Oleh: Prof. Dr. H. Abdul Chalik, M.Ag.*
KOLOM KALEM | NUGres – Rangkaian puncak Haji 1444 H/2023 M dimulai tanggal 26 Juni sampai 1 Juli 2023 baru saja usai. Kegiatan haji berlangsung selama 6 hari, dimulai dari Miqat di Makkah, dilanjut Wukuf di Arofah, Mabit dan mengambil batu krikil di Muzdalifah. Dilanjut dengan lempar Jumrah, dan bermalam di Mina selama 3 hari. Selanjutnya disempurnakan dengan Tawaf ifadah, Sa’i serta Tahallul.
Dari beberapa literatur, ada tingkatan kualitas Haji. Pertama, Haji Mardud, yakni haji yang tertolak karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Yang kedua, disebut dengan Haji Maqbul, yakni haji yang memenuhi syarat dan rukun, akan tetapi efek positif tidak tampak setelah melaksanakan ibadah haji. Yang ketiga, disebut dengan Haji Mabrur, yakni haji yang memenuhi syarat dan rukun, serta memiliki dampak positif bagi orang tersebut.
Efek positif Haji mabrur ditunjukkan pada saat mereka berada di Makkah dan Madinah, saat menjalankan Armuzna dan setelah mereka pulang ke tanah air mereka.
Ada sebuah hadits yang cukup terkenal tentang haji mabrur, kata Nabi;
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Haji Mabrur itu tidak ada lagi balasannya, kecuali surga.”
Ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi, “Apa yang di sebut Haji Mabrur, ya Nabi?, Nabi menjawab, “ith‘amut tha‘am wa thayyibul kalam.”. Haji mabrur adalah orang yang memberikan makanan, dan menjaga lisan.
Pengertian memberikan makan yakni setelah berhaji mereka peduli kepada sesama, peduli kepada fakir miskin, peduli kepada orang lain yang membutuhkan, sikap dan perilakunya itu menyenangkan bagi orang lain, entah itu saudara, tetangga, teman atau siapapun, dimanapun mereka berada. Haji mabrur adalah orang yang menyenangkan bagi orang lain.
Ciri kedua kedua thayyibul kalam. Haji mabrur adalah orang yang menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang tidak bermanfaat. Lisannya terkontrol. Tidak mudah mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, kurang sopan, tidak bermanfaat, lebih-lebih berbohong. Lisan betul-betul terjaga.
Ujian kemabruran haji seseorang, dalam ith‘amut tha‘am, sudah mulai tampak saat berada di Makkah dan Madinah, maupun pada saat di Arofah Muzdalifah dan Mina (Armuzna). Banyak peristiwa yang membutuhkan pertolongan, perhatian, entah itu karena tua renta, lemah, karena mereka tidak mampu melakukan sesuatu yang memerlukan pertolongan dan kepedulian kita.
Maka bagi orang yang tidak memiliki sifat ith‘amut tha‘am, mereka akan cuek, mereka tidak peduli, mereka hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak mau menoleh kanan kiri yang memerlukan bantuan pertolongan di saat mereka sedang dalam kesusahan maupun membutuhkan. Itu yang terjadi pada saat mereka berada di Makkah dan Madinah, lebih-lebih setelah mereka pulang dari haji ketika berada di tanah air.
Sementara yang thayyibul kalam, pada saat di Makkah dan Madinah, lebih-lebih di Armuzna, sangat mungkin seseorang akan berkeluh-kesah, bahkan mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, yang tidak sopan, karena fasilitas terbatas, semua berdesak-desakan, saling berebut, yang memungkinkan kita tersikut, kita kalah dengan orang lain, sehingga dengan sangat mudah untuk mengeluarkan kata-kata ataupun dalam hati kita yang tidak terlihat itu, memendam rasa tidak nyaman, benci, hasut, dan bahkan mungkin juga amarah kepada orang lain.
Sebagai kebalikan dari haji Mabrur disebut haji Mabur. Mabur itu menurut bahasa adalah terbang. Mereka hanya mendapatkan susah payah melaksanakan ritual haji, namun nilai-nilai haji, tidak melekat dalam perilaku. Dalam arti nilai itu terbang (menghilang) begitu saja, tidak mereka gunakan dan dipraktikkan sehari-hari, dimanapun mereka berada, baik di rumah, masyarakat, di tempat bekerja, baik itu sebagai anggota masyarakat biasa ataupun sebagai pejabat negara. Mabur dalam pengertian nilai-nilai haji dan makna haji lenyap begitu saja.
Bagi haji mabur, yang diperoleh hanya (sekedar) predikat haji sebagai kebanggaan. Begitu pula yang tersisa hanya simbol seperti songkok ataupun kerudung putih ataupun surban, hanya bangga pada sebutan-sebutan dipanggil haji, tetapi perilaku yang menggambarkan sebagai seorang haji, tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Haji mabur dapat terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, niat haji tidak sungguh-sungguh. Meskipun sudah mengumpulkan uang, antri bertahun-tahun, tapi tidak disertai dengan dorongan niat yang sungguh-sungguh untuk memperbaiki diri, dan sekaligus memperbaiki hubungan dirinya dengan lingkungan mereka berada. Niah kalah kuat dengan dorongan duniawi.
Yang kedua, kurang paham tentang ilmu haji, terutama makna dari masing-masing tahapan seperti Wukuf, Mabit di Muzdalifah, makna dari lempar Jumrah, baik Aqobah ula maupun Wustho. Begitupula juga kurang paham makna ibadah-ibadah lain, seperti; ihram, miqot, tawaf, sa’i, maupun kegiatan-kegiatan yang lain. Mereka hanya mengerti tentang kulit, tidak mau belajar mendalam tentang hikmah, nilai filosofis di masing-masing amalan-amalan haji.
Haji mabrur tidak diukur dari seberapa banyak melakukan salat-salat fardhu, salat sunnah, ibadah-ibadah lain yang sudah dilakukan di masjid, bukan itu. Begitu pula bukan seberapa banyak jumlah rakaat yang sudah kita lakukan, pada saat kita menjalankan ibadah-ibadah sunnah, bukan itu. Tapi mabrur itu adalah, seberapa tinggi kita memiliki kepedulian, seberapa kuat kita memberikan layanan kepada orang lain, dan seberapa sumringah wajah kita berhadapan dengan orang lain.
Begitupula juga seberapa kuat dalam menjaga mulut dan hati agar tidak mudah berkata bohong, berkata-kata yang tidak memiliki manfaat, atau membuat orang lain itu tidak nyaman.
Tiap tahun ratusan ribu muslim Indonesia berangkat haji. Kalau saja mereka semua memperoleh predikat mabrur, maka bangsa Indonesia akan semakin makmur dan bahagia.
Allahummaj’al hajjana hajjan mabruran wa sa’yan masykuran wa dzanban maghfuran..
Makkah, 4 Juli 2023.
*Prof. Dr. Abdul Chalik, M.Ag., Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya.