Oleh : Ulil Abshar Abdillah
NU sering dicitrakan oportunistik pada kekuasaan, maka ketika suara penolakan UU Cipta Kerja muncul dari PBNU, sikap kritis ini patut dirayakan.
Sikap Nahdlatul Ulama (NU) yang dengan tegas menolak UU Cipta Kerja cukup mengagetkan banyak kalangan. Maklum, dalam beberapa tahun terakhir, citra NU dan elit-elitnya cenderung identik dengan permainan “politik praktis”.
Keterlibatan elit-elit NU di dalam politik pilkada, misalnya, memicu munculnya kesan NU yang “politis” ini. Citra ini diperkuat lagi saat Kiai Ma’ruf Amin, mantan Rois ‘Aam PBNU, maju mendampingi Jokowi sebagai cawapres dalam pilpres lalu.
Faktor lain yang memperkuat citra politis ini adalah kuatnya pengaruh PKB selama kepemimpinan Ketua Umum PBNU yang sekarang, Kiai Sa’id Aqil Sirodj. Sekretaris Jenderal PBNU, misalnya, dijabat oleh seorang politisi PKB yang masih aktif hingga sekarang, yaitu Helmy Faishal Zaini.
Banyak kalangan di dalam NU yang melihat kuatnya pengaruh PKB dalam PBNU ini sebagai hal yang, jika memakai nomenklatur fiqh, “khiaful aula”, kurang sesuai dengan kondisi ideal yang dibayangkan.
Pengaruh ini, di mata sebagian kalangan NU, menyebabkan warna “politis” lebih mendominasi citra NU di mata publik. Walau NU bukanlah partai politik, tetapi sebagian orang melihat organisasi ini terkesan punya citra “semi-partai.”
Ketika Kiai Sa’id menolak dengan tegas UU Cipta Kerja, sebagian kalangan bertanya-tanya: What happens to NU? Kenapa NU sekarang mendadak “populis”?
Pertanyaan ini saya baca dalam sejumlah percakapan di media sosial, terutama di Twitter. Kiai Sa’id tidak saja menolak UU ini, tetapi juga menggunakan bahasa yang dari segi “komunikasi politik” lumayan keras.
Seperti dikutip di laman NU Online, Kiai Sa’id menegaskan bahwa UU ini, “Hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis, investor. Tapi menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil.”
Dilihat dari segi apapun, pernyataan Kiai Sa’id ini cukup keras, apalagi dari dilihat dari standar “sosio-linguistik” para kiai NU yang biasanya dikenal “kalem”.
Sejumlah pihak bertanya-tanya: kenapa NU tiba-tiba mengeras? Apakah NU telah menjadi oposan politik terhadap pemerintahan Jokowi? Bagaimana NU bersikap begitu keras sementara ada Kiai Ma’ruf Amin di dalam Pemerintahan? Pun dengan sejumlah kader PKB juga duduk di dalam kabinet Jokowi.
Saya ingin menyebut kembalinya sikap kritis ini sebagai “re-radikalisasi”. Istilah ini tak ada kaitannya sama sekali dengan pengertian umum yang digunakan hari-hari ini, seperti dalam frasa “Islam radikal.”
Radikal saya maknai sebagai “sikap yang keras” dan tegas vis-à-vis Pemerintah. Saya sengaja memakai istilah “re-radikalisasi” atau pengerasan kembali, karena momen “radikalisasi” dalam NU muncul dari waktu ke waktu.
Gambaran bahwa elit-elit NU selalu bersikap kompromistis, akomodatif, dan “lunak” pada kekuasaan jelas keliru; gambaran yang populer di kalangan Masyumi pada dekade 60-an.
Seorang sarjana Jepang yang bersahabat dekat dengan Gus Dur, Mitsuo Nakamura, pernah mengamati munculnya “tradisionalisme radikal” di dalam NU. Ini dia kemukakan setelah menghadiri Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979. Apa yang Nakamura maksud dengan “tradisionalisme radikal” itu ialah sikap kritis pada pemerintah yang muncul sejak dekade 70-an.
Sikap kritis ini, kata Nakamura, disebabkan oleh munculnya generasi baru dengan pemikiran-pemikiran yang lebih segar. Mereka membawa visi pembangunan alternatif sebagai kritik atas pembangunan ala Orde Baru yang “top down.”
Generasi baru ini diwakili oleh dua sosok penting: Abdurrahman Wahid dan Mahbub Djunaidi.
Generasi baru yang kritis ini, bagi Nakamura, meng-ambyar-kan citra lama NU sebagai “a gerontocratic organization of opportunistic and unsophisticated rustic ulama”—organisasi para ulama sepuh yang oportunistik, tidak canggih, dan ndeso. Inilah gambaran tentang NU di kalangan Indonesianis lama, orang-orang seperti Harry Benda, Clifford Geertz, Herb Feith, dan Lance Castles.
Pandangan sinis tentang NU ini, walau sudah banyak ditinggalkan oleh para sarjana luar, anehnya masih bertahan di sejumlah kalangan. NU dianggap cenderung oportunistik dan lunak pada kekuasaan, dan hanya menjadi “alat legitimasi” bagi penguasa.
Berdasarkan pengamatan Nakamura atas dinamik dalam NU pada tahun 70-an, Nakamura berpendapat bahwa gambaran yang berbau “ngenyek” pada NU itu jelas keliru. Dia menggambarkan NU sebagai kelompok tradisionalis-radikal dalam pengertian yang positif: yaitu kritis pada Pemerintah.
Periode radikalisasi NU ini terjadi kembali pada tahun 90-an, terutama setelah berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada 7 Desember 1990.
Seperti kita tahu, organisasi ini menandai fase baru dalam hubungan Suharto dengan umat Islam: dari antagonistik menjadi akomodatif—Pemerintah mengakomodasi kepentingan umat Islam, dan juga sebaliknya.
Menyikapi ini, Gus Dur justru mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) bersama tokoh-tokoh yang dikenal kritis pada pemerintahan Orba, seperti Bondan Gunawan, Rahman Tolleng, Marsillam Simandjuntak, dll.
Sementara elit-elit umat Islam di Jakarta sedang menikmati euforia kedekatan dengan Suharto, Gus Dur justru tampil sebagai pengkritik sang otokrat itu.
Periode kritis ini patut dicatat dalam sejarah NU. Inilah periode yang melahirkan sejumlah intelektual dan aktivis NU yang progresif-kritis. Mereka membawa gagasan-gagasan “kiri-Islam” (al-yasar al-Islami) yang dikenalkan oleh pemikir besar Mesir, Dr. Hassan Hanafi.
Gus Dur adalah orang yang pertama kali mengenalkan buku-buku Hanafi kepada anak-anak muda NU, terutama lima jilid bukunya yang terkenal: “Min al-‘Aqidah ila al-Tsaura” (Dari Teologi Menuju Revolusi).
Dari sana lahir para intelektual/aktivis NU yang aktif dalam gerakan advokasi sosial, pembelaan rakyat kecil, dialog antar-iman, dan pengembangan model pembangunan alternatif. Saya, terus terang, lahir dari generasi ini.
Sejak reformasi lahir, disusul dengan munculnya PKB sebagai partai yang mewadahi aspirasi politik warga nahdliyyin, semangat kritis “kiri Islam” yang dibawa Gus Dur pada tahun 90-an itu tenggelam, dikalahkan oleh oleh “faksi politik” dalam NU. Apalagi Gus Dur kemudian juga terlibat aktif dalam pendirian partai.
Perkembangan ini menyebabkan arus “tradisionalisme radikal”, jika memakai istilah Nakamura, menjadi redup. Tetapi semangat radikal-kritis yang disemangati gagasan “kiri-Islam”-nya Hassan Hanafi itu sejatinya tidak pudar. Masih banyak kalangan anak-anak muda NU yang terus merawat semangat ini tanpa lelah.
Mereka ini, antara lain, berhimpun dalam sebuah gerakan Gusdurian yang bersemai di hampir seluruh daerah di Indonesia di bawah kepemimpinan puteri Gus Dur, Alissa Wahid. Mereka terus merawat pemikiran Gus Dur yang kritis, progresif, dan ekumenis (dalam pengertian membuka diri pada dialog-antar iman).
Saya memahami sikap NU yang menolak UU Cipta Kerja baru-baru ini sebagai bangkitnya kembali sikap kritis dalam tubuh NU. Arus kritis yang selama ini mengalami hibernasi muncul kembali ke permukaan, mengalami “resusitasi”.
Sebagian orang memandang perkembangan ini dengan skeptis, misalnya: ini disebabkan karena peminggiran NU dalam proses politik pasca-pilpres.
Saya tidak melihatnya demikian. Sikap kritis NU pada Pemerintah bukanlah hal yang hanya sekali-dua kali saja terjadi, melainkan selalu muncul dari waktu ke waktu. Sebagai “murid intelektual” Gus Dur, Kiai Sa’id tentu mewarisi sikap “tradisionalisme radikal” dari sosok yang terakhir itu.
Beberapa waktu lalu, sebelum mengkritik UU Cipta Kerja ini, PBNU juga menuntut ditundanya pilkada serentak pada Desember akhir tahun ini dengan alasan adanya pandemi. Sikap ini jelas bertolak belakang dengan kengototan Pemerintah untuk tetap melangsungkan perhelatan politik nasional itu.
Kembalinya sikap kritis NU pada Pemerintah ini, bagi saya, adalah hal positif. Sejak terpilihnya Jokowi untuk periode kedua, saya sudah mencemaskan adanya gejala “kartelisasi politik” yang lebih intensif lagi.
Kecemasan saya ini terbukti benar, ditandai dengan dirangkulnya hampir semua kekuatan politik besar ke dalam kekuasaan, dan menyisakan hanya dua partai kecil yang kurang signifikan.
Tindakan “merangkul semua kekuatan” (the politics of embracing all) ini jelas kurang baik, sebab melemahkan kekuatan pengimbang yang dibutuhkan dalam sebuah demokrasi yang sehat. Di dalam parlemen, kekuatan-kekuatan politik yang cukup kuat sudah “diserap” semua ke dalam status quo.
Dalam keadaan seperti ini, kita butuh kekuatan sipil di luar pemerintahan sebagai “pengimbang”. Dua ormas moderat Islam, NU dan Muhammadiyah mengmbil sikap politik yang “berseberangan” dengan Pemerintah dalam dua isu: pelaksanaan pilkada serentak dan pengesahan UU Cipta Kerja.
Bagi saya, sikap politik yang “berjarak” ini sangat baik, agar ada suara lain yang tidak semata-mata mengamini apapun yang menjadi kebijakan Pemerintah.
Sebab demokrasi hanya bisa tumbuh dengan sehat jika ruang-ruang untuk memeragakan posisi kritis dan berbeda tetap dimungkinkan. Dalam beberapa waktu terakhir ini, kita sudah melihat gejala politik yang kurang sehat: Pemerintah makin “self-contained”, menutup diri dan kurang mendengar aspirasi publik.
Bentuk politik-menutup-diri ini diperlihatkan secara vulgar dalam pengesahan UU Cipta Kerja. Makin “self-contained” kekuasaan, makin kita membutuhkan kekuatan-kekuatan kritis sebagai suara-imbangan.
Jika tidak, kita akan meluncur pelan-pelan menuju situasi yang kian otoriter. Situasi yang jelas tidak kita kehendaki bersama.
*Sumber dari media sosial