Oleh: Ahmad Rofiq*
SUATU ketika, segerombolan “wabah” yang hendak masuk ke kota Damaskus bertemu dengan seorang wali Allah. “Mau kemana kalian?” tanya wali tersebut pada segerombolan wabah itu.
“Kami diperintahkan Allah untuk memasuki kota Damaskus” jawab segerombolan wabah itu.
“Berapa lama kamu akan menetap di sana? Dan berapa kira-kira jumlah korbannya”
“Kami akan menetap di sana selama dua tahun, dan korban yang meninggal dunia kurang lebih seribu orang” ucap gerombolan wabah itu.
Dua tahun pun berlalu. Wabah itu tinggal di Damaskus untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh Allah pada mereka. Namun ternyata, korban yang meninggal di Damaskus selama itu bukan seribu orang, tapi berlipat hingga sekitar 50 ribu orang.
Maka saat salah satu wali Allah itu kembali berpapasan dengan gerombolan wabah tersebut, beliau mempertanyakan kejadian itu. Bertanya setengah protes terhadap fakta itu.
“Wahai wabah! Kenapa dalam waktu dua tahun kalian memakan korban begitu banyak? Bukankah kalian dulu mengatakan korban kalian hanya seribuan orang, tapi kenapa yang menjadi korban mencapai 50 ribu orang? How is that?” tanya wali tersebut.
“Begini, kami memang diperitah Allah Swt untuk merenggut seribu korban saja. Itu memang sudah tugas kami. Sedangkan sisanya yang empat puluh sembilan ribu korban, bukanlah ulah kami. Mereka meninggal dunia karena mereka terlalu panik, begitu ketakutan dan sangat khawathir. Ketakutan, kekhawatiran dan kepanikan ekstrim itulah yang membunuh mereka. Bukan kami yang melakukannya”
“O, begitu..”
Pembaca yang saya sayangi, di manapun Anda berada. Kisah di awal tulisan ini adalah cuplikan dari kitab “Hilyatul Auliya’ wa thobaqotu al-ashfiya'” karya monumental dari Imam Abu Nuaim Al-Ashfihani. Kitab ini adalah salah satu rujukan penting bagi imam Al Ghazali saat menyusun kitab beliau yang juga legendaris “Ihya’ Ulumuddin”. Bahkan di bagian akhir kitabnya, hujjatul Islam Al Ghozali merekomendasikan pada setiap orang yang hendak menapaki jalan spiritualitas untuk sesering mungkin muthola’ah kitab karya Abu Nuaim Al-Ashfihani tersebut.
Di tengah situasi sekarang ini, waspada dan ikhtiar adalah satu keharusan. Namun merasa terlalu panik, takut dan khawatir jangan. Sebab kepanikan dan ketakutan yang berlebihan justru sangat berbahaya bagi kesehatan. Tingkat bahayanya pun melebihi bahaya yang ditimbulkan oleh satu virus yang ganas sekalipun. Tidak menutup kemungkinan kondisi terlalu panik dan takut itu justru akan menjadi sebab atau wasilah baru bagi peristiwa atau kejadian yang tidak kita inginkan.
Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran merupakan permulaan dari sebuah kesembuhan.
SISI BAIK PSEUDO-LOCK DOWN
Saya tidak berpretensi menjadi seorang ahli virus atau tukang menganalisis wabah dalam tulisan ini. Selain memang bukan pakar atau ahlinya, juga sudah terlalu banyak orang yang “ahli” atau “sok ahli” dalam dunia per-virusan atau jagat per-wabahan. Dalam tulisan ini, saya hanya mengajak Anda semua untuk mencoba meneropong fenomena “lock down” atau, katakanlah, uzlah global ini dari sisi positifnya saja. Biar nyala api optimisme kita terus berkobar dan selalu membara.
Selalu ada dua efek (two effects) dari sebuah peristiwa ataupun fenomena. Apa saja. Hal itu sebagai sebuah konsekuensi dari dua macam sisi sudut pandang (two sides point of view) yang digunakan seseorang dalam meneropongnya. Bahkan dari suatu realitas atau kejadian yang tidak mengenakkan sekalipun. Selalu ada sisi baiknya yang bisa jadi berlipat dari pada sisi buruknya. Singkatnya, satu kesulitan selalu berbarengan dengan banyak kemudahan.
Di dalam Al Qur’an, terdapat ayat yang berbunyi
فإن مع العسر يسرا، إن مع العسر يسرا
Mengapa kata kesulitan (العسر) dalam bentuk isim “ma’rifat”, sedangkan kata kemudahan (يسرا) dalam bentuk “Nakiroh”? Salah satu tafsirannya adalah “bersama satu kesulitan selalu ada banyak kemudahan”.
Misalnya kesulitannya 2, maka kemudahan yang datang bersama dua kesulitan itu pastinya lebih dari dua. Bisa empat, lima, sepuluh atau berapa saja sesuai yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Mungkin kebijakan para pimpinan kita berkaitan dengan “always stay home, pseudo-lock down, social distance atau apapun namanya” pada awalnya akan melahirkan banyak kesulitan bagi Anda semua. Tapi percayalah, merujuk pada hasil tadabbur kita pada ayat Al Qur’an di atas, akan muncul lebih banyak lagi kemudahan terhadap diri kita. Kemudahan yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding kesukaran atau kesulitan yang kita alami.
Bukankah begitu saudaraku???
* Penulis adalah founder PPV AL HIDAYAH, Pesantren Virtual Pertama di 5 Benua, pemilik Kursus/Private online baca kitab gundul, mulai nol putul grotal-gratul sampai lancar dan MANTUL.