KH Yahya Chalil Staquf, (Ketua Umum PBNU 2022-2027)
Sebuah organisasi bisa terjebak dalam kejumudan, tumpul, tak terarah, bahkan tak melakukan apa-apa selain mengeloni SK Kepengurusan. Menurut hasil survey Alvara terbaru, 36% populasi Muslim di Indonesia mengaku sebagai anggota NU, lebih 50% berafiliasi kepada NU dan sekitar 70% menempatkan NU pada “top of mind” mereka. Dengan rentang pengaruh seluas itu, NU dalam posisi memikul tanggung jawab terbesar dalam mengukir wajah masyarakat. Kalau NU membiatkan diri sekedar menjadi obyek yang larut saja dalam arus agenda-agenda yang dibuat entah siapa diluar sana, tanpa kehendak apalagi kemampuan untuk bernegosiasi secara desisif agar ikut menentukan arah dinamika masyarakat, sama halnya NU menyia-nyiakan amanah yang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah diletakkan ke pundaknya.
NU harus berjuang membangun kapasitas untuk hadir secara lebih bermakna ditengah masyarakat. Untuk itu, NU harus sungguh memahami jati dirinya, memahami kedudukannya ditengah keseluruhan konstelasi dan dinamika masyarakat, memahami kepentingan-kepentingannya, memahami tujuan, membangun strategi, menetapkan target-target dan agenda-agenda.
JAM’IYYAH DIINIYYAH IJTIMAA’IYYAH
Pola pikir orang NU di berbagai tingkatan, baik pengurus maupun warga, didominasi oleh wawasan yang menjadikan hampir seluruh energi dicurahkan untuk kepedulian keagamaan, sementara masalah-masalah sosial-ekonomi dan berbagai hal yang menyangkut hajat hidup masyarakat kurang mendapat perhatian. Padalah telah dinyatakan bahwa khidmah NU harus memiliki dimensi ganda, yaitu keagamaan dan kemasyarakatan.
Lebih memprihatinkan lagi, wawasan tentang khidmah keagamaan pun cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan dimensi agama sebagai identitas kelompok. Dominasi pola pikir ini menjadikan NU sensitif terhadap isu-isu sektarian (pertentangan antar-madzhab) tapi kurang tanggap terhadap masalah-masalah masyarakat yang dianggap bukan masalah agama.
(Bersambung)
Sumber : IG @gusstaquf