Saya punya teman nyantri, nuaakale ora umum, ra ono sing diwedeni (red: jawa), kecuali seorang ustaz yang menolongnya waktu kecebur sumur. Memang rodo aneh, nakal tapi gak bisa renang, koyo Bashori itu, cah pantura gak iso renang.
Tapi teman saya ini punya keistimewaan, yakni ndak pernah bolos sekolah dan ngaji. Semenggigil apapun badannya karena demam, ia tetep sekolah. Pernah kakaknya mantenan, ia ndak mau mau pulang. Adiknya sunat, apalagi.
“Penganten yang perlu nengok saya, bawa makanan enak dan kasih uang saya 50 ribu,” begitu ia menjawab saat teman-temannya bertanya kenapa tidak pulang. Disiplin dan prinsipnya tidak lumrah.
Namun, sama seperti disiplin sekolah dan rajin pol ngajinya, mbelingnya pun juga maksimal. Dua hal yang bertolak belakang berkumpul jadi satu di dalam tempurungnya.
Kadang, mbelingnya menghibur, namun tak jarang nyebelin. Ia suka makan makananan siapa saja, meski hanya ambil dikit-dikit. Dan di kemudian hari, ia akan menggantinya. Begitu juga ia suka sembarangan memakai sarung, sarung siapa saja ia pakai tanpa permisi, meski bertanggung jawab, dengan mencuci dan menaruhnya lagi di tempatnya.
Pernah suatu hari, seisi asrama dibuat bingung, tapi juga takjub. Ia memakai sarung andalan ustaz bernama Hamid, dan kemeja koko warna putih milik Kang Akbar, kepala keamanan pondok.
Bhaaaa… Penampilannya seperti menantu kiai yang baru turun dari pelaminan dua minggu. Ia berjalan dengan jumawa di lorong asrama dan kemudian duduk di tengah-tengah serambi, seperti sedang pamer penampilan. Ustaz Hamid dan Kang Akbar memaklumi. Ustaz Hamid hanya meminta santrinya membelikan rokok dan Kang Akbar hanya meminta juniornya mijetin satu jam. Kedunya seperti minta kompensasi kepada, Dul Manan. Ya, teman saya ini bernama Dul Manan.
Suatu hari, sebelum Magrib, seisi pondok mendapat “hiburan” dari Dul Manan. Ia lari-lari muter pondok mengejar kucing dan melemparinya dengan bakiak.
Namun bakda Magrib, 15 menitan sebelum santri-santri menuju tempat ngaji masing-masing, seisi pondok membicarakan Dul Manan. Mereka berbisik-bisik tentang “hiburan” jelang Magrib itu.
Sebetulnya, kejadian kali ini tokohnya bukan Dul Manannya, tapi kucing yang dikejar-kejar itu. Pasalnya, si kucing ini milik sang kiai, dan menjadi hewan kesenangan putrinya yang baru kelas dua Aliyah: Ning Ais.
Ning Ais adalah primadona pondok, bahkan ada seorang pengurus pondok yang menilai, jika ada perlombaan Ning paling cantik sekecamatan Bendungan, maka dia akan muncul sebagai juaranya (di kecamatan ini ada 41 pondok pesantren, dua di antaranya memiliki santri di atas seribu). Namun tidak banyak santri, yang senior, berani menatap lama-lama Ning Ais ini. Sebabnya bukan takut dosa melihat lama-lama perempuan ghairu mahram, tapi lebih karena ia satu-satunya cucu perempuan yang dimiliki Kiai Razak, pengasuh utama pesantren yang umurnya sudah 76 tahun. Kiai Razak punya 21 cucu dari lima putra-putrinya, hanya satu yang perempuan, namanya Aisya (tanpa ta’ marbuthoh, pake ejaan internasional, karena bapaknya alumni Timur Tengah. Lebih kekinian katanya. Nama ini sebetulnya tafa’ulan pada eyang putrinya, Nyai Aisyah, yang pake ta’ marbuthah), dipanggil Ning Ais.
Ning Ais betul-betul disayang Kiai Razak dan istrinya, Nyai Aisyah. Ning Ais sering tampak di rumah mbahnya yang di depan masjid daripada di rumah bapaknya sendiri, Gus Anam, yang ada di ujung pesantren. Dan agar betah di rumah si mbahnya, Ning Ais dibelikan kucing Anggora yang ginuk-ginuk, untuk menjadi teman kala bosan di rumah tua. Ya, kucing inilah yang jelang Magrib tadi dikejar-kejar dan dilempari bakiak oleh Dul Manan, teman saya yang mbeling itu. (Bersambung)
Sumber: pesantren.id