Oleh: Wadiatul Khauro’ Sawwal*
CERPEN | NUGres – Ia pendiam. Sebut saja namanya Kaji Niki. Tak banyak bicara. Kaji Niki pucuk pimpinan organisasi. Meski begitu, ia jarang tampil di muka. Memberi sambutan? Ia geleng pelan. Disuruh memimpin doa? Ia lempar senyum. Tapi jangan tanya soal hadir.
Kaji Niki hadir sebelum yang lain datang, dan pulang setelah yang lain bubar. Di balik diamnya, ada gerak yang tak pernah jeda.
Ia membentangkan tikar sebelum pengajian dimulai. Mengangkat meja saat rapat hendak digelar. Bahkan, ia yang lebih dulu membersihkan sisa-sisa makanan selepas acara selesai.
Tak ada yang benar-benar memperhatikan, setidaknya di awal. Sebagian orang hanya memandangnya sebagai bagian dari struktur. Tak menonjol, tapi juga tak bisa diabaikan.
Namun, waktu terus berjalan, dan nama Kaji Niki mulai mengemuka.
“Alhamdulillah, niki sumbangan dari Kaji Niki,” kata seseorang saat satu kotak besar berisi Al-Qur’an tiba di masjid.
Tak lama kemudian, papan tulis baru muncul di ruang rapat. Orang-orang kembali menyebut nama itu. “Matur suwun, Kaji Niki.”
Ia tetap diam. Bahkan saat namanya terus bergema di kejauhan.
Lama-kelamaan, Kaji Niki bukan sekadar nama. Ia menjadi makna. Nama itu melekat pada kebaikan. Kebaikan yang mengalir tenang tanpa perlu pengakuan. Nama itu seperti doa yang bergulir di bibir orang-orang yang merasakan manfaatnya.
Ada yang bertanya, “Ji, kenapa njenengan nggak pernah menonjolkan diri?”
Kaji Niki hanya tersenyum.
“Kalau terlalu menonjol, takut tidak cukup kuat menahan beban pujian. Saya ini cuma penunggu pintu, bukan pemilik rumah.”
Lalu, seperti biasa, ia mengambil sapu dan mulai membersihkan ruang pertemuan. Tanpa suara. Tanpa pamrih.
Waktu berlalu.
Suatu pagi, grup WhatsApp pengajian mendadak ramai. Flyer berbingkai hitam tersebar di mana-mana.
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.. Telah berpulang ke rahmatullah, Kaji Niki.”
Nama itu kembali disebut. Kali ini bukan di ruang pertemuan, bukan pula dalam daftar donatur. Namanya memenuhi status dan cerita di media sosial. Bahkan hingga ke luar kota, kabar duka ini menyebar.
Orang-orang terdiam. Ada yang mengirimkan doa, ada pula yang mengenang jejaknya.
“Sajadah ini dulu dari Kaji Niki…”
“Kitab ini hasil sumbangan beliau…”
“Papan tulis yang kita pakai ini juga dari Kaji Niki…”
Kenangan itu menumpuk. Tak ada plakat nama, tapi jejaknya ada di setiap sudut yang disentuhnya.
Malam harinya, saat doa tahlil dibacakan di rumah duka, seseorang berbisik pelan, “Nama Kaji Niki akan terus disebut.”
Dan memang benar. Di setiap majelis, setiap musala, dan setiap lantai masjid yang pernah dijejakinya, nama itu tetap bergetar seperti doa yang tak putus.
*Wadiatul Khauro’ Sawwal, alumni MA Ma’arif NU Assa’adah Sampurnan Bungah Gresik.