Muchammad Toha*
Sabtu, 2 Mei ini merupakan peringatan hari pendidikan nasional tepatnya pada tanggal itu seorang bapak pendidikan Indonesia Raden Mas Suwardi Suryaningrat dari keluarga Puro Pakualaman Yogyakarta dilahirkan. Sebagai keluarga bangsawan, menteri pendidikan pertama Indonesia ini menunjukkan tradisi yang tidak biasa bagi seorang berdarah biru pada waktu itu, yaitu tidak menonjolkan trah wangsa di depan namanya tapi justru yang dipopulerkan adalah sebutan Ki bagi dirinya.
Ki adalah sebutan bagi orang laki laki yang dituakan atau dihormati sedangkan bagi perempuan dengan sebutan Nyi, sehingga sama sekali tidak menunjukkan feodalisme yang terasa adalah hubungan yang bersifat egaliter dan ini menjadi ciri sebutan yang ada di Taman Siswa sampai hari ini, kenapa dalam pendidikan perlu ditanamkan tentang posisi selevel, karena paham akan kesamaan derajat dan menghargai sesama ciptaan itulah hakekat orang terdidik.
Bukankah dalam Agama Islam sering disampaikan inna akramakum indallahi atqakum (sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa), Agama Hindu Tat Twam Asi (aku adalah kamu, kamu adalah aku), Agama Budha sabbe satta bhavantu sukhitatta (semoga semua makhluk hidup berbahagia), sedangkan dalam Agama Kristiani berbunyi, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Sehingga idealnya kaum terdidik adalah manusia yang berpikir dan berperilaku selaras dengan nilai-nilai ajaran agama karena telah tercerahkan akal budinya, lalu ajaran darimana bila ada sesama peserta didik saling merendahkan dan mempermalukan yang terjadi disetiap tahun ajaran baru, pemandangan yang umum saat pengenalan studi, peserta didik senior membentak-bentak yuniornya, sehingga melahirkan dendam berkepanjangan dan akan dibalaskan pada yunior mendatang, demikian seterusnya dan di momen corona sedang mewabah ini sehingga tidak mungkin perpeloncoan dilakukan, maka institusi pendidikan harus tegas mulai 2020 ditiadakan.
Diganti dengan aktifitas lain yang lebih mendidik dan membangun karakter serta membangkitkan rasa cinta tanah air dengan aneka kemajemukannya, dalam konteks sekarang ini misalnya, diberi penugasan untuk mengeksplor kekayaan negeri ini dari berbagai bidangnya dan tentunya calon peserta didik akan berselancar di dunia maya untuk mencari materi yang ditugaskan gurunya, sedangkan seniornya akan memberikan pendampingan sehingga tugas itu berhasil dengan baik, dalam penugasan itu tanggung jawab sepenuhnya ada pada guru, senior hanya mendampingi sekitar lima peserta didik dan itu semua dilakukan dengan cara jarak jauh atau daring. Dari hasil berselancar itu lalu dipresentasikan memalui jarak jauh juga dan setelah mendapat saran dan pemdampingan dari guru dan senior dan diperbaiki hasil karya itu bisa diunggah sehingga memiliki manfaat yang lebih luas.
Telah bertahun-tahun setiap awal memasuki ajaran baru peserta didik diberi tugas yang aneh-aneh orang seniornya, padahal setiap penugasan seharusnya mempunyai ujuan yang hendak dicapai atau perubahan apa yang hendak diraih setelah melakukan tugas itu, seperti berkalung kaleng, mencari tutup botol, membeli produk tertentu yang mulai jarang di pasaran, dengan tugas ini kadang-kadang yang susah bukan saja peserta didiknya saja, tapi juga seluruh keluarganya juga.
Kenapa para peserta didik tidak dimantapkan dengan materi-materi yang berguna bagi bekal menuntut ilmu yang lebih tinggi, seperti cara belajar yang baik dan testimoni atas prestasi para seniornya sehingga bisa menjadi ajang berbagi kiat serta sarana memacu diri dalam belajar, juga bagaimana cara meningkatkan kemampuan diri dalam berbicara dihadapan banyak orang (beretorika) serta mambawakan acara yang baik lengkap dengan gesturnya, bila ini dilakukan pasti akan lebih berguna tidak saja bagi peserta didik tapi juga masyarakat pada umumnya, bukankah sering terjadi seseorang yang faktanya memang telah terpilih tapi memalukan ketika mengatur lalu lintas orang berbicara saat sidang hal itu karena tidak terasah dan memang secara khusus tidak diajarkan di sekolah.
Dan menanamkan berbicara dengan etika, logis, santun dan sistematis adalah suatu keharusan, sebaliknya clometan, hoax, adu domba harus disingkirkan. Kenapa ini jarang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran baru, salah satu jawabnya karena biasanya yang ngurus tentang ini dipasrahkan pada para peserta didik senior dan guru kurang memantau maka yang dilakukan para senior adalah memberikan perintah semampu mampunya mereka memberikan perintah yang kadang-kadang tidak rasional dan tidak memiliki tujuan yang jelas selain gertakan dan bentakan.
Kenapa model-model arogansi dan kekerasan harus segera dihapuskan, karena sejatinya melawan kenyataan yang setiap hari diajarkan, bukankah dalam keluarga sering diajarkan agar sopan santun dan kasih sayang pada sesama, tapi faktanya ketika mengawali sekolah yang dirasakan jauh berbeda. Barangkali ini bisa menjadi salah satu ikhtiar kecil untuk mencapai kehidupan berbangsa yang lebih baik, sungguh bangsa ini memiliki kekayaan alam melimpah ruah, tapi sekarang ini kurangnya hanyalah cinta dan kasih sayang.
Contohnya, negara yang subur makmur dambaan bangsa lain sehingga berbagai cara berusaha untuk menjajah dan menguasainya diabaikan bahkan lebih bangga dengan negara lain yang sumber daya alam berada dibawah, hanya karena bentuk pemerintahannya tidak sesuai dengan keinginannya, sesama anak bangsa yang tidak berdosa dibom hanya karena cara memandang negara yang dianggap berbeda dengan dirinya, mari kita bangun Indonesia dengan menanamkan kembali cinta kasih bagi sesama anak negeri.
*Penulis tinggal di Gresik, kini bertugas sebagai Kepala di Pusdiklat Kementerian Atawa Jama Timur