GRESIK | NUGres – Manakib atau sejarah semasa hidup KH Salim Jamhari berhasil digali dan ditemukan oleh para dzuriyah. Terungkap bahwa selain memiliki kedalaman ilmu agama lintas disipilin seperti ilmu nahwu, sharaf dan balaghah, bayan, badi’ dan lainnya, dikisahkan pula sosok KH Salim Jamhari berperan dalam membakar semangat arek-arek Gresik guna mengusir penjajah dan anteknya.
Kisah kehidupan KH Salim Jamhari ini ditulis oleh salah seorang santrinya bernama Ibnu Adnan. Santri ini juga merupakan khodam Pondok Zubair Kauman, Gresik. Ia menuliskan kisah Kiai Salim Jamhari menggunakan bahasa Arab dan aksara pegon.
NUGres mendapatkan salinan terjemahan tulisan Ibnu Adnan dari para dzuriyah KH Salim Jamhari, jelang gelaran Haul ke 43 yang akan dihelat pada 24 Desember 2023 mendatang. Bahkan atas seizin para dzuriyah, diperbolehkan untuk membagi beberapa catatan mengenai KH Salim Jamhari kepada para pembaca.
Sedangkan teks manakib ini disimpan dengan baik oleh para dzuriyah KH Salim Jamhari. Adapun sang santri, Ibnu Adnan pada Senin malam ke-11 bulan Ramadhan 1417 Hijriyah atau 20 Januari 1997 di Gresik, Jawa Timur, telah merampungkan tulisan tersebut.
Kendati rentang tulisan itu hadir jauh dari semasa hidup KH Salim Jamhari, namun kisah ini cukup dapat memberikan sedikit gambaran bagaimana perjuangan dan jasa-jasa KH Salim Jamhari semasa hidup.
“Sesungguhnya Syekh Haji Salim Jamhari adalah orang yang ‘alim dan termasuk ulama yang sholeh, Syekh Salim Jamhari menguasai ilmu Syariat dan ilmu-ilmu yang bersumber pada Syariat, seperti: Nahwu, Sharaf dan Balaghah, Bayan, Badi’ dan lain-lain,” tulis Ibnu Adnan.
Lebih lanjut, Ibnu Adnan juga menulis bila Syekh Haji Salim Jamhari mengorbankan jiwanya selama hidupnya untuk agama Islam, dengan sungguh-sungguh dalam urusan ibadah dan memerangi hawa nafsu (yang memerintahkan kejelekan), dan menyebarkan ilmu syariat di madrasah setiap hari di Pondok Syekh Haji Zubair Kauman Gresik. setiap malam kecuali malam Selasa dan malam Jum’at karena ada kewajiban yang lain.
“Syekh Haji Salim Jamhari adalah orang alim dan memahami politik kebangsaan, oleh karenanya beliau menulis Syair yang maknanya ditujukan untuk para pemuda Islam agar berjihad memperjuangkan kemerdekaan dari kedzaliman Belanda,” lanjutnya.
Qasidahnya berbunyi :
شُدُّوا عَلٰى جِهَادِ الْعِتَقْ
“Semangatlah memperjuangkan kebebasan”
قَدِا خْتَمَلُوْا الْمَنٰى
“Mereka telah menguasai sumber daya kita”
وَفُزْ قُوْمُوا بَيْنَ اْلاَنام
“Dan jadilah sukses diantara manusia”
بِالْفَخْرِ والْهَنَا
“Dengan rasa bangga dan kesejahteraan”
Kronik Pengabdian dan Perjuangan KH Salim Jamhari
Sebagai seorang santri, Ibnu Adnan juga cukup rinci menuliskan kronik atau catatan peristiwa menurut waktu kejadian yang dilewati oleh KH Salim Jamhari. Diantaranya, sebagai berikut:
Pada tahun 1930 M Syekh Haji Salim Jamhari menjadi pengajar di Madrasah Ibtidaiyah “Far’ul Wathon” Gresik di kelas 6 dan turut mengajar pula KH Danyalin dan KH ‘Arifin dan Haji Faisol Gresik.
Pada tahun 1932, KH Salim Jamhari berpindah dari MI ke Madrasah Attaubah dan Madrasah Al Wathon, dan bertempat di sebuah rumah sebelah utara toko obat Air Mancur Jalan Raden Santri Gresik bersama Ustadz Ustman Hasyim (mertua Kiai Zubair) dan Haji Ghufron Surabaya.
Pada tahun 1943, pasukan Dai Nippon Jepang memberikan janji kepada rakyat Indonesia untuk merdeka. Maka ketika itu tokoh-tokoh Indonesia bersepakat mendirikan Jama’ah Perserikatan yang terdiri dari beberapa organisasi yang ada di Indonesia diantaranya yaitu organisasi PNI, Katolik, PKI, Jam’iyah Washliyah Indonesia, Muhammadiyah, Jam’iyah Washoyah Indonesia, NU dan lain-lain. Perkumpulan itu dinamakan KNPIM (Komite Nasional Persiapan Indonesia Merdeka). Karena Syekh Haji Salim Jamhari memahami ilmu politik, maka beliau terpilih di organisasi ini sebagai ketua di Gresik sebagai wakil dari NU.
Pada tahun 1941, KH Salim Jamhari meninggalkan Pondok Haji Muhammad Zubair Kauman Gresik berpindah ke langgar Nurul Huda, mengajar setiap pagi, kecuali hari jum’at dan menyebarkan bermacam-macam ilmu : Fikih, Tafsir Hadits, Kaidah Fikih, Tasawuf, ilmu alat Balaghah, Bayan, Badi’, ilmu ‘Arudh (Ilmu syair).
Pada tanggal 28 Agustus 1945, setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Sukarno dan Muhammad Hatta atas nama wakil bangsa Indonesia, organisasi KNPIM bermusyawarah di gedung Sinema Hartatik Jl Raden Santri Gresik membahas perkara-perkara penting yang berkaitan dengan Kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah menduduki kantor-kantor penting Dai Nippon antara lain; listrik (PLN) telegram (Kantor Pos), kantor Telkom dan lainnya.
Kemudian berlanjut melucuti persenjataan perang dari tangan Dai Nippon, bermacam-macam senjata kecil maupun besar, bahkan kendaraan lapis baja.
Sementara pada rapat itu harus ada panglimanya atau pemimpin yang mampu memberikan nasihat pada para pemuda dari wakil setiap organisasi agar bangkit atau semangat dan tergerak hatinya agar tercapai sesuai rencana, yakni menghasilkan hasil yang optimal.
Diceritakan, dalam pertemuan itu tidak ada satupun yang berani dan mampu menaiki mimbar untuk memberi nasihat kecuali seorang ustad yang bernama Salim Jamhari yang bisa naik ke atas mimbar, maka ketika beliau naik di atas mimbar, beliau berkata dengan berapi-api :
“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Merdeka! Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin yang menetapkan kebenaran dengan kebenaran, menghilangkan kebatilan dengan kebenaran, yang merahmati hamba-hamba-Nya umat Islam di Indonesia, dan memenangkan mereka atas orang dzalim yaitu orang Belanda dan Dai Nippon, yang di azab dengan kedahsyatan bom atom, dan menolong mereka (bangsa Indonesia) atas perjuangan pergerakan yang bermanfaat di Indonesia, Allahumma Sholli ‘Ala Sayyidina Muhammad yang memenangkan kebenaran dengan kebenaran wa ‘ala alihi washohbihi ajma’in dan imbalan bagi orang-orang yang bertaqwa, dan janganlah bermusuhan kecuali kepada orang-orang yang dzalim,”.
Seperti diketahui, KH Salim Jamhari wafat pada tanggal 16 Jumadil Akhir 1402 Hijriyah. Manakib ini ditulis oleh Ibnu Adnan dalam bahasa Arab dan Pegon. Diterjemahkan oleh Ustadz M. Sahrul Mubarok yang merupakan cicit almaghfurlah KH Kholil Blandongan. Dan disusun oleh Muhammad Bagus Salimi cucu almaghfurlah KH Salim Jamhari.