KUMBAKARNA bukannya tidak tahu bahwa yang salah memang kakaknya, Rahwana atau Prabu Dasamuka. Namun ketika peperangan telah berkobar, antara Alengka Diradja dan Pancawati, Kumbakarna tetap saja maju berperang dan berangkat ke medan laga demi membela negerinya. Pendeknya, Kumbakarna telah melampaui “klaim salah-benar” sebab kesediaan dirinya untuk “budal” perang digerakkan oleh loyalitas atau kesejatian.
Di saat adiknya, Wibisana (yang meninggalkan Alengka dan bergabung dalam barisan Rama karena protes atas ulah Rahwana) mempertanyakan tindakan Kumbakarna yang “budal” perang dan berada di pihak Rahwana, maka Kumbakarna dengan tegas menjawab,
“Wahai saudaraku, aku tidak pernah menginginkan perang, tapi aku juga tidak mau negeriku dijajah dan diinjak-injak oleh negeri lain. Aku perang ini pun bukan karena membela kakakku, Rahwana yang jelas-jelas keliru. Tapi aku berangkat perang ini demi membela negeriku, demi martabat dan kesetiaan pada negeriku, Alengka Diradja”
Prinsip Kumbakarno dalam artikulasi kids jaman now jelas, yakni: right or wrong is my country. Spirit Kumbakarna inilah yang diadopsi oleh satuan-satuan militer dan institusi pembela negara di dunia, seperti para Samurai, institusi TNI dan juga Banser.
Keramat dan Kesetiaan
Yang jarang dipahami banyak orang adalah, bahwa kesetiaan merupakan satu sikap mulia yang pada akhirnya akan melahirkan buah tersendiri. Bahkan seringkali kesetiaan harus tetap dikedepankan melampaui klaim salah dan benar. Seperti Kumbakarna yang tetap setia membela negerinya, pada akhirnya nama besarnya harum bak semerbak bunga.
Doktrin tentang kesetiaan inilah yang dipakai dan diamalkan sepenuh hati oleh para ksatria, misalnya Mister Banser. Memang, barangkali tidak bisa 100 % Banser menerapkan spirit kesetiaan terhadap NU dan para Kiai sebagaimana Kumbakarna, tapi kurang dari 100 % tentu tidak mengapa. Apalagi salah satu kaidah yang di-ugemi Nahdliyyin, khususnya Banser adalah, “yang tidak bisa diperoleh seratus persen, jangan ditinggalkan seratus persen” (Arab: ma la yudroku kulluhu la yutroku kulluhu).
Tanpa bermaksud menilai berlebihan, tapi aku punya pandangan dan penilaian khusus tentang Banser. Versi saya, jabatan sebagai Banser lebih menantang daripada jabatan sebagai Satpam, polisi maupun TNI. Sebagai Banser, mereka dituntut memiliki loyalitas dan kesetiaan ala militer, tapi tidak dapat gaji tetap serta fasilitas sebagaimana mereka. Seragam dan atribut pun Banser harus beli sendiri. Inilah yang menarik.Tidak sama dalam perolehan fasilitas, namun dituntut sama dalam penyajian loyalitas. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang punya cukup banyak cadangan sifat ikhlas.
Akhirnya, Banser adalah manusia. Seperti halnya kita semua. Kadang mereka juga melakukan kekhilafan dan kekeliruan. Mungkin kita tidak bisa belajar tentang intelektualitas atau kemapanan finansial dari para Banser. Tapi dari Banser kita bisa belajar sesuatu yang mulia, dan di zaman ini mulai langka: kesetiaan. Kesetiaan terhadap organisasi, ketaatan pada asas nilai serta loyalitas pada para ulama dan Kiai.
Jangan lupa, Tuhan dan kehidupan pun menghargai sebuah kesetiaan. Sehingga kesetiaan terhadap nilai dan dibingkai dalam koridor yang benar tak jarang pada akhirnya memunculkan ke-keramatan.
Penulis : Ahmad Rofiq |Penulis Buku Jagad Kiai Gresik | Founder Pesantren Virtual Pertama di 5 Benua