda dengan era analog dulu. Tapi, berada di dalam “injeksi” media. Sadar atau tidak berada dalam kerumunan media. Terutama media sosial.
Seperti lirik sebuah lagu dangdut Elvi Sukaesih. Judulnya: Kubawa. Satu liriknya:..Tak sehari pun berlalu tanpa bayanganmu. Tak sedetik pun berlalu tanpa dirimu. Mu di sini silakan ganti dengan gadget dan media sosial. Iya bukan? Iki nek ndak konco, ndak tak kandani.
Nah, karena sehari-hari hidup di dalam gadget dan media sosial, maka konten-konten yang kita konsumsi dari gadget dan media sosial itu pun akan terbawa. Begitu pula ketika melihat konten jurnalistik. Kebiasaan yang terus menerus itu akan membangun persepsi dan bisa mewujud ke dalam perilaku.
Sebenarnya konten apa yang kita konsumsi di media sosial? Jawabnya, tidak jauh dari konten-konten emosional. Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, sejatinya eksploitasi emosi. Baik itu berupa tulisan atau gambar.
Emosi tidak selalu negatif. Arti emosi bukan hanya marah-marah. Jengkel. Geram dan sejenisnya. Seperti dalam pemahaman awam kita. Emosi memilki arti luas. Mungkin seluas makna cinta. #Eeaaa…
Emosi dari kata bahasa Perancis, émotion, dari émouvoir, ‘kegembiraan’ dari bahasa Latin emovere, dari e-(varian eks) ‘luar’ dan movere ‘bergerak’. Dengan demikian, emosi dapat diartika adalah “bergerak keluar”.
Apa yang “bergerak keluar” itu? Dalam kajian psikologi, William James menyebut yang bergerak keluar itu adalah kondisi-kondisi budi rohani yang menampakkan diri dengan suatu perubahan yang jelas.
Chaplin dalam dictionary of psychology, emosi adalah sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang lebih mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Katanya, emosi itu beda dengan perasaan (feelings).
Kalau perasaan adalah pengalaman disadari yang diaktifkan, baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah. Emosi berasal dari kondisi yang lebih dalam dibandingkan pengalaman.
Goleman menyatakan, emosi ialah setiap kegiatan atau pergolakan perasaan, pikiran, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dari serangkaian kecenderungan individu untuk bertindak.
Emosi dapat menjadi motivator perilaku bagi individu namun dapat juga mengganggu perilaku.
***
Emosi pada individu dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, emosi sensoris. Yakni, emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar tubuh seperti dingin, panas, lapar, sakit.
Kedua, emosi psikis yang memiliki alasan kejiwaan seperti perasaan intelektual yang berhubungan dengan perasaan benar, atau perasaan terkait hubungan dengan orang lain, baik secara perorangan maupun kelompok.
Lalu, emosi pun beragam bentuk. Dectraes membagi lima macam bentuk emosi. Desire (hasrat), sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), love (cinta), joy (kegembiraan)
Watson membaginya menjadi tiga. Yakni, fear (ketakutan), rage (kemarahan) dan love (cinta)
Goleman mengelompokkan emosi menjadi: Amarah (benci, jengkel, beringas, mengamuk); kesedihan (sedih, putus asa, muram, pedih, melankolis, mengasihi diri); Takut (was-was, gugup, cemas, khawatir, waspada, tidak tenang, ngeri); Kenikmatan (senang, riang, gembira, bahagia, bangga, terhibur, puas); Cinta (kemesraan, persahabatan, kebaikan hati, kepercayaan, bakti, rasa dekat); Terkejut (terkejut, terkesiap); Jengkel (muak, tidak suka, hina, jijik) ; Malu (malu hati, kesal).
Nah, kembali ke konten di media sosial, ada banyak pula bentuk emosi yang dapat kita cermati. Yang kita lihat dari teman, pacar, keluarga, istri, bahkan mantan, adalah bentuk dari konten-konten emosional itu. Mulai pandangan politiknya, aktivitasnya, mengasuh anak, jalan-jalan ke luar negeri, aktivitas makan, drama di jalanan sampai cerita-cerita kepiluan, mengharu-birukan, jalan rusak dan seterusnya.
Paparan itu yang membuat kita mencari konten yang relatif sama ketika membaca media. Berita-berita yang banyak dikonsumsi adalah berita yang sedikit-banyak menguras atau membuat emosi tergerak.
“We feel faster than we think”. Kita itu lebih cepat merasa, daripada berpikir.
Maka, diskusi soal konten di media tidak lagi pada bentuk. Tapi, bergeser kepada isi. Apakah konten ini cukup emosional bagi pembaca? Maka, dalam ‘’rukun iman’’ nilai berita, emosional tampaknya memiliki kini bobot tinggi daripada aktualitas, ketokohan, kedekatan, dan seterusnya itu. Bentuk konten bisa menjadi sangat cair secair masa mendekati pilkada. #Eaaa….
Ada banyak pendekatan untuk bisa menjadikan konten lebih emosional. Namun, pendekatan paling mudah adalah pendekatan manusia. Semakin dekat dengan manusia, semakin mudah menggerakkan emosi.
Naisbitt pun dalam bukunya “High Tech, High Touch : Technology and Our Search for Meaning” mendukung pendapat ini. Pada situasi teknologi mewabah, kita justru haus akan sentuhan kemanusiaan. Asyeekkk…
Perkembangan teknologi yang luar biasa, tidak diiringi dengan perubahan sosial yang memadai. Naisbitt menyebut era “ambyar’’ ini sebagai ‘zona keracunan tehnologi’. Di satu sisi sangat memuja teknologi, di sisi lain ada bagian yang hilang dari teknologi. Yaitu, sentuhan kemanusiaan yang kita idamkan. Asyekkk lagi…
Maka, pertarungan keras para produsen informasi kekinian sebetulnya seputar konsep “emosional” itu. Bagaimana cara memprasmanankannya kepada khalayak. Yang pas dan cocok di lidah. Eh, mata. Eh, hati. Jika tidak ingin terbunuh waktu.
Begitu pun tantangan pada awak NUGres dan juga yang lain. Termasuk awak dewe. He…he…
Cuma, jangan emosional–definisi marah–dengan begitu panjangnya catatan ini. Mohon maaf, wes nyampek Bunder.
*) KangHoed, Wong Suci, Ditulis dari berbagai sumber