KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1951. Beliau adalah putra ke-empat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya bernama KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy dan ibunya bernama Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH. Munadi. Al Ishaqy adalah gelar yang dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah dari Sunan Giri. Sebab, KH. Utsman adalah keturunan ke-14 dari Sunan Giri. Dari jalur ibu, silsilah nasab KH. Asrori bersambung dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Jika dirunut, nasab Yai Rori bersambung dengan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang ke-38. Berikut silsilah nasab Beliau: Achmad Asrori al Ishaqy – Muhammad Utsman al Ishaqi – Nyai Surati – Kyai Abdullah – Mbah Dasha – Mbah Salbeng – Mbah Jarangan – Kyai Ageng Mas – Kyai Panembahan Bagus – Kyai Ageng Pangeran Sadang Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syaikh Fadllullah (Sunan Prapen) – Syaikh Ali Sumadiro – Syaikh Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) – Syaikh Maulana Ishaq – Syaikh Ibrohim Akbar (Ibrohim Asmorokondi) – Syaikh Jamaluddin Akbar (Syaikh Jumadil Kubro) – Syaikh Ahmad Syah Jalal Amir – Syaikh Abdullah Khon – Syaikh Alwi – Syaikh Abdullah – Syaikh Ahmad Muhajir – Syaikh Isa ar Rumi – Syaikh Muhammad Naqib – Syaikh Ali al ‘Iridhi – Syaikh Ja’far Shodiq – Syaikh Muhammad al Baqir – Sayyid Ali Zainul ‘Abidin – Sayyid Imam al Husain – Sayyidah Fathimah az Zahro – Nabi Muhammad SAW.
Tanda-tanda Yai Rori akan menjadi seorang tokoh panutan sudah nampak sejak masa muda Beliau. Setelah menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, Yai Rori muda berdakwah kepada anak-anak atau pemuda jalanan. Padahal, di ndalem ayah Beliau yang berlokasi di kelurahan Jatisrono, Kecamatan Semampir, ayah Beliau sendiri juga masih memerlukan tenaga Beliau untuk membantu mengajar di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Darul ‘Ubuudiyyah yang diasuh oleh sang ayah sendiri.
Dengan metode dakwahnya yang unik, yaitu dengan mengikuti hobi anak-anak jalanan seperti bermain musik, nongkrong, dan sebagainya, anak-anak muda tersebut sedikit demi sedikit bisa menerima ilmu yang diselipkan oleh Gus Rori (begitu Yai Rori muda akrab dipanggil) melalui obrolan ringan ketika mereka semua sedang berkumpul.
Meskipun dalam skala yang lebih kecil, metode dakwah semacam ini mirip-mirip dengan apa yang dulu pernah dilakukan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Indonesia, khususnya di tanah Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo. Dimana, cara Wali Songo berdakwah pada waktu itu adalah melalui proses akulturasi budaya Islam dan budaya lokal yang telah mengakar kuat di masyarakat. Mereka tak lantas langsung ‘membabat habis’ budaya-budaya lokal yang pada waktu itu bisa dibilang ‘kurang Islami’ seperti wayangan, gendingan, gendorenan, dan lain sebagainya. Namun, budaya-budaya lokal tersebut justru digunakan sebagai sarana pendekatan ataupun sarana untuk menarik minat penduduk pribumi terhadap Islam. Sehingga, setelah timbul ketertarikan dalam diri penduduk pribumi, pada tahap selanjutnya, secara psiklogis mereka tentu juga akan lebih siap untuk menerima dakwah Islam.
Apa yang dilakukan oleh Yai Rori muda pun kurang lebih juga seperti itu. Beliau tak langsung melarang aktivitas-aktivitas kurang produktif (untuk tak menyebutnya: kurang bermanfaat, seperti nyangkrukan dan lainnya) yang telah menjadi kebiasaan para pemuda jalanan yang menjadi obyek dakwah Beliau pada waktu itu. Namun, aktivitas-aktivitas tersebut justru dijadikan oleh Yai Rori muda menjadi semacam ‘pintu masuk’ untuk mulai mendakwahi dan membimbing mereka. Secara spesifik lagi, meskipun pelan namun pasti, dalam hal ini mereka dibimbing agar tak hanya mau ngumpul-ngumpul dengan sesama komunitasnya sendiri saja. Namun mereka juga dibimbing agar mau ngumpul-ngumpul bersama dengan orang-orang shalih melalui majlis dzikir.
Seiring dengan terus berjalannya waktu, semakin lama semakin banyak pula pemuda yang tertarik dengan metode ataupun konsep dakwah yang diterapkan oleh Gus Rori. Hingga pada akhirnya, Gus Rori mengajak mereka untuk mengadakan majlis manaqiban dan pengajian di Gresik. Majlis yang pertama kali ini dilaksanakan di kampung Bedilan yang di kemudian hari diadakan secara rutin pada tiap bulannya di tempat tersebut. Majlis ini diisi dengan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al Jilany, pembacaan Maulid, dan tanya jawab keagamaan. Majlis ini awalnya diberi nama jamaah KACA yang merupakan akronim dari Karunia Cahaya Agung. Namun agar lebih familiar, Gus Rori menyebut anggota jamaah KACA dengan sebutan Orong-Orong. Secara harfiah, Orong-Orong adalah binatang melata yang biasa keluar pada malam hari. Secara filosofis, pemberian nama semacam ini disesuaikan dengan perilaku anak-anak muda pengikut Gus Rori yang rata-rata memang mempunyai kebiasaan keluar pada waktu malam hari. Dalam perkembangannya, nama Orong-Orong ini kemudian menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan nama KACA. Dan jamaah Orong-Orong inilah yang kelak, di kemudian hari ‘bermetamorfosis’ serta menjadi embrio dari lahirnya jamaah Al Khidmah.
Meski masih muda, ketokohan Gus Rori yang kharismatik dan netral serta sikap Beliau yang non partisan terhadap kelompok Islam tertentu ataupun terhadap partai politik tertentu, pada akhirnya membuat Beliau sangat disegani oleh berbagai kalangan masyarakat dari strata sosial serta kelompok yang berbeda-beda. Majlis-majlis Beliau bersifat inklusif serta terbuka bagi siapapun dan dari kelompok manapun. Sehingga, karena tidak adanya kesan eksklusivisme ini, tak mengherankan jika dalam majlis-majlis yang Beliau pimpin, para pejabat sipil maupun pemerintahan yang notabenenya mempunyai pandangan keagamaan atau politik yang berbeda-beda, sering kali bisa terlihat rukun serta mau untuk duduk bersama-sama dalam sebuah majlis.
Pada tahun 1983, Gus Rori mendirikan mushola di Kelurahan Tanah Kali Kedinding. Dalam perkembangannya, ternyata banyak masyarakat sekitar yang antusias serta tertarik untuk memondokkan anak-anak mereka di kediaman baru Gus Rori tersebut. Akhirnya, Gus Rori mendirikan masjid dan pondok pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah.
Riwayat Pendidikan
Yai Rori muda hanya mengenyam pendidikan formal sampai kelas tiga Sekolah Dasar. Selanjutnya, seperti umumnya putra kyai di daerah Jawa, Gus Rori menimba ilmu di pondok pesantren sebagai persiapan untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dari ayah Beliau. Sesuai dengan keinginan sang ayah, pada tahun 1966, pondok pesantren yang pertama kali menjadi tempat belajar Beliau adalah pondok pesantren Darul Ulum, Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH. DR. Musta’in Romly, yang juga seorang mursyid tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah.
Setelah setahun mondok di Peterongan, Gus Rori melanjutkan studi ke pondok pesantren Alhidayah di desa Tretek Pare Kediri yang diasuh oleh almarhum KH. Juwaini bin Nuh. Di pesantren ini, Gus Rori mengaji selama tiga tahun. Kitab-kitab yang didalami kebanyakan adalah kitab tasawuf dan hadits seperti kitab Ihya’ Ulumiddin karya al Ghazali dan Shahih Bukhari. Meski terhitung cukup singkat, namun banyak sekali kitab yang dikhatamkan oleh Gus Rori di pondok asuhan Kyai Juwaini ini.
Selepas dari Kediri, Gus Rori melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren al Munawwir, Krapyak Jogjakarta di bawah asuhan KH. Ali Ma’shum. Di pesantren ini, durasi belajar Gus Rori hanya berkisar selama beberapa bulan saja. Selanjutnya, Beliau belajar di salah satu pesantren di desa Buntet Cirebon yang diasuh oleh KH. Abdullah Abbas. Di pesantren ini, Gus Rori hanya belajar selama setengah tahun.
Aktivitas Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan
Jamaah pengikut dari Yai Rori RA secara garis besar terbagi menjadi dua. Yaitu mereka yang sudah mengikuti baiat (inisiasi) tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah al Utsmaniyyah atau disebut murid, dan jamaah yang baru sebatas tertarik dengan majlis-majlis dzikir yang diperuntukkan bagi siapapun yang mau mengikutinya. Kelompok kedua ini dinamakan jamaah atau muhibbin.
Di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah yang berlokasi di Kelurahan Tanah Kali Kedinding Kecamatan Kenjeran yang Beliau dirikan dan asuh, tak kurang dari 2000 santri putra-putri yang mukim, dan 1200 santri yang mengaji pulang-pergi. Lembaga pendidikan formal di pondok ini bahkan telah tersedia lengkap mulai dari tingkat kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk pendidikan non formal yang dilaksanakan pada malam hari, ada TPQ dan madrasah diniyah.
Sejak Yai Rori RA membuka pengajian rutin bulanan di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah ini, jamaah Beliau bertambah dengan pesat. Pengajian rutin bulanan dihadiri tak kurang oleh 20.000 jamaah yang datang dari berbagai kota di pulau Jawa. Sedangkan Haul Akbaryang rutin diadakan setiap tahun di tempat yang sama, dihadiri tak kurang oleh 200.000 jamaah yang berdatangan dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, ada majlis dzikir rutin mingguan dan majlis manaqiban bulanan yang dihadiri oleh lebih dari 10.000 ribu orang jamaah.
Momen-momen majlis mingguan, bulanan, dan tahunan yang dihadiri oleh banyak jamaah tersebut sekaligus juga membawa keberkahan tersendiri bagi masyarakat Kedinding dan sekitarnya. Sebab, dengan adanya majlis-majlis yang melibatkan banyak massa tersebut, sedikit-banyak roda perekonomian mereka juga ikut terdongkrak naik. Para pengusaha warung tegal (warteg), para pengusaha warung kopi/giras, para pengusaha kos-kosan/kontrakan, para abang tukang becak, para sopir angkot serta taksi, dan berbagai jenis usaha/profesi lainnya, tentu bisa merasakan perbedaan income atau penghasilan mereka: antara ketika sedang ada majlis di pondok dengan hari-hari biasa.
Dan dengan didasari atas kesadaran bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Yai Rori kemudian berfikir jauh ke depan demi keberlangsungan pembinaan jamaah yang jumlahnya telah mencapai ratusan ribu ini. Maka dibentuklah sebuah organisasi keagamaan yang bernama “Jamaah Al Khidmah”. Organisasi ini dideklarasikan secara resmi pada tanggal 25 Desember 2005 di Semarang Jawa Tengah. Kegiatan utamanya adalah menjadi semacam Event Organizer (EO) dalam menyelenggarakan Majlis Dzikir, Majlis Khatmil Qur’an, Maulid, dan Manaqib serta kirim doa kepada orang tua, para leluhur, dan para guru. Majlis lain yang menjadi bidang garapan dari jamaah Al Khidmah adalah majlis sholat malam, majlis taklim, majlis lamaran, majlis akad nikah, majlis tingkepan, majlis memberi nama anak, dan lain- lain.
Ketua Umum Jamaah Al Khidmah periode I dan II (2005-2014) H. Hasanuddin, SH. menjelaskan bahwa organisasi ini dibentuk semata-mata agar pembinaan jamaah bisa lebih terarah serta teratur dan siapapun bisa menjadi anggotanya tanpa harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sampai saat ini, sepeninggal Yai Rori, jamaah Al Khidmah tetap eksis dalam menyelenggarakan majlis-majlis dzikir tidak beda dengan seperti ketika Beliau masih hidup. Bahkan, sepeninggal Beliau, jamaah Al Khidmah ini secara kuantitas justru mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak kabupaten/kota maupun provinsi yang pada saat Yai Rori masih sugeng belum ada jamaah Al Khidmahnya, namun sepeninggal Beliau, jamaah Al Khidmah bisa muncul dan berkembang pesat di daerah tersebut. Begitu pula dengan perkembangan di luar negeri. Misalnya saja, sepeninggal Yai Rori, jamaah Al Khidmah bisa masuk bahkan berdiri sebagai organisasi resmi dengan amaliah rutin di Thailand bagian selatan dan di Belgia.
Menurut Bung Has, sampai saat ini kepengurusan jamaah Al Khidmah sudah berdiri di 77 kabupaten/kota dan sembilan provinsi di Indonesia. Sedangkan kepengurusan di luar negeri sudah terbentuk di Malaysia, Singapura, Thailand, Belgia, dan Saudi Arabia.
Perjalanan Kehidupan Sufistik
Kyai Utsman RA, ayah Kyai Asrori RA wafat pada bulan Januari 1984 dalam usia 77 tahun. Enam tahun sebelum meninggal, tepatnya pada hari Senin Pon 17 Ramadlan 1398 H / 21 Agustus 1978 M, Yai Utsman telah mengangkat Yai Rori sebagai mursyid tarekat yang dipersiapkan untuk menggantikan Beliau.
Ada cerita menarik terkait dengan peristiwa diangkatnya Yai Rori oleh Yai Sepuh untuk menjadi mursyid ini. Dikisahkan bahwa sejak tahun 1975, Yai Rori sebenarnya telah dibujuk oleh Yai Utsman agar bersedia dibaiat dan selanjutnya mau meneruskan tampuk kemursyidan tarekat sang ayah. Tapi Yai Rori selalu berusaha menghindar dan mencari-cari alasan untuk mengemban amanat yang sangat berat ini. Salah satu alasan yang sempat diungkapkan adalah: masih ada beberapa kakak Yai Rori yang lebih tua dari Beliau, tapi kenapa justru Beliau yang lebih muda yang ditunjuk?.
Namun pada akhirnya, tepat pada tanggal yang telah disebutkan di atas, di rumah almarhum H. Jamil (ayah dari H. Mas’ud yang berlokasi di desa Kroman Gresik) barulah Yai Rori bersedia untuk dibaiat sebagai mursyid. Saking senangnya dengan hal ini, Yai Utsman langsung mengajak sang putra yang telah lama digadang-gadang agar mau menerima amanat dari para guru ini untuk berziarah ke makam Kyai Romli Tamim di Peterongan Jombang yang pada waktu itu juga bertepatan dengan haul Beliau. Peristiwa bersejarah ini, oleh Yai Rori kemudian diabadikan dengan ‘menduplikasikannya’ ke dalam suatu rangkaian majlis dzikir untuk para jamaah Beliau pada setiap tanggal 17 Ramadlan. Yaitu, setelah Ashar diadakan majlis dzikir di sekitar Kroman, dan kemudian dilanjutkan dengan berziarah bersama-sama serta mengikuti majlis haul ke makan Kyai Romli Tamim di Jombang. Dan aktivitas ‘napak tilas’ ini sampai sekarang masih dilaksanakn secara rutin oleh jamaah Al Khidmah.
Dari sang ayah inilah, Yai Rori untuk pertama kalinya menerima pelajaran dan pendidikan sufistik serta tarekat. Dalam gurauannya, Yai Rori sering menyebutkan bahwa Yai Utsman adalah ayah, guru, teman, dan sekaligus musuh. Menjadi ayah saat dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi guru saat belajar. Menjadi teman saat bersama-sama di perjalanan. Dan menjadi musuh saat berdebat membahas ilmu.
Yai Utsman banyak memberikan dasar dan pengaruh dalam kehidupan sufistik Yai Rori. Hal ini dikarenakan Yai Utsman sangat terkenal dengan akhlak Beliau yang mulia. Bahkan, dalam bacaan amaliah khushushi disebutkan bahwa Yai Utsman ini bukan saja sebagai mursyid tarekat, tapi sekaligus juga mursyid akhlak.
Di antara tarbiyah Yai Utsman kepada putranya Yai Rori adalah;
Pertama; Penanaman sikap rahmatan lil’aalamiin.
Yai Utsman pernah berpesan kepada Yai Rori: “Hadapilah orang awam dengan sikap belas kasih sayang, tidak sekedar dengan ilmu”.
Kedua; penanaman sikap tawadlu’.
Yai Utsman berpesan kepada Yai Rori agar selalu membawa kitab, atau setidaknya membawa catatan ketika memberikan mau’idhah, hal ini dilakukan agar terhindar dari sikap sombong dengan ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Karenanya, semasa sugengnya dulu, Yai Rori juga sering terlihat membawa/mengantongi, memegang, dan bahkan membuka kitab Iklil ketika memimpin istighatsah ataupun doa tahlil, meski tak selalu dilihat/dibaca.
Ketiga; tuntunan dan bimbingan rabithah, riyadlah, dan mujahadah.
Melalui ketiga cara ini, Yai Utsman mencoba untuk mengingatkan bahwa apapun yang diperoleh oleh Yai Rori tidak akan pernah bisa terlepas dari berkah para pendahulu/guru yang disertai dengan kesungguhan usaha dan ikhtiar lahir-batin.
Yai Rori juga bukan tipikal orang yang hanya bisa berdakwah dengan ucapan maupun tulisan saja. Justru tak sedikit pula yang meyakini bahwa antara dakwah Beliau yang berupa dedawuhan dan tulisan (yang tersebar dalam banyak VCD, MP3, serta kitab-kitab karya Beliau) dengan dakwah Beliau yang berupa teladan/contoh perbuatan secara langsung, jika dihitung, jumlahnya akan lebih banyak yang terakhir disebut ini. Sebab, bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa ucapan. Dan Beliau tentu mengetahui hal ini serta telah mempraktikkannya.
Agamis Nasionalis
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa Yai Rori RA adalah juga seorang nasionalis (sejati). Ini paling tidak terlihat dari upacara bendera 17 Agustus pertama kalinya yang di-adakan di Al Fithrah pada tahun 2005. Dengan menggunakan jubah putih khas Al Fithrah, dan meskipun banyak yang tak bersepatu (bahkan seperti lazimnya anak pondok, pada waktu itu juga banyak santri yang tak memakai sandal [baca: nyeker: jw]), pagi itu para santri putra Al Fithrah mengikuti ‘ritual’ upacara bendera perdana di Al Fithrah. Dan siapa sangka?, upacara bendera yang (mungkin) pertama kalinya dilakukan oleh pesantren salaf ini adalah atas dawuh serta instruksi langsung dari Beliau RA.
Instruksi untuk melakukan upacara bendera perdana di Al Fithrah ini tentu saja mengindikasikan sikap kebangsaan Beliau terhadap pancasila dan NKRI. Beliau RA yang suatu ketika pernah mengaku bahwa SD saja tak lulus, ternyata juga seorang Nasionalis. Beliau seolah menyadari sepenuhnya bahwa kenikmatan berdzikir dan lain sebagainya (yang sudah biasa dijalankan sebagai Wadhifah) tak akan bisa dikecap jika kenikmatan berupa kemerdekaan tak lebih dahulu diraih. Dan tentu saja Beliau juga sedang berusaha untuk mengimplementasikan sebuah hadits yang menyebutkan bahwa “siapa yang tak bisa/pandai berterima kasih kepada manusia/sesamanya (dalam hal ini adalah mereka, para pahlawan kemerdekaan), maka (niscaya) ia juga tak akan sebegitu cakap untuk berterima kasih kepada TuhanNya”.
Selain itu, sebagai bukti sikap nasionalisme Beliau yang lain, setiap bulan Agustus tiba, Beliau juga menginstruksikan santri pondok yang tergabung dalam bagian dekorasi untuk membuat bangunan dekoratif dengan warna dasar merah-putih yang isinya adalah ucapan dirgahayu atas kemerdekaan RI. Jumlahnya ada dua; satu diletakkan di akses masuk pintu gerbang depan, dan satunya lagi ditaruh di pojok pertigaan garasi ndalem. Bahkan, kalimat terakhir dalam ucapan dirgahayu tersebut merupakan dawuh dari Beliau RA sendiri. Dawuh itu berbunyi; “DAMAI, DAMAI, DAMAILAH !”
KH. Achmad Asrori RA wafat pada tahun 2009, tepatnya pada hari Selasa dini hari sekitar pukul 02.00 WIB tanggal 18 Agustus bertepatan dengan tanggal 26 sya’ban 1430 H. dalam usia 58 tahun, setelah menderita sakit kurang-lebih selama tiga tahun.
Pada bulan itu, Yai Rori masih sempat memimpin Haul Akbar di Pondok Pesantren Al Fithrah dengan menggunakan tabung oksigen sebagai alat bantu pernafasan yang disediakan oleh dokter pribadi Beliau. Dan Haul Akbar pada tahun 2009 di Pondok Pesantren As Salafi Al Fithrah tersebut menjadi kebersamaan Beliau yang terakhir kalinya bersama ratusan ribu jamaah dan santri-santri Beliau.
Selama menderita sakit berkepanjangan, Yai Rori tetap istiqamah menghadiri majlis-majlis dzikir yang telah puluhan tahun dibinanya di berbagai daerah. Hal ini menunjukkan kegigihan Yai Rori dalam mensyiarkan amalan-amalan para ulama salaf shalih. Hal itu sekaligus juga merupakan wujud nyata kecintaan Beliau kepada para jamaah Beliau.
Wafatnya Yai Rori merupakan kehilangan besar bagi para murid Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah yang Beliau pimpin dan telah tersebar hampir di seluruh Indonesia serta beberapa negara di Asia Tenggara. Wafatlnya Guru tarekat yang santun ini sekaligus juga meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi para pecinta dan pengagum Beliau yang tergabung dalam organisasi Jamaah Al Khidmah yang Beliau bentuk pada tahun 2005. Dalam kalimat lain, meninggalnya Beliau laksana kiamat kecil bagi mereka.
Yai Rori RA dimakamkan di masjid lama yang berada di kompleks area Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah. Ketika pembangunan makam dilakukan, ditemukanlah sumber mata air di sebelah Timur pesarean Beliau. Dan ternyata, mata air tersebut tawar serta tidak asin seperti layaknya mata air di kebanyakan tempat yang berlokasi tak jauh dari pantai/laut. Hal ini mengingatkan pada kebiasaan Beliau semasa sugengnya dulu yang sering dimintai ‘air barokah’ oleh murid-murid Beliau serta kebiasaan Beliau yang sering terlihat membuka tutup botol air mineral yang disuguhkan kepada Beliau ketika mengikuti majlis-majlis Al Khidmah.
Ketika dalam majlis sowanan dan Beliau dimaturi oleh seseorang yang saudaranya sedang sakit pun misalnya, Beliau biasanya juga akan memintanya untuk mengobatinya dengan air manaqib atau air khushushi. Pada akhirnya, sumber mata air yang ada di sekitar pesarean Beliau tersebut dipugar sedemikian rupa oleh pengurus pondok agar siapapun yang sedang berziarah kepada Beliau, bisa tetap merasakan kesegaran dan keberkahan air barokah dari Beliau, seperti halnya ketika Beliau masih sugeng dulu. Wa Allahu a’lam.
Sumber: nuvoices.or.id