Oleh: Ni’matur Rosyidah*
KAJIAN | NUGres – Ziarah kubur merupakan salah satu praktik yang dianjurkan dalam Islam sebagai sarana untuk mengingat kematian dan akhirat.
Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai ziarah kubur yang diperbolehkan, termasuk apakah boleh melakukannya setiap hari.
Artikel ini akan membahas hukum ziarah kubur, manfaatnya, serta pandangan ulama mengenai frekuensi ziarah kubur yang ideal.
Hukum Ziarah Kubur dalam Islam
Dalam kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah terdapat keterangan bahwa ziarah kubur dilarang pada masa pertengahan islam dan orang-orang masih mendekati zaman Jahiliyah. Kemudian, larangan itu dirombak dengan sabda dan perbuatan Rasulullah Saw.
Dalil yang menunjukkan diperbolehkannya ziarah kubur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Dalil yang menunjukkan diperbolehkannya ziarah kubur adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Artinya: “Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian ke kuburan.'” (HR. Muslim no. 977).
Berdasarkan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa hukum ziarah kubur adalah sunnah (dianjurkan) bagi laki-laki. Adapun untuk perempuan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Manfaat Ziarah Kubur
Setiap kegiatan yang bersifat baik atau positif pasti ada manfaatnya, begitu juga dengan ziarah kubur. Ada beberapa manfaat ziarah kubur, di antaranya:
- Sebagai Ittiadz (pengambilan pelajaran) dan pengingat akhirat,
- Sebagai pengantar doa, maka ziarah kubur disunnahkan bagi setiap muslim,
- Sebagai bentuk Tabarruk (mengambil barokah),
- Untuk memenuhi hak seperti (hak kepada) teman atau orang tua.
Frekuensi Ziarah Kubur
Mengenai frekuensi ziarah kubur, tidak ada dalil yang secara spesifik membatasi atau menetapkan berapa kali seseorang boleh berziarah kubur.
Namun, para ulama memiliki beberapa pandangan terkait hal ini. Yang Pertama, Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja, termasuk setiap hari. Mereka berargumen bahwa tidak ada dalil yang melarang atau membatasi frekuensi ziarah kubur.
Yang Kedua, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa sebaiknya ziarah kubur dilakukan seminggu sekali. Beliau berdasarkan pendapatnya pada praktik Nabi Muhammad SAW yang biasa berziarah ke makam ibunya setiap Jumat.
Yang Ketiga, Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ziarah kubur sebaiknya dilakukan setahun sekali atau pada hari-hari tertentu seperti hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat, mayoritas ulama sepakat bahwa yang terpenting dalam ziarah kubur adalah niat dan adab yang benar, bukan frekuensinya.
Adab Ziarah Kubur
Dalam melakukan ziarah kubur, terdapat beberapa adab yang perlu diperhatikan, antara lain:
- Mengucapkan salam kepada ahli kubur,
- Membaca doa dan Al-Quran untuk ahli kubur,
- Tidak menduduki atau menginjak kuburan,
- Tidak melakukan perbuatan yang dilarang seperti meminta pertolongan kepada orang yang telah meninggal,
- Tidak berbicara tentang hal-hal duniawi yang tidak bermanfaat,
- Menjaga kebersihan area pemakaman.
Pandangan Ulama Kontemporer
Beberapa ulama kontemporer juga memberikan pendapat mengenai frekuensi ziarah kubur, di antaranya:
- Syekh Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja, termasuk setiap hari, selama tidak mengganggu aktivitas wajib lainnya dan tidak menjadi beban bagi yang berziarah.
- Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menyarankan agar ziarah kubur tidak dilakukan terlalu sering, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan ketergantungan dan berlebihan dalam mengagungkan kubur.
- Dr. Wahbah Az-Zuhaili berpendapat bahwa frekuensi ziarah kubur tergantung pada kebutuhan dan kondisi masing-masing individu, selama tidak melanggar syariat dan tidak menimbulkan mudarat.
Peringatan terhadap Praktik yang Menyimpang
Meskipun ziarah kubur dianjurkan, perlu diingat bahwa terdapat beberapa praktik yang harus dihindari karena dapat menjerumuskan ke dalam kesyirikan atau bid’ah, antara lain:
- Meminta pertolongan atau berdoa kepada orang yang telah meninggal,
- Meyakini bahwa kuburan tertentu memiliki kekuatan gaib,
- Melakukan ritual-ritual yang tidak ada tuntunannya dalam syariat,
- Menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah atau masjid.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ziarah kubur adalah praktik yang dianjurkan dalam Islam, dan tidak ada larangan yang tegas mengenai frekuensinya, termasuk apakah boleh dilakukan setiap hari. Yang terpenting adalah niat yang benar, adab yang sesuai syariat, dan tidak berlebih-lebihan.
Meskipun demikian, setiap Muslim hendaknya mempertimbangkan beberapa hal berikut dalam menentukan frekuensi ziarah kubur:
- Kondisi pribadi: Pertimbangkan waktu, tenaga, dan kemampuan finansial anda.
- Prioritas kewajiban: Pastikan ziarah kubur tidak mengganggu kewajiban-kewajiban lain yang lebih utama.
- Keseimbangan: Jaga keseimbangan antara mengingat akhirat dan menjalani kehidupan dunia.
- Manfaat spiritual: Pastikan ziarah kubur benar-benar memberikan manfaat spiritual dan bukan sekadar rutinitas tanpa makna.
Dalam praktiknya, setiap individu dapat menentukan frekuensi ziarah kubur yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, dengan tetap memperhatikan adab-adab ziarah kubur dan tidak berlebih-lebihan. Yang terpenting adalah mengambil hikmah dan pelajaran dari ziarah kubur tersebut, serta menjadikannya sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Akhirnya, perlu diingat bahwa tujuan utama ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mempersiapkan diri menghadapi akhirat.
Oleh karena itu, frekuensi ziarah kubur sebaiknya disesuaikan dengan sejauh mana hal tersebut dapat membantu seseorang mencapai tujuan ini, tanpa melalaikan kewajiban-kewajiban lainnya dalam kehidupan.
*Ni’matur Rosyidah, Mahasiswa Universitas Qomaruddin.
Sumber:
– Kitab Hujjah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, KH. Ali Maksum
– Al-Qaradhawi, Y. (1995). Fatawa Mu’asirah. Dar al-Qalam.
– Al-Utsaimin, M. (2006). Majmu’ Fatawa wa Rasail. Dar al-Watan.
– Az-Zuhaili, W. (1985). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr.
– As-Suyuthi, J. (2003). Al-Ashbah wa an-Nazha’ir. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
– Ibn Qudamah, A. (1968). Al-Mughni. Maktabah al-Qahirah.
– An-Nawawi, Y. (2011). Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Dar al-Fikr.
– Ibn Taimiyah, A. (1995). Majmu’ al-Fatawa. Majma’ al-Malik Fahd.