Oleh: Muhammad Arif*
KOLOM KALEM | NUGres – Fenomena kurangnya minat membaca di seluruh jenjang pendidikan, nampaknya menjadi catatan merah bagi dunia pendidikan di Indonesia. Terlebih membaca merupakan pondasi awal individu untuk mengetahui banyak hal. Namun, faktanya tingkat membaca masyarakat di negara indonesia masih di angka 0,001%, kondisi tersebut menunjukkan bahwa di antara 1000 orang, masih 1 orang yang mempunyai minat baca.
Lantas bagaimana kondisi lembaga di satuan pendidikan? Sampaikah 1000 siswa?, sebuah renungan bagi semua insan di dunia pendidikan, terlebih para pemangku kebijakan untuk segera mencarikan solusi dari permasalahan ini.
Sekedar kami mengutip narasi Bupati Gresik H. Fandi Ahmad Yani, saat acara peluncuran Buku Piknik Literasi di Gedung Nasional Indonesia Gresik (Agustus 2023), “saat ini fenomena kurangnya minat baca sangat nampak seperti lebih banyaknya para pemuda nongkrong di warung kopi dibandingkan di perpustakaan dan rumah ibadah”, selain itu Gus Yani mengungkapkan “harusnya penguatan membaca dan menulis dimulai sejak usia SD karena masih fresh”.
Pada dasarnya fenomena di atas pasti sering kita temukan tanpa bisa menyangkal, yang lebih menyedihkan fenomena tentang kurangnya minat membaca terjadi di lembaga pendidikan (semua jenjang). Padahal perpustakaan di lembaga pendidikan sebuah keniscayaan baik manual atau digital nampaknya sudah dapat dikatakan layak.
Namun, apakah siswa lebih suka masuk perpustakaan? Disklaimer saya menjawab: tidak. Perpustakaan yang seharusnya menjadi “jendela dunia”, tak lebih saat ini seperti “ruang jenazah”. Hanya digunakan ketika dibutuhkan, karena siswa akan ke perpustakaan jika ada tugas dan tidak ada pilihan lain kecuali ke perpustakaan.
Program literasi sekolah sedikit sudah memudar, di tengah harapan ini menjadi awal imperium dari lahirnya budaya membaca. Bagaimana tidak? Beberapa fakta lapangan berjalannya program ini hanya wajib dilakukan siswa, sedangkan pendidik belum secara maksimal mencontohkan (cenderung hanya memerintah tapi tidak mencontohkah).
Semoga fenomena ini segera kambali ke asalnya bagaimana pendidik memberikan teladan dan siswa akan menirukan adalah harapan besar tumbuhnya literasi secara utuh bukan parsial.
Nampaknya semua sudah menyadari kondisi kurangnya minat membaca yang jauh dari kata minimal. Saya sedikit mendramatisir ungkapan ini dengan bahasa “Fenomena Sekarat Literasi”, bahasa literasi muncul sebagai suatu fenomena yang mengambarkan bahwa tidak hanya minat membaca yang rendah. Karena literasi pada dasarnya kumpulan dari kemampuan individu, meliputi: menyimak, berbicara, membaca dan menulis dapat disingkat dengan, Makbicalis.
Membangun Budaya Literasi sejak Dini
Budaya literasi yang di dalamnya terdapat beberapa kemampuan individu, nampaknya perlu strategi terbaik untuk memulainya. Seperti contoh proses bangunan budaya literasi harus dimulai sejak dasar. Dalam bahasa lain, seorang anak kecil melalui proses “belajar membaca”, sedangkan di jenjang lebih tinggi proses “membaca untuk belajar”. Maka, dapat dipastikan jika pondasi membaca di tingkat dasar belum berjalan, akan berpengaruh proses belajarnya karena belum bisa membaca.
Mengutip teori yang dikembangkan James Paul Gee tentang proses penumbuhkan literasi, nampaknya dapat menjadi pilihan solusi menghindari “sekarat literasi”, di dalam bukunya New Literacy Studies mengungkapkan bahwa Literasi sebagai praktik sosial, sehingga pendidik mempunyai kewajiban memberikan pemahaman bahwa literasi tidak hanya membaca dan menulis secara terpisah. Namun, literasi berkaitan erat dengan konteks sosial. Sehingga bagaimana guru mampu mengintegrasikan literasi dengan cerita rakyat atau lagenda dari masing-masing daerah.
Selain itu, pendidik harus mampu menjadikan teknologi sebagai alat untuk menumbuhkan minat literasi siswa. Seperti keberadaan literasi digital yang dapat dimanfaatkan pendidik dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran lebih menarik, interaktif, dan dekat dengan kehidupan siswa.
Sebuah pendekatan yang berbeda dalam menumbuhkan budaya literasi siswa dasar adalah segala bentuk harus dekat dengan pengetahuan siswa, sehingga minat menyimak, membaca, berbicara dan menulis berkembang secara optimal.
Semoga Literasi Hidup dan Tidak Sekarat (lagi)
Saya mencoba menutup narasi ini dengan pemikiran Orville Prescott yang menyampaikan, “Bahwa tidak banyak anak yang belajar mencintai buku dari dirinya sendiri, harus ada orang yang memancing mereka masuk kedalam dunia bahasa tertulis yang indah”. Disini lah peran pendidik untuk memberikan teladan serta pemahaman kepada siswa. Memberikan praktik literasi kepada individu dapat dimulai dari jenjang dasar hingga pendidikan tinggi, meskipun proses ini memang tidak mudah, namun akan membekas sampai tua.
Maka, para pendidik di sekolah mari kita sejenak merenungkan ungkapan Jim Trelease dalam bukunya The Read Aloud Handbook, tentang tugas menumbuhkan minat membaca bukanlah tugas orang tua. Namun, ini adalah tugas sekolah-sekolah. Oleh karena itu, mari bersama-sama terus menyebarkan virus literasi kepada siswa, sehingga tumbuhnya budaya literasi yang baik akan menjadi pondasi kemajuan negara.
*Muhamad Arif, Instruktur Nasional Literasi Madrasah Ibtidaiyah (Kemenag RI), Dosen Institut Al Azhar Meganti Gresik.
tugas menumbuhkan minat membaca bukanlah tugas orang tua? kesimpulannya artikel ini membuat persoalan baru
Silahkan Baca bukunya Jim Trelease. kalau saudara punya pemikiran pembanding diungkapkan saja atau tulis untung menyangkal artikel ini. sesimpel itu. mari berliterasi
ada ribuan anakanakindonesia di pesantren membaca quran siang malam mas broo…masuk kategori gakkk..wkwkwk
Di Sekolah, Murid membaca guru yang membaca. Di rumah, anak membaca orangtua yang membaca.