Oleh : Junaidi Syafaat
Di tengah pandemi virus corona sahut-menyahut suara pujian li khomsatun dari pengeras suara yang terdapat di masjid-masjid tiap desa. Pujian tersebut dilantunkan setelah selesai azan, dan ada juga masjid yang menjadikan sebagai amalan rutinan setelah wirid salat jamaah.
Li khomsatun uthfibihaa harral wabaail hathimah, al mushthafa wal murtadla wabnahumaa wa fathimah, dari pujian tersebut ada yang membedakan dari masjid ke masjid yaitu al pada kata wa fathimah dan wal fathimah. Perbedaannya mungkin tidak begitu tampak namun karena sering terdengar akhirnya tidak sedikit yang menyadari perbedaan redaksi pujian tersebut.
Pujian li khomsatun merupakan syiir doa yang diijazahkan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Menurut Rais Syuriyah KH. Ahmad Ishomuddin, syiir tersebut termaktub dalam kitab Malahiq fi Fiqh al-Da’wah an-Nur karya Syekh Badi’uzzaman Sa’id an-Nursi. Dalam kitabnya pada halaman 81, redaksi syair tersebut berbunyi:
وقد قال أحد الفاضلين للإستشفاء والإستشفاع
لي خمسة أطفي بها حر الوباء الحاطمة
المصطفى والمرتضى وابناهما وفاطمة
Mengacu dari teks tersebut maka kata fathimah tidak menggunakan al, dengan alasan dalam ilmu nahwu kata fathimah merupakan isim alam yang tidak perlu lagi menggunakan al karena sudah dihikumi ma’rifat (khusus) seperti kata Muhammad, Umar dan lain-lain. Namun apakah membaca wal fathimah itu pada syair tersebut salah? Jawabannya tidak, dengan alasan al tersebut merupakan al zaidah (tambahan) yang tidak berfungsi untuk mema’rifatkan.
Dalam ilmu ‘arudh, syair li khomsatun menggunakan pola bahr rojaz yaitu,
مستفعلن – مستفعلن # مستفعلن – مستفعلن
Kalau syarit li khomsatun ditinjau dari pola bahr rojaz, maka kata wa fathimah terdapat khabn pembuangan huruf mati yang kedua. Sedangkan kalau kata wal fathimah tidak terdapat khabn karena sesuai dengan pola tersebut.
Dari penjelasan tersebut, maka perbedaan bukan berarti ada yang salah di antaranya. Semakin banyak ilmu maka semakin dapat menghargai sebuah perbedaan.
Wallahu A’lam bish-Shawabi