GRESIK | NUGres – Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, mengungkapkan visi sustainability (keberlangsungan) pondok pesantren dimulai ketika Nahdlatul Ulama didirikan. Hal itu disampaikan kala menjadi pembicara kunci Simposium Pesantren dengan tema “Strategi Penguatan Pesantren sebagai Pilar Masa Depan Indonesia”, yang digelar oleh Ditjen Pendis Kemenag RI bekerja sama dengan PBNU, di Gedung Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa (8/10/2024).
Menurut Gus Yahya, sebelum Nahdlatul Ulama didirikan, jarang bahkan nyaris-nyaris tidak ada kiai yang mewariskan pesantrennya kepada dzuriyahnya agar meneruskan estafet kepengurusan lembaga. Justru yang ada para dzuriyah kiai tersebut mendirikan pesantren masing-masing di berbagai wilayah di mana mereka menetap.
“Bahwa pesantren itu adalah lembaga yang sebetulnya setelah melalui rentang sejarah yang begitu panjang telah mengalami metamorfosis-metamorfosis,” tutur Gus Yahya mengawali pemaparan dalam acara tersebut, disiarkan melalui live streaming YouTube TVNU, dilihat NUGres pada Selasa (8/10/2024) petang.
Lebih lanjut, Gus Yahya merespons berkaitan dengan ciri-ciri atau karakteristik pesantren yang dicerap dengan gambaran yang indah-indah itu sungguh-sungguh. Menurutnya, masih ada fenomena kepesantrenan yang umum, atau sebetulnya tinggal menjadi semacam mitos ketika seseorang memandang eksistensi pesantren.
“Pesantren itu pada mulanya berakar dari satu tradisi yang merupakan produk dari konstruksi peradaban Nusantara yang kuno sekali. Itu ketika tercapai sukses, yang pertama dari inisiatif berskala peradaban di Nusantara ini oleh Sriwijaya yang bertahan sampai tujuh abad. Saya belum menemukan cukup banyak kajian dibuat mengenai hal ini. Tapi dari yang ada, saya melihat bahwa konstruksi peradaban Sriwijaya itu antara lain diwarnai oleh tradisi atau struktur sosial politik yang federatif di dalam masyarakat,” ungkapnya.
Gus Yahya berpandangan bahwa Sriwijaya hanya mengukuhkan tampuk politik di bandar-bandar, di pelabuhan-pelabuhan, untuk mengendalikan perdagangan maritim pada waktu itu. Sementara struktur dan dinamika sosial politik di pedalaman, pulau-pulau Nusantara, ini dibiarkan bebas asalkan kegiatan perdagangan tunduk kepada kendali dari Sriwijaya.
“Maka tumbuh di pedalaman-pedalaman Nusantara ini komunitas-komunitas independen. Seperti di Jawa ini misalnya, ini sudah merupakan konstruksi yang kuno lahirnya pemimpin-pemimpin komunitas yang mendapatkan legitimasi kepemimpinan di lingkungan masing-masing, dan independen satu sama lain. Di Jawa ini, kita kenal ada sebutan Ki Ageng yang ini sudah dikenal sejak sebelum masa Islam, (mereka) merupakan pemimpin-pemimpin komunitas pada masanya, yang independen satu sama lain,” sambung Gus Yahya.
Di antara pemimpin komunitas itu, Gus Yahya bilang bahwa terdapat pemimpin yang menonjol dari kapasitas kepemimpinan maupun kapasitas mentalnya. Mereka pada masa itu dipercaya memiliki keunggulan atau kemampuan linuwih di dalam ilmu-ilmu spiritual, mistik dan sebagainya. Tokoh-tokoh ini selanjutnya mendapatkan reputasi yang luas dan perlahan didatangi oleh murid-murid yang ingin belajar. Sedangkan bagi para cantrik-cantrik yang sukses, kemudian kembali ke kampung halaman masing-masing dan tumbuh menjadi Ki Ageng-Ki Ageng yang baru dengan meraih reputasinya sendiri.
“Dalam waktu yang sangat lama, tumbuh sebagai mekanisme budaya yang kurang lebih alami. Ki Ageng-Ki Ageng yang lama surut dan muncul yang baru demikian seterusnya secara alami, yang polanya dalam waktu sangat lama tidak terlalu beraturan. Karena seorang Ki Ageng belum tentu punya anak yang mampu mewarisi kapasitas kepemimpinan yang seperti orang tuanya,” tukas Gus Yahya.
Keturunan-keturunan Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Giring dan banyak lainnya, memang ada beberapa diantaranya yang mampu tumbuh seperti orang tua mereka. Namun, banyak pula Ki Ageng yang tidak memiliki penerusnya. Belakangan, di masa-masa itu pada akhirnya yang lebih ditekan adalah kapasitas mental. Kapasitas spiritual, yang tidak terlalu memiliki perhatian pada pada aspek-aspek akademis.
“Jadi kalau kita tanya tentang apa khasanah keilmuan yang tumbuh di dalam komunitas-komunitas di Nusantara sekitar abad kesepuluh sampai abad keempat belas?, yang kita temukan adalah tulisan-tulisan tidak terlalu banyak, yang lebih mengulas tentang kapasitas spiritual dan mungkin juga sedikit pengetahuan mistik. Sementara banyak dari khasanah pengetahuan tentang hal itu justru diwariskan secara oral dari generasi ke generasi. Sehingga jarang kita temukan sumber-sumber tertulis tentang itu. Jadi, yang kita dengar dari kehebatan tokoh-tokoh pada masa-masa itu biasanya adalah kehebatan-kehebatan supranatural,” terang Gus Yahya.
Pada babak selanjutnya, ketika hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah semakin lancar, khususnya setelah dibukanya Terusan Suez, baru lah kemudian aspek-aspek akademis dari sumber-sumbernya mulai diserap oleh para tokoh dan dibawa ke Nusantara.
“Ini ditandai generasi KH Nawawi al Bantani. Walaupun Kiai Nawawi Banten akhirnya tidak kembali ke Nusantara menetap di Hijaz, di Makkah, tetapi teman-teman segenerasi atau murid-muridnya, banyak yang kembali ke Nusantara dan di sini mengembangkan wacana dan pengajaran tentang pengetahuan-pengetahuan agama yang lebih bersifat akademis. Mulai diajarkan kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu. Apakah itu fikih atau syariat. Nahwu, shorof, dan lain sebagainya. Dan ini terus berkembang menjadi salah satu ciri utama dari pesantren,” tukas Gus Yahya.
Pesantren yang pada mulanya adalah bagian dari konstruksi sosial budaya masyarakat-masyarakat komunal di Nusantara yang menyerap para pendakwah Islam di dalam kepemimpinan, tumbuh menjadi lingkaran-lingkaran studi akademik, namun tetap dengan ciri spiritual yang sangat kuat.
“Satu hal yang saya kira perlu kita tandai di sini bahwa pada masa-masa itu tidak cukup berkembang aspirasi untuk melangggengkan, memapankan lembaga. Jadi pesantren-pesantren pada masa itu timbul tenggelam, tumbuh runtuh, hilang secara tidak beraturan. Diserahkan kemampuan pada masing-masing. Kadang-kadang tumbuh di suatu tempat, tapi kemudian potensinya dipindah ke tempat lain dan tempat yang lama hilang. Itu biasa waktu itu,” tutur Gus Yahya.
Sebagai ilustrasi, Gus Yahya menyajikan fakta bahwa Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Ia merupakan putra dari Kiai Asy’ari dari tempat lain di Jombang, dari daerah Kras. Sedangkan Kiai Asy’ari putra Kiai Abdul Wahid punya pesantren di Salatiga. Jadi tidak ada aspirasi untuk melanggengkan lembaga.
“Dulu itu begitu, menjadi nilai yang dianggap fundamental, karena ini merupakan penanda keikhlasan dari kiainya. Dia mengajar, mengasuh santri dengan ikhlas, wis pokoknya ini pesantrennya masih terus apa ndak, ya sudah ‘Ala Allah gitu,” kata Gus Yahya.
Gus Yahya juga berkisah, tentang seorang kiai di daerah Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yakni Kiai Abdullah bin Abdussalam atau dikenal Mbah Dullah Salam. Kiai yang merupakan paman dari KH Sahal Mahfudz. Mbah Dullah Salam memilik tekad keikhlasan yang diwujudkan dalam penolakan untuk berpikir tentang kelangsungan, tentang sustainability.
“Beliau itu sampai tidak mau membangun pesantren. Tidak mau membuatkan kamar untuk santri. Ketika ada orang datang membawa anaknya, untuk dititipkan beliau bilang, “Ya kalau mau ngaji sini saja ajar tapi aku gak mau bikin pondok. Kalau mau mukim di sini ya silakan, cari tempat sendiri”. Sehingga akhirnya orang-orang ini iuran untuk beli tanah sendiri di dekat rumahnya Mbah Dullah Salam itu, lalu dibangunkan kamar sendiri untuk anak-anak mereka. Hingga yang sekarang menjadi pesantren itu sebetulnya millik, hasil iuran wali-wali santri yang ingin menitipkan anaknya,” kisah Gus Yahya.
Mbah Dullah Salam, sambung Gus Yahya tidak pernah mau mengurus pondokan yang dibangun oleh wali santri tadi. Mbah Dullah Salam hanya tinggal di rumah yang dekatnya ada surau, langgar, dan beliau mengajar di surau itu. Suatu ketika, putra Mbah Dullah Salam yaitu Kiai Nafi’, mungkin didorong karena keprihatinan melihat keadaan, berkali-kali usul untuk perbaikan infrastruktur tidak pernah diterima. Akhirnya nglimpe, Mbah Dullah Salam sedang pergi berhaji, Kiai Nafi’ ini diam-diam membangun kamar-kamar untuk santri, memperbaiki langgarnya yang lebih baik dalam waktu hanya dua – tiga bulan selesai. Sepulangnya dari berhaji, Mbah Dullah Salam menanyakan langgar tempat ia mengajar. Kiai Nafi’ lalu menyampaikan bahwa langgarmya telah direnovasi. Sejak itu Mbah Dullah Salam ngajar di rumahnya.
Gus Yahya menyatakan, bahwa sebagian kiai di masa lalu memandang tabu aspirasi menyiapkan anaknya untuk meneruskan lembaga. Bahkan, hal ini dianggap menodai keikhlasan dalam berkhidmat.
Selanjutnya, aspirasi tentang sustainability ini perlu dibedah secara mendalam. Namun, Gus Yahya menduga aspirasi ini muncul gara-gara didirikannya Nahdlatul Ulama. Karena persis dengan jam’iyah itulah gagasan tentang sustainability diperkenalkan.
“Bahwa para ulama itu semestinya punya visi jangka panjang, cita-cita yang jauh kedepan. Dan untuk itu diperlukan satu model dan kendaraan perjuangan yang suistanable. Maka didirikanlah organisasi namanya jamiyah Nahdlatul Ulama. Sehingga kiai-kiai mulai mengenal gagasan tentang kelangsungan,” kata Gus Yahya.
Sesudah kemerdekaan, sekira tahun 60-an, lanjut Gus Yahya, kiai-kiai mulai serius menyuruh anak-anaknya ngaji demi kepentingan meneruskan ketersediaan kepemimpinan yang kelak akan mengisi perkhidmatan untuk Nahdlatul Ulama.
Hingga jaman berkembang, terdapat tantangan-tantangan yang lebih besar dan semakin kompleks, aspirasi kepentingan untuk membekalkan nilai lebih bagi generasi penerusnya dan melengkapi kapasitas kelembagaan pondok pesantren.
“Bersama-sama dengan berkembangnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi, berkembang signifikansi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi di tengah-tengah masyarakat, ini kemudian menumbuhkan imajinasi tentang pentingnya pesantren. Nah, banyak kualitas-kualitas yang sebetulnya merupakan penanda nature di pesantren di masa lalu ini kemudian dianggap atau diasumsikan masih ada sampai sekarang. Termasuk kapasitas dalam mengarahkan komunitas yang menjadi basis lingkungannya. Walaupun sebetulnya secraa kualitatif intensitas dari peran komunitas itu tidak lagi sama dengan masa lalu, telah mengalami banyak sekali kemerosotan karena berbagai hal termasuk perkembangan dalam struktur politik masyarakat pada umumnya. Mengenal negara modern, dengan birokrasi dan sebagainya, maka kontrol atas para masyarakat itu diambil alih oleh eksponen-eksponen dari pusat kekuasaan melalui birokrasi,” tandas Gus Yahya.
Di penghujung paparannya, Gus Yahya mengajak peserta simposium pesantren untuk mencerap nature dari perubahan yang terjadi mulai dari tingkat struktur masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakan seperti penyediaan sumberdaya, layanan maupun fasilitas pemerintah melalui rekognisi pesantren.
“Saya berharap bahwa di dalam simposium ini berbagai macam faktor yang relevan terkait dengan pesantren dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai kita diskusi hanya berdasarkan mitos-mitos. Gus-gus yang sakti itu sudah ndak ada—Gus sekarang gini-gini ini. Ndak ada yang sakti-sakti itu, Gus-gus yang punya kemampuan mengayomi masyarakat itu lho, ndak ada sekarang itu. Yang ada Gus-gus pidato kayak saya begini. Yang betul-betul menjadi pengayom dari komunitas itu dimana kita bisa temukan, sebagian besar sibuk dengan urusan lembaga pesantren itu sendiri, yang memang tidak mudah untuk dikelola. Jadi kita harus lihat realitasnya. Kenyataan seperti apa, supaya ndak cuma jadi bunyi-bunyian. Kalau dibilang pesantren jadi pilar masa depan itu bagian mana, gitu? Soalnya rumah itu kan pilarnya macem-macem. Ini harus betul-betul berdasarkan realitas yang faktual. Jangan sampai cuma didasarkan pada stereotip-stereotip, jangan cuma didasarkan pada mitos-mitos, tetapi harus sungguh-sungguh didasarkan pada realitas yang berkembang,” tandasnya Gus Yahya.
Editor: Chidir Amirullah