Oleh: Agil Muhammad*
KOLOM KALEM | NUGres – Dakwah, sebagai jalan seorang yang terbebani taklif untuk menyiarkan agama Islam, memerlukan metode tertentu yang harus menyesuaikan konteks sosial dan budaya masyarakat yang dihadapinya pada saat tersebut. Kebijakan dan kearifan dai atau tokoh sangat diperlukan dalam memilih metode yang digunakannya.
Dalam konteks dakwah yang sifatnya mengajak dan bukan memaksa, ketika seorang tokoh keliru atau salah strategi dalam memilih metode dakwahnya maka besar kemungkinan mengalami kegagalan dalam proses dakwahnya. Selain menyesuaikan konteks sosial dan budaya, metode dakwah juga perlu memperhatikan individu yang menjadi objek dakwah.
Dalam hal ini, Kiai Said dalam pengantar buku Atlas Wali Songo membagi dakwah menjadi tiga jenis. Pertama, fiqh al-ahkam yaitu dakwah yang menerapkan ketaatan yang kuat dalam menjalani syariat Islam dan norma-norma beragama. Metode ini cocok diterapkan pada masyarakat yang sedang atau telah menjalani pendidikan khusus keagamaan, seperti pada santri dan masyarakat desa santri.
Kedua, fiqh al-dakwah yakni metode dakwah yang lebih lentur daripada jenis yang pertama. Metode ini tidak terlalu ketat menerapkan syariat dan lebih berfokus pada penerimaan dan penerapan masyarakat atas pokok-pokok keagamaan. Jenis kedua ini tepat digunakan pada masyarakat umum yang belum sempat mendalami agama.
Ketiga, fiqh al-hikmah, yaitu metode dakwah tertinggi dari kedua jenis di atas. Ketika seorang tokoh menggunakan metode ini, bisa dipastikan ia telah menerapkan kedua metode sebelumnya. Metode ketiga ini adalah jenis dakwah yang bisa diterima semua kalangan, baik santri, masyarakat, pejabat, bahkan orang non-muslim sekalipun.
Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) istilah ini dikenal dengan semangat ukhuwah basyariyah, yaitu menyampaikan kebaikan ajaran agama melampaui batas sekat-sekat yang ada.
Di antara salah satu metode dakwah yang sering digunakan Kiai Nusantara adalah menggunakan media shalawat Nabi. Keunikan shalawat dari metode yang lain adalah adanya unsur rasa dan seni yang ditonjolkannya.
Dalam melakukan shalawat, para pelaku tidak dituntut untuk lancar dan memahami apa yang dibacanya. Semangat dalam membaca shalawat sering dicurahkan dengan sorakan, teriakan, sahutan, dan keramaian.
Praktik shalawat yang meriah sebagaimana di atas bisa lebih mudah diwujudkan dalam bentuk perkumpulan atau jamiyah agar solidaritas sesama anggota juga bisa terbentuk.
Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin termasuk salah satu jam’iyah shalawat yang bertujuan mensyiarkan ajaran Islam melalui shalawat yang didirikan oleh Kiai Utsman Amin, seorang kiai kampung yang dakwahnya terbilang berhasil dan diterima masyarakatnya.
Sekilas Tentang Kiai Utsman Amin
Kiai Utsman Amin lahir di Dusun Sampurnan, Bungah, Gresik pada tanggal 23 November 1919 dengan nama Muhammad Utsman. Kiai Utsman merupakan anak kedua dari pasangan H. Amin dan Atikah.
Dari jalur ibu, Kiai Utsman merupakan keturunan dari K.H. Moh. Sholeh Tsani, pengasuh kelima Pesantren Qomaruddin. Sementara dari jalur ayah, Kiai Utsman merupakan keturunan dari Singoyudho, salah satu sesepuh dan pemimpin desa Betoyo, Manyar, Gresik.
Masa kecil Kiai Utsman hidup di lingkungan Pesantren Qomaruddin, yang pada saat itu dikenal dengan nama Pesantren Sampurnan. Kiai Utsman sejak kecil ikut belajar di Pesantren Qomaruddin yang pada masa itu diasuh oleh K.H. Ismail, pengasuh Pesantren Qomaruddin keenam dan putra kedua K.H. Moh. Sholeh Tsani.
Kiai Utsman juga belajar pada KH. M. Sholih Tsalits, pengasuh ketujuh, menantu K.H. Ismail, dan cucu K.H. Moh. Sholeh Tsani, di Madrasah Assa’adah yang didirikan K.H. M. Sholih Tsalits. Setelah belajar di Sampurnan, Kiai Utsman melanjutkan nyantri-nya pada K.H. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang.
Setelah itu, Kiai Utsman boyong dan menikah dengan Husniyah binti H. Nur Hasan, putri dari saudagar asal Desa Manyar, Gresik. Pasca menikah, Kiai Utsman menetap di Desa Manyar sambil melanjutkan ngaji pada Habib Abu Bakar Assegaf, ulama yang masyhur dikenal sebagai wali qutb dari Gresik.
Gabungan dari kultur pendidikan pesantren oleh kiai dan majlis habaib termasuk tradisi keilmuan yang unik, karena dua model pendidikan tersebut di Indonesia mempunyai ‘pasaran’-nya masing-masing.
Kiai Utsman bisa mendapat akses ke majlis habaib karena didikan dan diajak ayahnya, H. Amin, Bersama saudara-saudaranya, Kiai Nawawi Amin Ngaren dan Kiai Ali Amin Mengare, belajar shalawat pada Habib Abdullah al-Haddad, Lamongan.
Ketika menetap di Manyar, Kiai Utsman pada mulanya berdagang sambil sedikit demi sedikit mengembangkan syiar Islam dengan memakmurkan musholla dan mengajar ngaji al-Quran pada anak-anak kecil. Pada saat itu, Kiai Utsman dibimbing dan dikawal oleh Kiai Sahlan yang terlebih dahulu tinggal dan berdakwah di Manyar.
Setelah pindah dari rumah mertuanya ke tempat yang dekat dengan Masjid Jami’ Manyar, Kiai Utsman mendirikan Langgar Al-Hidayah sebagai tempat mengajar al-Quran, ibadah, dan shalawat pada masyarakat Manyar.
Pemilihan nama langar atau musholla tersebut merupakan bentuk tabarrukan dari Pesantren Al-Hidayat, Lasem, yang didirikan oleh KH. Ma’shoem Ahmad. Pasalnya, KH. Ma’shoem lah yang memberikan nama “Al-Hidayah” pada langgar yang bakal didirikan ini.
KH. Ma’shoem terkenal sering mampir ke rumah santri-santrinya ketika ada acara di luar kota. Kiai Utsman memang tidak pernah nyantri di Lasem, tetapi anak-anak Kiai Utsman banyak yang belajar di sana.
Ketika KH. Ma’shoem melewati Desa Manyar, beliau sering menyempatkan diri untuk mampir dan istirahat di rumah Kiai Utsman. Kedekatan ini dilanjutkan oleh putra KH. Ma’shoem, yaitu KH. Ali Maksum, ketika berkunjung ke Manyar juga menyempatkan mampir dan istirahat di kediaman Kiai Utsman.
Kiai Utsman biasa dipanggil warga desa dengan panggilan ‘Wak Us’, baru pada tahun 90-an, Kiai Utsman mulai dipanggil dengan panggilan ‘Yai Us’.
Kiai Utsman wafat pada tahun 2001 dalam usia 82 tahun dan dimakamkan di pemakaman desa Manyar Komplek. Peninggalan Kiai Utsman yang masih bermanfaat hingga saat ini adalah Langgar Al-Hidayah dan Jami’iyah Hadrah Nibrosul Muhibbin.
Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin
Sebelum mendirikan Jamiyah Nibrosul Muhibbin (yang pada tulisan selanjutnya ditulis dengan Jamiyah Nibros), Kiai Utsman aktif dalam Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) Nahdlatul Ulama hingga sempat menjadi ketua ISHARI Manyar.
Kemampuan Kiai Utsman dalam bidang shalawat dibentuk oleh ayahnya sendiri, H. Amin, yang senantiasa mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai Nabi Muhammad melalui shalawat.
Kiai Utsman belajar shalawat dari Kiai Ya’qub Sampurnan, Habib Abdullah al-Haddad Lamongan, dan Habib Abu Bakar Assegaf Gresik.
Dari Kiai Ya’qub, Kiai Utsman belajar lagu-lagu shalawat dalam kitab maulid Syaraf al-Anam yang digubah oleh Kiai Ya’qub sendiri.
Dari Habib Abu Bakar Assegaf, Kiai Utsman mendapatkan sanad kitab maulid Simt al-Durar karya Habib Ali al-Habsyi.
Sementara dari Habib Abdullah al-Haddad, Kiai Utsman belajar shalawat ISHARI yang menggunakan kitab maulid al-Diba’i.
Selain itu, Kiai Utsman juga mendapat sanad Qasidah Burdah dari Kiai Abu Amar Pasuruan. Oleh karena itu Jamiyah Nibros membaca keempat kitab maulid tersebut pada momen-momen tertentu secara rutin.
Jami’yah Nibros didirikan oleh Kiai Utsman dengan bantuan Habib Ali bin Abu Bakar Assegaf. Pada saat itu terdapat Jamiyah shalawat yang bernama Jamiyah Shalawat Al-Muhibbin dari Tulungagung yang rutin mengisi acara maulid di kediaman Habib Abu Bakar Assegaf.
Jamiyah Al-Muhibbin merupakan jamiyah hadrah yang menggunakan rebana sebagaimana kebanyakan jamiyah shalawat pada saat ini, bukan seperti rebana yang digunakan pada ISHARI.
Jamiyah Al-Muhibbin belajar langsung teknik ‘menerbang’ dari Martapura, Banjar, Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, sebagian ‘genre’ hadrah ada yang bernama al-Banjari, yang berasal dari Banjar.
Tertarik dengan pembawaan shalawat oleh Jamiyah Al-Muhibbin, Kiai Utsman berinisiatif untuk membawa gaya hadrahnya pada masyarakat Manyar. Berkat kedekatan Kiai Utsman dengan keluarga Habib Abu Bakar Assegaf, Kiai Utsman akhirnya dibantu oleh Habib Ali Assegaf, putra Habib Abu Bakar Assegaf, untuk meminta agar anggota Jamiyah Al-Muhibbin bersedia untuk mengajar hadrah pada masyarakat Manyar.
Pada mulanya, Jamiyah Al-Muhibbin agak keberatan untuk mengajari masyarakat Manyar karena kendala kesibukan dan jarak dari Tulungagung ke Gresik yang cukup jauh. Tetapi, karena mendapat intruksi langsung dari Habib Ali Assegaf, Jamiyah Al-Muhibbin akhirnya menerima permintaan Kiai Utsman tersebut.
Pembelajaran hadrah oleh Jamiyah Al-Muhibbin pada masyarakat Manyar dilaksanakan selama satu minggu di langgar Al-Hidayah, langgar yang didirikan Kiai Utsman.
Meskipun pembelajaran tersebut cukup singkat, masyarakat Manyar langsung bisa menyerap ilmu hadrah dari Jamiyah Al-Muhibbin, karena pada saat itu masyarakat Manyar banyak yang aktif dalam shalawat ISHARI.
Teknik hadrah pada dasarnya mempunyai kemiripan satu sama lain, oleh karena itu apabila seseorang pernah bisa memainkan teknik hadrah tertentu, maka orang tersebut bisa lebih mudah dalam belajar ‘genre’ lain dalam hadrah.
Setelah tugas mengajar selesai, Jamiyah Al-Muhibbin langsung pulang kembali ke Tulungagung. Masyarakat Manyar yang telah diajar pada saat itu bisa dibilang sudah bisa untuk mengaktualisasikan ilmu shalawatnya untuk membentuk sebuah jamiyah baru, tetapi untuk penampilan yang lebih matang, masyarakat Manyar kembali belajar dan berangkat ke Tulungagung.
Setelah merasa cukup dengan pembelajarannya, akhirnya pada tahun 1989, Kiai Utsman memutuskan untuk mendirikan jamiyah sendiri sebagai wadah belajar shalawat masyarakat Manyar yang bernama Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin.
Nama ini bermakna obor (pelita) orang-orang yang mencintai Nabi Muhammad. Nama ‘Muhibbin’ tetap digunakan dalam nama jamiyah ini untuk mengingat jamiyah yang berjasa dalam mengajarkan hadrah pada jamiyah yang berdiri ini.
Jamiyah Nibros merupakan jamiyah shalawat hadrah al-banjari tertua di Gresik, termasuk Surabaya pada masa itu juga belum ada. Pada masa itu, Langgar Al-Hidayah di Manyar menjadi pusat pembelajaran shalawat Nabi dari berbagai wilayah di sekitar Gresik. Oleh karena itu, pada masa-masa awal berdirinya, Jamiyah Nibros sering diundang pada acara-acara besar di luar kota, bahkan luar Jawa Timur.
Karakteristik Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin
Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin termasuk jamiyah yang menggunakan kitab maulid al-diba’i karya Abdurrahman al-Diba’i sebagai bacaan utama dalam kegiatan shalawatnya.
Kitab maulid al-Diba’i termasuk kitab maulid yang dikeramatkan di kalangan pesantren dan jamiyah shalawat, karena kitab maulid al-Diba’i tergolong kitab maulid yang tua usianya dibandingkan maulid al-Barzanzi karya Ja’far al-Barzanji, Simt al-Durar karya Habib Ali al-Habsyi, dan al-Dliya’ al-Lami’ karya Habib Umar al-Hafid.
Kitab maulid sendiri merupakan kitab yang khusus menjelaskan biografi, riwayat hidup, kemuliaan Nabi Muhammad, dan puji-pujian pada Allah. Dalam kitab maulid seringkali terdapat puji-pujian yang nampak sangat tinggi pada Nabi yang sampai saat ini ditentang oleh golongan yang anti-maulid.
Sementara bagi kalangan pecinta maulid, pujian-pujian yang tinggi dalam maulid merupakan bentuk mahabbah yang berasal dari rasa seorang pecinta yang rindu pada sosok yang dicintainya. Puji-pujian yang ditujukan pada Nabi, pada dasarnya tidak sampai melampaui pujian pada Allah.
Keunikan dari karakteristik bacaan dalam kitab maulid adalah banyaknya pujian, baik pada Tuhan maupun pada Nabi, yang diakhiri dengan doa yang sedikit, yang menunjukkan etika berdoa dengan metode terbaik.
Tidak semua vokal punya kemampuan membawa lagu yang sama, jadi terdapat spesialisasi masing-masing di tiap acara. Pembagian vokal menyesuaikan personil yang hadir dalam suatu acara.
Jika pada suatu majlis acara dirasa lengkap personil vokalnya, maka pembagiannya menyesuaikan. Ketika tidak lengkap vokalnya, maka acara tetap dilanjutkan sebagaimana adanya, karena esensi dari acara shalawat adalah rasa mahabbah-nya, bukan keindahan suaranya.
Berdasarkan pengalaman penulis, rasa mahabbah dan penghayatan yang tinggi dari vokal, membuat suasana jamiyah lebih khidmat. Di antara tokoh-tokoh shalawat dengan penghatan tinggi adalah Tuan Guru Zaini Abdul Ghoni (Guru Sekumpul), Habib Syeikh Assegaf, dan pendiri Jamiyah Nibros, Kiai Utsman Amin.
Sementara dari sisi penerbangnya, Jamiyah Nibros menggunakan empat macam pukulan, yaitu terbang lanangan inti, wedok’an inti, lanangan nggolong dan wedok’an nggolong, tanpa bass.
Alasan peniadaan bass adalah selain karena memang kekhas-an dari hadrah Tulungagung-an yang memang tanpa bass, suara terbang akan menjadi lebih bisa terasa dan dinikmati tanpa adanya bass yang dianggap mengganggu suara.
Dalam acara maulid, dibutuhkan minimal dua orang penerbang jenis pukulan yang berbeda, yaitu lanangan inti dan wedok’an inti. Sementara penggunaan lanangan nggolong dan wedok’an nggolong merupakan terbang pelengkap agar ketika pertengahan terbangan tiba-tiba melakukan kesalahan atau power-nya kurang, maka penabuh nggolong yang menutupinya.
Penerbang yang berposisi sebagai lanangan inti dan wedok’an adalah penabuh yang sudah dianggap cukup ahli dan siap untuk memimpin terbangan. Sementara penerbang nggolong biasanya bukan termasuk ahli atau belum siap untuk memimpin terbangan.
Kesalahan-kesalahan penerbangan yang terjadi di tengah lagu merupakan hal yang wajar dan bisa dimaafkan selama tidak fatal kesalahannya, seperti ketidakcocokan terbang dengan lagu yang dibawakan.
Tugas penerbang adalah menyesuaikan antar sesama penabuh serta dengan vokal. Penerbang harus bisa menyesuaikan tempo lagu yang dibawakan vokal, bukan sebaliknya.
Skill penerbang dan vokal pada dasarnya sama-sama sulitnya, tetapi yang paling disorot adalah vokalnya. Hal tersebut sudah diketahui dan tidak menjadi masalah dalam internal jamiyah.
Selain vokalis dan penerbang, Jamiyah Nibros mempunyai bagian penting yang lain, yaitu perlengkapan. Sebagai jamiyah shalawat, sudah tentu dibutuhkan kemampuan untuk mengelola sound system untuk memaksimalkan performa acara.
Operator sound harus mempunyai kemampuan untuk mengatur setelan mikrofon di tiap-tiap sektor, seperti vokal dan terbang. Sudah tentu, setelan masing-masing posisi berbeda, perlu keahlian khusus dalam bidang ini.
Tidak semua orang yang terjun lama dalam dunia per-sholawat-an bisa otomatis menguasainya. Perlu kepekaan khusus dalam indra pendengarannya. Seringkali suatu acara shalawat dirasa kurang sukses ketika operator sound system tidak bisa membedakan setelan masing-masing posisi.
Unsur selanjutnya yang tidak kalah penting adalah para muhibbin atau orang-orang yang hadir pada acara shalawat. Di Jamiyah Nibros, peserta yang hadir terdiri dari anak-anak (sebagai kader shalawat selanjutnya), remaja, pemuda, hingga orang tua.
Pada umumnya acara Jamiyah Nibros tidak melibatkan perempuan kecuali pada acara burdahan. Biasanya vokalis dan penerbang Jamiyah Nibros adalah para remaja dan pemudanya, sementara anggota senior hanya menghadiri dan mendampingi dengan dukungan moral dan dana.
Anggota senior biasanya diberikan posisi untuk membuka acara dengan bacaan tawassul surah al-Fatihah dan doa penutupan majlis. Tolak ukur jamiyah yang bagus adalah keajegan dan keistiqamahan kegiatan jamiyah yang selalu dihadiri para muhibbin.
Keindahan suara dan terbang, serta banyaknya muhibbin bukanlah menjadi acuan, selama tidak bisa berkelanjutan, meskipun hal-hal tersebut bisa menjadi pemicu keberlangsungan suatu jamiyah.
Bisa dikatakan bahwa Jamiyah Nibros terdiri dari empat unsur di atas, yaitu vokalis, penerbang, peralatan, dan muhibbin yang hadir. Posisi Kiai Utsman biasanya berada pada vokalis, pembaca kitab maulid, pembuka tawassul, pembaca doa, serta pendamping yang mirip ‘pengasuh’ jamiyah.
Menurut pengamatan penulis, suatu jamiyah bisa eksis bertahan lama karena ada unsur kharisma kiai yang ‘mengasuh’ jamiyah tersebut. Pada akhirnya, dengan adanya seorang kiai pengasuh jamiyah, semangat para anggota jamiyah dan muhibbin dalam menghadiri suatu acara disertai dengan motif tabarrukan pada sosok tersebut, bahkan hingga sosok kiai tersebut meninggal dunia.
Semua anggota jamiyah merasa menjadi santri dari kiai tersebut. Begitu pula dalam Jamiyah Nibros, semua anggota dan muhibbin merasa menjadi santri Kiai Utsman. Meskipun tanpa pesantren, rasa dan interaksi antar kiai dan santri terjadi dalam Jamiyah Nibros bisa terwujud.
Ragam Acara Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin
Jamiyah Nibros sebagai jamiyah shalawat memiliki beberapa macam jenis acara. Acara paling utama adalah pembacaan kitab maulid al-Diba‘i dengan pembawaan ala Al-Muhibbin.
Majelis seperti ini diadakan di Langgar Al-Hidayah, langgar-langgar sekitar Manyar, dan rumah-rumah masyarakat yang berkenan agar rumahnya dibacakan shalawat.
Model acara ini dimulai dengan tawassul yang biasanya dibuka oleh Kiai Utsman semasa hidupnya, dan untuk saat ini biasanya dibuka oleh Ust. A. Munir Utsman atau anggota-anggota senior Jamiyah Nibros.
Kemudian acara dibuka dengan pembacaan sistematis sesuai yang ada dalam kitab maulid al-Diba’i yang dimulai dari Ya Rabbi Shalli, Ya Rasulallah, Shalawatullahi Ma Lahat Kawakib, Ya Nabi (Mahall al-Qiyam), Ya Badratim, doa penutup, dan tak lupa bacaan rawi dalam kitab maulid al-Diba’i.
Lagu-lagu yang digunakan pada qashaid yang terdapat pada kitab maulid, sesuai dengan lagu standar yang digunakan pada jamiyah ala Al-Muhibbin. Satu qashidah terdapat beberapa lagu yang transisi perpindahannya sudah ditentukan dan dihafalkan.
Selain pembacaan qashaid yang terdapat pada kitab maulid al-Diba’i, terkadang dibacakan juga beberapa qashaid lain, seperti Khabbiri, Shalla Alaikallah, Ya Muhaimin Ya Salam, dan lain-lain.
Sebagaimana tradisi Jawa yang menyukai makan-makan bersama, di akhir majlis shalawat, terdapat acara makan-makan bersama yang jadwalnya digilir pada tiap-tiap anggota jamiyah.
Pengadaan acara makan bersama tentunya membutuhkan modal, tetapi bagi tiap-tiap anggota tidak merasa keberatan dalam hal pembiayaan makan bersama ini. Para anggota jamiyah merasa ringan-ringan saja dalam mengeluarkan biaya tersebut karena kebersamaan dan kepercayaan akan unsur barakah majlis shalawat dan diniati dengan sedekah.
Acara makan bersama tersebut juga meningkatkan solidaritas sesama anggota, karena di dalamnya terdapat makan bersama, bersih-bersih langgar setelah makan, dan cuci piring nampan invetaris langgar.
Bahkan beberapa anggota meminta sendiri untuk mendapat jatah pembiayaan hingga mendatangkan Jamiyah Nibros ke rumah-rumah mereka. Selain modal biaya makan, tentu saja seperangkat sound system, hingga ‘berkat’ atau buah tangan selalu disediakan oleh tuan rumah acara.
Tradisi tersebut masih terus berjalan hingga saat ini yang membuktikan ringan tangannya masyarakat Masyar untuk acara shalawat Nabi.
Bentuk acara lain dalam Jamiyah Nibros adalah ngarak manten atau mengiringi mempelai pria ke rumah mempelai putri dalam rangkaian acara pernikahan. Prosesi ngarak manten ini dilakukan dengan berjalan kaki seluruh anggota dan memakai seragam.
Para vokalis dan penerbang mengiring pengantin dengan cara berjalan mundur di depan pengantin. Berjalan mundur sambil membaca shalawat atau menabuh terbang memerlukan teknik dan pengalaman agar tidak jatuh tersandung di tengah-tengah ngarak manten.
Proses berjalan mundurnya anggota jamiyah merupakan simbol penghormatan atas mempelai yang diiringinya. Pengantin tetap berjalan maju dengan dikawal oleh anggota jamiyah yang membawa payung ngarak manten dan juga ditemani oleh pihak keluarga yang ikut berjalan kaki maju.
Perlengkapan pendukung seperti sound system dan generator listrik untuk mikrofon dan lampu dibawa menggunakan becak yang dikayuh oleh anggota jamiyah.
Sementara anggota lain yang tidak menjadi vokalis atau penabuh terbang, seperti anak-anak, berkontribusi membawa lampu-lampu perhiasan untuk memeriahkan acara, karena pada umumnya tradisi masyarakat Manyar melaksanakan acara pernikahan di malam hari, khususnya ketika terjadi pernikahan kedua mempelai yang sama-sama masyarakat Manyar.
Prosesi seperti ini masih terjadi hingga saat ini yang menunjukkan kecintaan masyarakat Manyar pada shalawat yang masuk pada rangkaian acara pernikahan, dan menunjukkan keberhasilan Kiai Utsman dalam mensyiarkan Islam melalui shalawat.
Acara lain yang menjadi rutinitas Jamiyah Nibros adalah burdahan, yaitu pembacaan Qashidah Burdah al-Bushiri. Acara ini dilaksanakan rutin tiap malam Jumat di Langgar Al-Hidayah.
Semasa hidup Kiai Utsman, beliau sendiri yang memimpin acara ini. Pasca wafatnya Kiai Utsman, acara ini biasanya dipimpin oleh Ust. A. Munir Utsman atau anggota-anggota senior lain.
Prosesi burdahan dimulai dengan tawassul oleh pemimpin majlis. Kemudian masuk pada acara inti yaitu pembacaan Qashidah Burdah al-Bushiri yang dimulai dari A min Tadzakkuri Jiranin hingga Abana Mauliduhu atau dari fasal pertama hingga permulaan fasal keempat Burdah al-Bushiri.
Setelah pembacaan Qashidah Burdah al-Bushiri, ada pembacaan Asyraqa al-Kaun Ibtihaja (Mahall al-Qiyam) yang terdapat dalam kitab maulid Simt al-Durar dengan diiringi pukulan terbang ala Al-Muhibbin oleh anggota jamiyah.
Sebagaimana tradisi Islam Nusantara di malam Jumat, rangkaian acara dilanjut dengan pembacaan tahlil dan doa yang dibaca oleh pimpinan majlis. Acara diakhiri dengan makan bersama yang jadwalnya juga digilir pada anggota jamiyah. Majlis ini juga memberi kesempatan warga sekitar langgar untuk bersedekah jajan atau minuman yang dibagikan pada peserta burdahan. Berbeda dengan acara Jamiyah Nibros yang lain, acara ini juga diikuti anggota perempuan, baik balita, anak-anak, remaja, hingga orang tua.
Acara burdahan yang masih bertahan hingga saat ini termasuk strategi dakwah Kiai Utsman dalam memasukkan pembacaan shalawat dalam acara tahlilan malam Jumat sebagaimana umumnya, agar shalawat bisa digemari dan diamalkan masyarakat Manyar tanpa keberatan dan paksaan.
Khusus pada bulan Rabiul Awwal, ada acara khusus yaitu pembacaan kitab maulid Syaraf al-Anam dan Simt al-Durar. Kedua kitab maulid tersebut dibaca pada hari yang sama, perbedaannya, kitab maulid Syaraf al-Anam dibaca setelah sholat Maghrib malam 12 Rabiul Awwal.
Sementara itu, kitab maulid Simt al-Durar dibaca pada pagi hari pada tanggal 12 Rabiul Awwal juga, dan kedua acara tersebut dilaksanakan di Langgar Al-Hidayah.
Alasan pembacaan kitab maulid Syaraf al-Anam dilaksanakan setelah Maghrib adalah karena setelah jamaah sholat Isya’, ada acara pembacaan maulid Syaraf al-Anam di Masjid Jami’ Manyar, agar anggota Jamiyah Nibros dan warga sekitar Langgar Al-Hidayah bisa mengikuti acara maulid di masjid utama desa.
Perbedaan yang mencolok dari acara pembacaan kitab maulid Syaraf al-Anam di Langgar Al-Hidayah dan di Masjid Jami’ Manyar adalah adanya iringan rebana ketika pembacaan Ya Nabi (Mahall al-Qiyam) di Langgar Al-Hidayah dengan ‘genre’ ala Al-Muhibbin yang diusung oleh Jamiyah Nibros.
Sebagaimana pembacaan kitab maulid Syaraf al-Anam, pembacaan Simt al-Durar juga diiringi pukulan rebana dari awal hingga akhir. Rangkaian acara kedua pembacaan maulid tersebut sama seperti pada pembacaan maulid al-Diba’i yang menjadi bacaan utama Jamiyah Nibros.
Tiap jamiyah biasanya mempunyai acara besar yang dimilikinya, begitu pula pada Jamiyah Nibros. Begitu pula Jamiyah Nibros, acara besarnya adalah pembacaan maulid al-Diba’i dalam rangka haul Kiai Utsman.
Keunikan dari acara besar ini adalah berbentuk peringatan haul pendiri, berarti acara besar tersebut baru terjadi setelah Kiai Utsman wafat, sementara Kiai Utsman wafat pada tahun 2001.
Jadi, sebelum Kiai Utsman wafat, maka Jamiyah Nibros belum mempunyai acara besar tertentu. Perbedaan dari acara ini dengan acara biasanya adalah anggota Jamiyah Nibros mengundang Jamiah Al-Muhibbin untuk turut hadir pada acara tersebut.
Anggota Nibros mengirimkan undangan secara langsung dengan berangkat ke Tulungagung. Karena adanya undangan pada Jamiyah Al-Muhibbin, maka acara haul pun menyesuaikan kelonggaran waktu Jamiyah Al-Muhibbin yang diusahakan tetap diadakan pada bulan Dzulhijjah.
Acara besar tentunya membutuhkan anggaran yang besar pula karena membutuhkan panggung, dekorasi, terop (tenda acara), sound system besar, dan konsumsi.
Semua anggaran tersebut didapat dari kas Jamiyah Nibros dan sumbangan dana tambahan dari anggota atau masyarakat Manyar. Semua biaya tersebut ditanggung oleh Jamiyah Nibros, kecuali konsumsi dan berkat yang ditanggung oleh keluarga besar Kiai Utsman.
Perbedaan lain adalah adanya undangan pada para kiai (khususnya kiai Pesantren Qomaruddin), habaib (keluarga besar Habib Abu Bakar Assegaf), pejabat daerah, dan masyarakat sekitar Manyar.
Kemudian perbedaan terakhir adalah adanya makanan harisah yang diproses bersama oleh keluarga besar Kiai Utsman sebagai peracik bumbu dan anggota Jamiyah Nibros sebagai tenaga pengaduk bubur harisah.
Dari semua ragam acara yang dijalankan Jamiyah Nibros, bisa diketahui bahwa kegiatan shalawat dan pembacaan maulid Nabi dilaksanakan sepanjang tahun tanpa mengkhususkan antara satu bulan daripada bulan yang lain.
Seperti ketika perayaan maulid Nabi, seringkali Langgar Al-Hidayah yang dikelola oleh Jamiyah Nibros mengadakan peringatan maulid Nabi setelah bulan Rabiul Awwal selesai.
Menurut Sayyid Muhammad al-Maliki dalam kitab mafahim Yajib an Tusahha, pada dasarnya, ulama tidak berani mengkhususkan peringatan maulid pada bulan tertentu.
Para ulama tetap berpendapat bahwa peringatan maulid tetap disunnahkan sepanjang tahun, karena ketika para ulama mengkhususkan kesunnahan pada bulan tertentu, akibatnya terdapat pemahaman bahwa peringatan maulid Nabi tidak disunnahkan pada bulan lain, dan menyunnahkan kekhususan tersebut merupakan suatu bid’ah.
Menyadari akan hal ini, Jamiyah Nibros mengadakan peringatan maulid Nabi sepanjang tahun, selama tidak mengganggu kegiatan dan tradisi keagamaan yang lain.
Beragam acara yang dimiliki Jamiyah Nibros disusun dan direncakan secara matang oleh anggota Jamiyah. Anggota jamiyah selalu mengutamakan gotong royong dalam menjalankan kegiatan jamiyah.
Hal ini menunjukkan bahwa Jamiyah Nibros yang didirikan oleh Kiai Utsman tidak hanya sebagai syiar Islam berupa shalawat Nabi, melainkan juga meningkatkan solidaritas dan persaudaraan tidak hanya anggota Jamiyah Nibros, tetapi juga masyarakat Manyar sekitar Langgar Al-Hidayah.
Pengaruh Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin dalam Aspek Sosial-Keagamaan Masyarakat Manyar
Desa Manyar yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan kawasan yang terdiri dari tiga desa secara administratif, yaitu Desa Manyarejo, Desa Manyar Sidomukti, dan Desa Manyar Sidorukun.
Ketiga desa ini meskipun terbagi menjadi kelurahan tersendiri, tetapi mempunyai kultur yang sama. Hal ini dibuktikan dengan Masjid Jami’ Manyar yang menjadi pusat kehidupan sosial-keagamaan masyarakat, mempunyai pasar desa dan pemakaman umum yang sama.
Ketiga fasilitas umum tersebut membentuk tiga simbol, yaitu masjid simbol agama, pasar simbol kehidupan, dan pemakaman umum sebagai simbol kematian.
Penyebutan desa Manyar oleh masyarakat Gresik dan sekitarnya bisa dipastikan merujuk pada tiga desa tersebut, yang terkadang disebut juga dengan nama Desa Manyar Komplek.
Desa Manyar termasuk dalam tipologi desa pesantren, yaitu desa yang memegang kuat penegakkan ajaran Islam karena kultur masyarakatnya mempunyai karakter seperti kehidupan santri, tanpa adanya pesantren di desa sebagai pemicu awalnya.
Di desa ini, penerapan dakwah bi al-ahkam bisa dilaksanakan, yaitu pengawalan dan tindakan ketat sebagai kontrol sosial dalam menjalankan kehidupan beragama. Jadi ketika ada seorang warga Manyar yang ‘nampak’ tidak melaksanakan ajaran agama sesuai standar masyarakat santri Manyar, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi sosial di masyarakat.
Desa Manyar sebagai representasi dari desa pesantren tidaklah begitu saja tiba, bahkan bisa dikatakan belum lama ini. Hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1960-an, masyarakat Manyar masih mempunyai tradisi sedekah bumi yang setelah dilaksanakannya acara tersebut, masyarakat Manyar terbiasa mabuk-mabukan dan membawa perempuan lain.
Hal ini menunjukkan bahwa ada proses islamisasi yang dilakukan oleh para tokoh agama yang berhasil menjadikan masyarakat Manyar yang awalnya abangan menjadi masyarakat santri.
Proses perubahan sosial keagaman masyarakat Manyar tidak bisa terlepas dari para kiai yang berdakwah di Manyar. Sebelum Kiai Utsman datang, Kiai Sahlan telah terlebih dahulu menetap dan tinggal di Manyar.
Kiai Sahlan bukanlah warga Manyar asli, melainkan berasal dari Desa Leran, sementara Kiai Utsman berasal dari Sampurnan, Bungah.
Proses islamisasi di Desa Manyar sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum kedatangan Kiai Sahlan, tetapi proses islamisasi besar-besaran dan berhasil diterima masyarakat Manyar adalah setelah terjadinya duet kiai ini, yaitu Kiai Sahlan dan Kiai Utsman.
Proses dakwah dan islamisasi yang dilakukan Kiai Sahlan dan Kiai Utsman pada akhirnya dibantu oleh kiai-kiai lain, seperti Kiai Ahmad Chusnan, Kiai Zahid Sahlan, Kiai Abdul Wahab Sahlan, Kiai Idris Sahlan, dan Kiai Rodli.
Atas kerjasama, pembagian tugas, dan strategi antar kiai tersebut, Desa Manyar bisa menjadi pesantren desa sebagaimana sekarang ini.
Berpengaruhnya Jamiyah Nibros pada masyarakat Manyar juga disebabkan sepak terjang Kiai Utsman sebelum mendirikan jamiyah ini. Kiai Utsman di kalangan masyarakat Gresik, dikenal sebagai Kiai Shalawat, yaitu kiai yang memiliki spesialisasi dalam pengamalan shalawat, baik sebagai amaliah maupun sebagai ritual.
Penyematan Kiai Shalawat ini merupakan hal yang wajar karena selain kemampuan dan pengalamannya, Kiai Utsman juga mempunyai sanad shalawat yang jelas, baik dari para kiai maupun dari habaib.
Pengaruh yang nyata dari Jamiyah Nibros bagi masyarakat Manyar adalah sebagai syiar Islam dan pembelajaran shalawat. Pembawaan shalawat oleh Jamiyah Nibros yang masuk dalam tradisi dan ritual masyarakat Manyar dalam banyak hal, seperti ritual pernikahan, tahlil kematian, perpindahan rumah masyarakat Manyar, dan lain-lain.
Anggota Jamiyah Nibros yang tinggal agak jauh dengan Langgar Al-Hidayah mengajarkan dan menghidupkan shalawat di langgar-langgar dekat rumahnya masing-masing dengan sesekali mengundang Jamiyah Nibros untuk mengisi shalawat di sana.
Berdirinya Jamiyah Nibros di Desa Manyar yang bisa terus eksis sampai saat ini memicu lahirnya jamiyah shalawat dengan ‘genre’ yang lain di Desa Manyar. Hingga saat ini, terdapat lima jamiyah shalawat di Desa Manyar, yaitu:
Pertama, Jamiyah Hadrah Nibrosul Muhibbin, yang membawa gaya hadrah ala Al-Muhibbin yang menggunakan kitab maulid al-Diba’i sebagai bacaan utamanya.
Kedua, ISHARI Manyar, yang merupakan badan otonom NU dengan pembawaan rebana klasik disertai tepukan tangan dan tarian-tarian.
Ketiga, Jamiyah Al-Khidmah Manyar, yang berkiblat pada Pesantren Al-Fitrah Surabaya dan menggunakan kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai bacaan utamanya.
Keempat, Jamiyah Shalawat Pace Ndoyong, yang pada saat ini berubah menjadi Jamiyah Ahbabul Musthofa Gresik, yang membawa ‘genre’ grup shalawat Ahbabul Musthofa yang dibawa Habib Syeikh Assegaf dan menggunakan kitab maulid Simt al-Durar sebagai bacaan utamanya.
Kelima, Grup Al-Banjari Asyiqurrasul, yang membawa ‘genre’ al-banjari yang lebih kontemporer. Grup ini fokus pada acara festival al-banjari dan penampilan dalam undangan shalawat.
Pada umumnya, masyarakat Manyar yang tergabung dari salah satu jamiyah shalawat di atas, ia tidak aktif pula di jamiyah yang lain, kecuali pada grup Asyiqurrasul, karena grup ini merupakan grup yang baru dan personil grup ini berasal dari keempat jamiyah sebelumnya.
Menurut pengamatan penulis, Desa Manyar termasuk dalam salah satu desa dengan suasana shalawat terbaik. Shalawat di desa ini diterima semua kalangan, bahkan masuk pada tiap-tiap tradisi dan ritual masyarakat.
Semua kalangan masyarakat, baik yang pernah mondok atau tidak, baik yang taat menjalankan syariat agama ataupun tidak, menerima kehadiran shalawat di keseharian kehidupannya.
Lebih jauh lagi, beberapa teman yang berasal dari Desa Manyar yang sempat penulis wawancarai mengaku ketika meninggalkan Manyar adalah rindu suasana shalawatnya.
Hal tersebut sebagian besar tidak disadari oleh masyarakat Manyar yang belum pernah menetap di luar Manyar. Bagi yang pernah tinggal di luar Manyar, terutama di luar daerah, maka akan merasakan kualitas suasana shalawat di Manyar.
Semua penerimaan ini tidak lepas dari peran Kiai Utsman sebagai pendiri Jamiyah Nibros yang keahlian dan sepak terjangnya dalam bidang shalawat diakui masyarakat luas hingga dikenal sebagai ‘Kiai Shalawat’.
*Agil Muhammad, Santri Sampurnan kini tengah nyantri di Krapyak Yogyakarta.