Hampir di semua masjid, mushalla, maupun langgar di lingkungan warga NU memiliki sebuah bedug sebagai pertanda waktu shalat. Kadang juga didampingi oleh kentongan. Dari kentongan inilah tersimpan cerita hebat seorang kiai asal Gresik, Kiai Faqih Maskumambang.
Lahir sekitar tahun 1857 di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Lokasinya berjarak lebih kurang 40 km arah barat laut Kota Surabaya. Ia adalah putra dari Kiai Abdul Jabbar dan Ibu Nyai Nursimah. Kiai Faqih Maskumambang masih termasuk keturunan darah biru, baik dari ayah maupun ibu.
Kiai Abdul Jabbar masih ada keturunan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir yang nasabnya bersambung hingga ke Sunan Giri. Sedangkan Ibu Nyai Nursimah merupakan putri Kiai Idris, Kebondalem Burno, Bojonegoro. Maka tidak mengherankan jika Kiai Faqih Maskumambang nantinya akan menjadi sorang ulama yang mashyur dan disegani.
Masa kecil KH Muhammad Faqih atau Kiai Faqih Maskumambang dihabiskan dengan didikan dari orang tuanya yang merupakan seorang ulama yang disegani di daerahnya. Ayahnya adalah seorang pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Maskumambang.
Usai belajar ilmu agama dari sang ayah, ia melanjutkan tafaqquh fiddin-nya menuju ke Ponpes Demangan, Bangkalan, yang diasuh oleh seorang ulama masyhur ilmu lahir-batinnya, Syaikhona Muhammad Kholil.
Saat itu, pesantren ini memang dikenal jadug dalam mendidik para santri. Mereka kemudian menjadi tokoh atau pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Antara lain Hadratussyaikh M Hasyim Asy’ari, KH A Wahab Chasbullah, KH M Bisri Syansuri, KH Ridwan Abdullah serta masih banyak lagi. Tidak ada catatan yang menyebutkan tentang berapa lama Kiai Faqih Maskumambang belajar di pesantren Syaikona Kholil.
Setelah itu Kiai Faqih Maskumambang melanjutkan studinya ke tanah suci Makkah al-Mukarramah, sebagaimana tradisi ulama terdahulu untuk lebih memantapkan keilmuannya. Ia belajar kepada ulama-ulama Haramain, terlebih kepada Syaikh Mahfudz at-Turmusi, salah satu pengajar di Masjidil Haram.
Selama belajar di tanah suci ini, ia bertemu dengan banyak teman yang berasal dari Indonesia, yakni Hadratussyaikh M Hasyim Asy’ari Hasyim Asy’ari dan Kiai Munawir Krapyak. Mereka berkawan karib hingga bersama-sama berjuang mendirikan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Kiai Munawir menjadi ulama yang ahli dalam bidang Al-Quran dan Qiraah Sab’ah. Hampir semua sanad Al-Quran dan Qiraah Sab’ah yang ada di Indonesia ini, terlebih Jawa, melalui jalur Kiai Munawir Krapyak ini.
Menjadi Pengasuh Pesantren
Pesantren Maskumambang terletak di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Awalnya hanya mendidik masyarakat sekitar Maskumambang, dan itu pun terbatas pada pelajaran Al-Quran dan tafsir, serta fiqih.
Namun, pada masa kepemimpinan Kiai Faqih Maskumambang, pondok ini mengalami banyak kemajuan serta perubahan besar. Santri yang datang mengaji tidak hanya berasal dari sekitar Maskumambang, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain. Bahkan pelajaran yang diberikan tidak hanya Al-Quran, tafsir dan fiqih saja, namun mulai merambah ke cabang-cabang ilmu lainnya.
Kedatangan Kiai Faqih setelah beberapa tahun belajar di Makkah memberikan angin segar terhadap pesantren Maskumambang. Pada 1325 H/1907 M, Kiai Abdul Jabbar, sang ayah, pulang ke Rahmatullah hingga kemudian kepemimpinan pesantren Maskumambang dipegang oleh Kiai Faqih.
Salah satu tolok ukur dari keberhasilan seorang guru adalah murid atau santrinya kelak berhasil menjadi “orang” atau tidak. Di antara santrinya yang berhasil adalah KH Abdul Hadi, KH Zubair Dahlan, serta KH Imam Khalil bin Syuaib. KH Abdul Hadi menjadi Pengasuh Pesantren Langitan, KH Zubair Dahlan berhasil mendidik KH Maimoen Zubair Sarang, serta KH Imam Khalil bin Syuaib menjadi Pengasuh Pesantren Sarang.
Ramainya Pesantren Maskumambang disebabkan karena setelah Kiai Zubair dan Kiai Imam Khalil mondok di sini. Sebelum mereka berdua mondok di Pesantren Maskumambang, Kiai Faqih santrinya masih sedikit. Mayoritas para santrinya berasal dari kalangan keluarga dan kerabat Pesantren Maskumambang sendiri. Mereka adalah Kiai Ma’shum Ali Kwaron, Kiai Adlan dan Kiai Hamid.
Pada awalnya Kiai Faqih masih disibukkan dengan urusan perekonomiannya. Namun setelah santrinya mulai banyak ia pun lebih memfokuskan diri untuk mengurus pesantrennya. Untuk kali ini, Kiai Faqih lebih berkonsentrasi mengajar santri-santrinya dan mengabdikan diri kepada Allah.
Urusan Kentongan
Kiai Faqih ternyata memiliki hubungan yang sangat akrab dengan Hadratussyaikh karena senasib dan seperjuangan dalam mencari ilmu serta dengan guru yang sama. Hubungan mereka pun semakin akrab tatkala NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 di Kota Surabaya.
Yakni, mereka berdua didaulat oleh para kiai untuk menduduki jabatan Rais Akbar oleh Hadratussyaikh dan Kiai Faqih mendapat bagian sebagai Wakil Rais Akbar. Keakraban mereka dalam menjalankan roda organisasi bukannya tanpa cela. Mereka pernah tidak sepaham dalam menanggapi satu masalah yang berhubungan dengan hukum pemakaian kentongan.
Hadratussyaikh tidak memperbolehkan pemakaian kentongan sebagai alat pertanda waktu shalat sebelum atau sesudah adzan dikumandangkan. Namun, Kiai Faqih berpendapat lain, yakni menggunakan kentongan sah-sah saja. Mbah Hasyim memiliki alasan tersendiri atas pelarangan tersebut, yakni karena tidak adanya dalil yang memperbolehkan.
Kiai Faqih pun tidak kalah argumen. Ia memperbolehkan penggunaan kentongan disebabkan oleh kebolehan menggunakan bedug, jadi diqiyaskan atau disamakan hukumnya. Bila bedug boleh digunakan untuk memanggil shalat hal ini berlaku pula bagi kentongan.
Mbah Hasyim menghormati pendapat Kiai Faqih dengan cara mengundang ulama se-Jombang serta para santri seniornya. Di hadapan mereka ini, Mbah Hasyim menyatakan boleh menggunakan kedua pendapat tersebut dengan bebas. Namun ada satu syarat yang diminta oleh Mbah Hasyim, yakni kentongan tidak digunakan di Masjid Tebuireng sampai kapan pun.
Pada suatu waktu Kiai Faqih mengadakan satu acara dengan mengundang Mbah Hasyim untuk berceramah di Pesantren Maskumambang. Kiai Faqih pun meminta takmir masjid atau mushalla di sekitarnya untuk menurunkan semua kentongan selama Mbah Hasyim berada di Gresik. Sungguh suatu sikap yang patut diteladani dari kedua tokoh besar NU bagi warga nahdliyin jika terjadi suatu perselisihan.
Kiai Faqih Maskumambang mengabdikan hidupnya dijalan Allah dengan cara berdakwah hingga mencapai usia 80 tahun. Pada tahun 1353 H/1937, Kiai Faqih kembali ke Rahmatullah. Selain berdakwah keliling, serta mengabdikan dirinya di NU, Kiai Faqih juga sempat mengarang sejumlah kitab. Di antaranya “An-Nushushul Islamiyah fi Raddi ‘ala Madzhabil Wahhabiyah” (Nash-nash agama Islam dalam menolak madzhab Wahabi). Kitab yang diterbitkan oleh Darul Ahya-il Kutubil Arabiyah, Mesir, 1341 H/1922 ini berisi tentang penjelasan tentang penolakan terhadap ajaran Islam yang disampaikan oleh Wahabi. Kitab lainnya adalah “Al-Mandzumah ad-Daaliyah fi Awa’il al-Asyhur al-Qamariyyah.” Kitab yang selesai ditulis pada 1930 ini berisi 48 nazham (syair) yang menjelaskan tentang dasar-dasar ilmu falak dan tata cara penetapan awal bulan dengan mempertimbangkan imkanu rukyat.
Sumber: santri.net