Muchammad Toha*
Berturut turut kita kehilangan tokoh pejuang keumatan yang cukup ikhlas dan legendaris di Kabupaten Gresik, tahun 2019 KH. Achmad Zaini Sa’dan berpulang dan kini di tahun 2020 Dr. KH. Achmad Robbach Ma’sum, Drs. MM. menyusul berpulang. Kedua tokoh ini memiliki beberapa kesamaan, sama-sama alumni pesantren, sama-sama pernah menjadi ketua tanfidziyah PCNU Gresik, sama-sama pernah duduk di kursi legeslatif Gresik, sama-sama pernah menjadi ketua partai politik, sama-sama guru di sekolah formal dan sama-sama muballigh yang sabar ngurus umat dari kampung ke kampung serta naik turun dari panggung ke panggung.
Dari segi usia kedua tokoh ini tidak sama, KH. Zaini Sa’dan lebih tua karena dari tahun kelahirannya beliau diatas KH. Machfud Ma’sum (kakak KH. Robbach Ma’sum), tapi masyarakat Gresik terutama dari kalangan tua, masih mencatat bagaimana keberanian kedua tokoh ini dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat Gresik pada masanya masing-masing, sehingga tidak heran kenapa dua tokoh ini begitu lekat di hati masyarakat, karena kedua tokoh ini berangkat dari bawah dan kebesarannya seiring dengan permutaran gerak masyarakat serta tekanan kekuasaan pada waktu itu.
Sebagai aktifis NU yang baru pulang dari Pondok Pesantren Gontor Ponorogo, Yai Zaini (begitu biasanya masyarakat memanggil) langsung memberikan pencerahan pada masyarakat melalui dakwah-dakwahnya dan seiring dengan itu beliau juga turun ke gelanggang politik bahkan duduk sejak jaman Partai Nahdlatul Ulama sampai partai ini berfusi, beliau tampil saat begitu kuat-kuatnya kekuasaan mempreser terhadap para tokoh politik yang tidak sehaluan, sehingga beliau laksana icon gerakan masyarakat kelas bawah pada waktu itu.
Dengan sikapnya yang tenang, sederhana dan bersahaja beliau lulus memimpin PCNU Gresik di tengah masa-masa yang cukup sulit dan beresiko, karena lepas masalah tragedi nasional yang mengerikan di tahun 1965 dan NU yang menjadi salah satu sasaran, dilanjutkan Pemilu 1971 yang memilukan bagi kalangan warga NU berhasil beliau lalui meskipun harus dengan deraian air mata serta tekanan jiwa yang melahirkan duka nestapa.
Ketika peralihan dari Kabupaten Surabaja yang berpusat di Jalan Genteng Kali (sekarang Taman Budaya Jatim) menjadi Kabupaten Gresik yang berpusat di sekitar wilayah alun-alun Gresik, beliau termasuk salah satu tokoh penting dalam suksesnya peralihan tersebut, bahkan sesuai cerita yang pernah disampaikan beliau pernah menjabat Badan Pelaksana Harian (BPH) Pemerintah Kabupaten Gresik ketika masa transisi peralihan pemerintahan.
Begitu juga Yai Robbach (begitu masyarakat umumnya memanggil), sepak terjangnya cukup luar biasa terutama dalam menjaga idealismenya yang pada waktu itu tidak banyak orang yang berani mengambil pilihan sebagaimana kiai keturunan Mas Karebet (Sultan Adi Wijoyo) alias Joko Tingkir ini, ditengah para tokoh yang hampir sebagian besar tiarap dan diam seribu bahasa, beliau berani dengan lantang dan terang-terangan untuk tidak menerima monoloyalitas politik sehingga berekses dalam pekerjaannya.
Dengan sabar ekses itu beliau jalani walaupun dengan kesengsaraan fisik yang luar biasa bahkan kadang kadang harus berpisah dengan istri tercinta serta umat yang menjadi pendorong spirit perjuangannya, meskipun pada akhirnya harus melepas pekerjaan yang telah digelutinya dalam beberapa tahun lamanya dan akhirnya secara total menceburkan dirinya untuk mengurus NU level cabang yang pada waktu itu belum menarik dan tidak ada apa-apanya, selain diawasi dan dipantau oleh kekuasaan terutama bila materi pengajiannya membahayakan bagi kekuasaan.
Ternyata buah dari kesabaran dan kekokohkan sikap itulah, ketika gelombang reformasi tiba kelihatan kemampuan beliau dalam memimpin, mengendalikan, serta membaca kehendak dan kebutuhan massa sehingga masyarakat menambatkan harapannya pada beliau sehingga dalam dua periode berhasil memimpin Gresik dengan membangun desa menata kota dengan gemilang, dan sejarah pasti akan mencatat beliau lah bupati yang berasal dari masyarakat (non pejabat karier struktural) serta bupati pertama yang dipilih oleh masyarakat secara langsung.
Sebagai ketua NU dan ketua partai politik yang baru lahir pada masa reformasi itu, tidak sedikit yang mencemooh ketika beliau dicalonkan sebagai bupati, salah satu sarkasme itu adalah opo iso ketua NU mimpin Gresik, ternyata sebagai anak santri ternyata beliau berhasil menjadi pemimpin dua periode yang cukup mengesankan dan memberikan warna tersendiri. Akhirnya selamat jalan Yai Robbach dan Yai Zaini terimakasih atas jerih payahmu untuk Gresik tercinta ini moga kami bisa meneladani.
*Penulis tinggal di Gresik, kini bekerja di Pusdiklat Kemanag Jawa Timur