Jalan Kembali
Judul ini berangkat dari obrolan ringan penulis dengan salah satu sahabat karib. Cerita ini dimulai beberapa tahun lalu, dimana dia telah menitipkan keponakannya untuk nyantri. Santri ini ‘luar biasa’. Dia asli Jakarta yang kebetulan berada di ‘daerah merah’. Hampir tiap malam digelar pesta narkoba anak-anak remaja. Kejahatan dan keculasan adalah fragmen yang terjadi tiap hari. Saat pekat matahari menyelimuti cakrawala, maka gegap-gempita pecinta dunia menelungkupi kawasan metropolis itu.
Karena berangkat dari lingkungan yang tidak sehat, maka sulit bagi dia untuk langsung menyesuaikan dengan suasana pesantren. Awal-awal, tiap hari dia menangis dan berteriak, “Mama… mama…” dengan lolongan panjang. Namun semakin hari, dia mulai merasa ada kesejukan dan kedamaian di pesantren. Kondisi yang tidak ia rasakan ketika di rumah.
Hingga akhirnya ia bisa mengakhiri tangisannya dalam beberapa bulan. Mungkin berkah dzikir dan dikumat-kamit bakda maktubah atau bacaan al-Quran yang lantunkan dengan tertatih-tatih serta serak-parau suara atau kebaikan-kebaikan lain sehingga mulai ada cahaya di hatinya. Tatapannya tidak senanar dulu dan cara bicaranya mulai santun.
Namun sayang, kerena satu dua hal akhirnya anak tersebut harus pamit dari pesantren setelah meneguk cawan selama dua tahun. Saat menyerahkan anak tersebut, saya menyampaikan permohonan maaf sekaligus terimakasih karena telah memberi kepercayaan dalam pendampingan.
Tapi saya terkejut karena jawaban Sang Paman diluar prediksi. “Tidak apa-apa, saya sudah senang. Paling tidak dua tahun itu bisa menjadi bekal jalan kembali saat dia tersesat nanti dalam belantara kehidupan.” ucapnya
***
Jawaban Sang Paman yang sahabat karib saya mengingatkan kita bahwa setiap manusia pasti akan mengalami “tersesat” dalam kehidupan. Tersesat dalam artian melakukan kesalahan dalam manapaki jalan terjal kehidupan. Mungkin manusia sudah berusaha semaksimal mungkin dalam melangkah. Merencanakan, melaksanakan dengan penuh kehati-hatian namun pasti suatu saat akan berada dalam lubang kesalahan.
Pada kondisi ini, tehnik jalan keluar menjadi penentu kehidupan. Terutama dalam kesalahan-kesalahan besar yang telah dilakukan manusia. Betapa banyak orang menyesal dengan menyadari kesalahan atas pilihan yang selama ini dilakukan. Dari kesalahan-kesalahan itu, terkadang manusia harus menanggung beban yang lama.
Bahkan terkadang ketika kesalahan itu belum terehabilitasi namun ruh sudah sowan dahulu kehadirat Rabb-nya. Sehingga tentu penyesalan yang tiada tara (semoga kita dijauhkan dari petaka ini).
***
Pendidikan menjadi salah salah satu penyangga penting jalan kembali. Seseorang yang memiliki spiritualitas yang tangguh akan lebih cepat menemukan jalan kembali. Karena dia telah memegang makna dari hakekat kehidupan. Al-Ghazali menulis banyak kitab tentang hal ini, diantaranya adalah kitab Minhajul Abidin. Uraian-uraian bernas tentang tahapan-tahapan rumit manusia dalam menyelami hakekat kehidupan.
Kebanyakan manusia terjebak pada kubang kesalahan karena didasari kesalahan dalam memandang sesuatu dan nafsu yang serakah, memotong jalan dalam lipatan, cara instan yang beresiko dan lain sebagainya.
Salah satu lembaga pendidikan yang asli nusantara, pesantren sudah terbukti menjadi semacam ‘guidance’ menuju jalan kembali. Di tengah ledakan arus dari turbulensi tehnologi serta informasi, pesantren memiliki perangkat dan piranti yang tangguh dalam meredam dan menstabilkannya.
Pesantren mengambil titik pembentukan karakter yang kuat sehingga jika santri melaksanakan aturan-aturan pesantren dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata niscaya akan menjadi manusia paripurna. Namun jika proses itu dilakukan secara setengah-setengah, hasilnya pun tidak akan jauh dari prosesnya.
Secara umum pesantren memiliki ‘segitiga emas’ yang menjelma menjadi unsur penting menuju jalan kembali. Tiga unsur itu adalah: Islam, Iman dan Ihsan. Islam berbicara tentang unsur-unsur verbal dalam kehidupan. Standar formal dalam melaksanakan kehidupan. Semacam SOP dalam beribadah, berinteraksi sosial, mengembangkan kehidupan dan peradaban.
Iman adalah piranti lembut dalam mengokohkan keyakinan hati manusia untuk selalu menyakini bahwa di luar diri manusia ada penguasa kehidupan yang menciptakan dan menstabilkan kosmos. Bersifat absolut dan mutlak. Ada kehidupan metafisik yang nyata; malaikat, kebangkitan, qodho, qodar, surga, neraka dan lain sebagainya adalah suatu kebenaran. Dengan piranti ini, manusia akan lebih berhati-hati dalam menapaki jalan kehidupan.
Ihsan adalah beradab kepada Tuhan dan semesta. Merasa setiap geriknya bermula dari Sang Adi Kuasa atau setiap geriknya selalu berada dalam pantauan-Nya. Perasaan ini yang akan melahirkan kesalehan ritual dan sosial. Tiap nafasnya dipertaruhkan untuk mengabdi kepada Sang Khalik dan makhluk. Dirinya tidak lebih dari pengabdi kehidupan.
Ulama kaliber dunia kelahiran Indonesia yang kini berdomisili di Madinah merangkum ketiga segi tiga emas tersebut dengan baik dan penuh hikmah. Beliau adalah Al-Habib Zain bin Smith yang menoreh kitab penuh makna, Hidayatut Thalibin fi Bayani Muhimmatid Din. Selamat men-daras.
Muhammad Hasyim
*Ketua PC. LTN NU Gresik