DALAM kunjungannya ke Graha Pena Surabaya (8/10) lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan, ketertinggalan Indonesia di berbagai sektor terjadi karena iklim inovasi yang sangat rendah. Hal itu sebabkan roda politik, ekonomi, dan sosial stagnan serta cenderung selalu tertinggal.
Menurut Presiden Jokowi, ada beberapa masalah yang menjadi penghambat inovasi. Antara lain, regulasi yang berbelit, kultur yang berorientasi prosedur, dan dunia pendidikan yang belum siap.
Menurut Agustinus Simanjuntak (Yt Pos, Opini, 13/8) pemerintah perlu membuat regulasi yang melindungi setiap pengambil kebijakan progresif (terkait inovasi teknologi) sekaligus memfasilitasi para inovator supaya mereka tidak takut menghadapi jerat-jerat birokrasi maupun masalah hukum. Prosedur dan perizinan yang menghambat inovasi sudah seharusnya dihapus demi terciptanya produk barang/jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Masalah lain, adalah kultur pendidikan yang belum siap. Di dalam tulisannya di Jawa Pos (13/8), Asra Al Fauzi menilai, mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi, masih jauh dari harapan. Berdasarkan penilaian terbaru dari QS World University Rankings, paling tinggi peringkat ke-277, yakni UI. Salah satu kriteria untuk menentukan reputasi universitas adalah faktor research impact. Karena itu, ditegaskan Asra Al Fauzi, jiwa inovatif generasi muda harus dibangun dari kultur pendidikan.
Sikap Altruistik Selanjutnya di dalam tulisannya, Agustinus Simanjutak menyebut, bahwa pejabat pengambil kebijakan progresif soal inovasi teknologi serta para inovator umumnya adalah kaum berintegritas dan berjiwa altruis (mementingkan kebutuhan orang lain). Dipaparkan dalam tulisannya, bahwa negara-negara paling inovatif di dunia (2017) didominasi mereka terbersih dari korupsi sekaligus mampu mengatasi regulasi dan birokrasi yang menghambat inovasi. Negara yang paling inovatif umumnya masuk dalam 25 besar peringkat terbersih dari korupsi versi Transparency International (TI) 2016. Misalnya, Swiss, Swedia, dan Jerman. Menurut The Global Innovation Index (GII) 2017, mereka sangat inovatif di sektor riset, infrastruktur, kecanggihan pasar, dan kreatifitas bisnis. Sedangkan tingkat inovatif kita masih cukup rendah, yakni di urutan ke-88 dari 128 negara. Kondisi itu selaras dengan hasil survey TII yang menempatkan Indonesia di urutan ke 90 dari 176 negara terkait dengan Corruption Perceptions Index 2016.
Data tersebut menunjukkan, ada keterkaitan antara hasil inovasi dengan tingkat korupsi. Negara-negara yang inovasinya terburuk umumnya memiliki tingkat korupsi paling tinggi. Karena itu, menurut Agustinus Simanjutak, tiada inovasi tanpa moral. Inovasi positif akan sulit lahir di negara yang korup serta warganya kebanyakan berperilaku curang. Korupsi akan merusak moral dan semangat berinovasi. Sebaliknya, inovasi-inovasi terbaik itu hanya lahir dari orang-orang yang berhati jujur dan mulia (altruis).
Dijelaskan Agustinus Simanjutak, alasannya, pertama, kaum altruis pasti memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain. Misalnya, dulu produk jamu Nyonya Meneer dibuat Ibu Meneer saat prihatin dengan kondisi suaminya yang sakit keras. Rasa empati seorang istri terhadap suami ternyata bisa menghasilkan produk yang berguna bagi masyarakat.
Kedua, kaum altruis pasti pekerja keras. Bahkan mereka tak mengenal waktu dalam berkarya untuk menuangkan inspirasinya ke dalam ragam kreatifitas produk.Dalam artikel berjudul Altruisme dan Filantropis (Borrong, 2006), dijelaskan, suatu tindakan altruistik adalah tindakan kasih yang dalam bahasa Yunani disebut Agape. Agape adalah tindakan mengasihi atau memperlakukan sesama dengan baik semata-mata untuk tujuan kebaikan orang itu dan tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruistik pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama.
Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan. Istilah tersebut disebut moralitas altruistik, dimana tindakan menolong tidak sekedar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan, tertapi diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Dari hal tersebut seseorang yang altruistik dituntut memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi.
Membangun Kultur Inovatif melalui IPNU-IPPNU.
Organisasi pelajar seperti IPNU atau IPPNU, tentu penting peranannya bagi santri dan pelajar NU untuk menumbuhkan sikap altruistik. Sebagai bagian dari organisasi masyarakat NU, IPNU telah menjadi wadah bagi para pelajar NU untuk mengasah empatinya terhadap persoalan sosial. Itu yang penulis rasakan selama aktif di IPNU sejak masih duduk di bangku Tsanawiyah (tingkat SLTP).
IPNU memperkaya dimensi wawasan kadernya, sehingga mereka tidak terbatas di ruang kelas sekolah. Ketika seseorang belajar di kelas, ia hanya akan disuguhi materi-materi normatif yang bersifat sollen. Pelajar hanya akan disuguhi indahnya teori, peraturan serta norma yang mengatur masyarakat mencapai tujuan bersama. Namun ketika seorang pelajar berorganisasi, ia tidak hanya mengandalkan apa yang ia dapatkan di kelas. Ia akan mengetahui kesenjangan antara apa yang seharusnya atau yang ideal (das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein).
Kesenjangan itulah yang disebut persoalan atau masalah. Karena itu, di IPNU, pelajar NU didorong untuk tidak terbatasi oleh tembok sekolah. Para pelajar NU diajak untuk membaca realitas sosial serta persoalan-persoalan di dalamnya yang itu barangkali tidak didapatkannya di dalam kelas. Dengan begitu, berorganisasi di IPNU akan mendorong para pelajar NU untuk memiliki rasa empati dan kepekaan sosial. Maka, sikap altruistik para pelajar NU sedikit banyak telah terbangun melalui partisipasinya di IPNU.
Lantas yang menjadi perhatian kita sekarang, adalah bagaimana modal sikap altruistik yang sudah terbangun itu berdampak positif terhadap masyarakat dengan melahirkan inovasi-inovasi positif. Sikap altruistik tersebut harus dikontruksikan untuk melahirkan inovasi-inovasi, baik berupa kegiatan-kegiatan yang prososial maupun penelitian-penelitian ilmiah. Dengan begitu, sikap altruistik yang telah terbangun tersebut tidak sekedar bermakna partisipatif, melainkan juga harus bersifat produktif.
Sebagai contoh, IPNU Banyutengah, Panceng, Gresik yang mendirikan Sekolah Kader Desa. Sekolah itu bertujuan untuk memberi wawasan ke masyarakat, terutama ke para pemuda, tentang aspek-aspek pembangunan desa yang diatur di dalam UU Desa. Misal saja tentang Dana Desa. Ide pendirian sekolah tersebut muncul setelah melihat fakta bahwa salah satu persoalan pembangunan desa partisipatif sebagaimana diamanahkan UU Desa adalah kualitas SDM. Karena itu, pemberdayaan dan penguatan peran masyarakat menjadi urgen. Maka, dalam rangka memperingati Hari Lahir IPNU-IPPNU Ke-66 ini penting untuk kita renungkan, sejauh mana peran santri dan pelajar NU dalam membangun kultur inovasi.
Penulis : Achmad Faiz MN Abdallah | Pelajar NU Gresik dan asisten Ketua DPRD Gresik