“Saya bahkan pernah berkeliling di 4 Kabupaten/Kota, hanya berjalan kaki selama 6 bulan untuk mengetahui kondisi riil masyarakat daerah tersebut, dari sisi keberagamaan, ekonomi serta kultur masyarakatnya.”
________________________________
________________________________
GRESIK | NUGres – Kalau emas diukur dari kadar karatnya, maka manusia diukur dari kadar kemanfaatannya untuk sesama. Kredo ini tergenggam dalam kepalan spirit Kiai muda bernama lengkap Abdul Majid. Meski hanya berbekal Bismillah, ia memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman yang jauhnya ribuan kilometer dari tempatnya sekarang ini.
“Dengan harapan serta doa, semoga di tempat baru ini saya bisa menjadi orang yang mampu berkontribusi positif bagi kebaikan umat serta kemaslahatan masyarakat,” tutur Kiai Majid, demikian sapaan akrabnya ketika membeber kisah perjalanan hidupnya kepada NUGres, pada Jumat (13/1/2023).
Pemuda asal Kabupaten Tuban Jawa Timur ini, pernah nyantri selama 7 tanun di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, di Desa Suci Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik. Maka bermula dari adanya informasi tentang suatu daerah di Kepulauan Riau yang sangat membutuhkan tenaga guru mengaji, perjalanan Kiai Majid dimulai.
“Waktu itu saya pun memutuskan untuk berhijrah ke daerah tersebut, dengan semangat untuk meneladani hijrah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Serta keinginan yang menyala-nyala untuk bisa mengabdikan diri di tempat itu. Saya bulatkan tekad untuk memasuki daerah yang membutuhkan tenaga guru ngaji tersebut, yakni di Tanjunguban, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau,” lanjut pria kelahiran 20 Februari 1983 ini.
Keputusan berhijrah pada bulan Januari 2009, menjadi titik-balik perjalanan hidup putra kelima dari ayah Kiai Majid bernama Jufri. Namun jauh sebelumnya, Pak Jufri yang mengidamkan anaknya menjadi orang yang berguna dan bisa berjuang untuk agama, maka Pak Jufri pun memasukkan Kiai Majid yang masih berusia belasan itu ke Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik.
Kiai Majid mendapatkan pengajaran agama di bawah asuhan langsung KH Masbuhin Faqih. Setelah lulus dari pesantren, mulanya ia mempergunakan waktu untuk berkhidmah di Pondok Pesantren Al-Hikmah di Wajak, Malang pada tahun 2006 – 2007. Kemudian, Kiai Majid juga berkhidmah di Pondok Pesantren Al-Hadi Bojonegoro 2007 – 2008. Ketika di pesantren ini, Kiai Majid terlibat aktif dalam perintisan lembaga Pendidikan formal.
“Setelah itu saya berhijrah di Kepulauan Riau, sebagai pendatang, pada tahun-tahun awal keberadaan saya di sana saya banyak mengalami suka dan duka. Saya bahkan pernah berkeliling di 4 Kabupaten/Kota hanya berjalan kaki selama 6 bulan untuk mengetahui kondisi riil masyarakat daerah tersebut, dari sisi keberagamaan, ekonomi serta kultur masyarakatnya,” tuturnya.
Namun demi semangat untuk intisyarul ilmi (menyebarluaskan ilmu), maka pada tahun itu, dirinya bertekad mengawali perjuangan. Ia mengadakan pengajian Al-Quran di TPQ Aswaja.
“Saya juga mengajar ngaji secara privat. Ngajar ngaji dari satu rumah ke rumah lainnya. Sedangkan untuk keperluan hidup, saya berjualan kripik goreng. Terkadang saya juga menjadi tukang pijat. Keadaan seperti itu terus berlangsung, hingga pada tahun 2010,” sambungnya.
Bersama tokoh setempat, Kiai Majid merintis sebuah Pendidikan Taman Al-Quran di kampong Mentigi Tanjunguban. Lembaga itu kemudian diberikan nama; Private Moslem Study, dengan jumlah santri mencapai 80 siswa.
Kemudian, saat melihat masih minimnya pendidikan madrasah tingkat dasar di Kabupaten Bintan—dua kecamatan yang berdekatan belum ada Madrasah Ibtidaiyah (MI), maka bersama sama dengan sahabat sahabat seperjuangannya, serta dukungan dari Yayasan An-Nur, Kiai Majid turut merintis MI di Kelurahan Tanjunguban Utara Kecamatan Bintan Utara. Lembaga itu kemudian diberi nama Baitul Izzah. Selain sebagai perintis, Kiai Majid juga menjadi guru di tempat itu hingga pada tahun ke 5 berdirinya.
“Syukur Alhamdulillah, perkembangan pendidikan MI Baitul Izzah ternyata sungguh pesat. Hal itu semakin memompa semangat perjuangan kami di ranah pendidikan. Meskipun awalnya harus menghadapi tantangan yang cukup berat, namun itu saya anggap hal yang wajar dalam sebuah perjuangan. Bahkan salah satu bentuk tantangan awal yang harus kami lalui adalah bagaimana meyakinkan masyarakat setempat tentang keunggulan yang dimiliki Pendidikan Madrasah,” tutur Kiai Majid.
Dijelaskannya, MI Baitul Izzah ini semula yang awalnya hanya memiliki 12 siswa bisa semakin berkembang hingga akhirnya mencapai 180 siswa. Lalu atas dorongan serta restu dari KH Masbuhin Faqih, maka pada tahun 2013 bersama sama dengan Alumni Mambaus Sholihin, Kiai Majid ikut berpartisipasi berdirinya Pondok Pesantren Mambaus Sholihin 7 Bintan yang berada di Tanjunguban Bintan.
Tidak berhenti, semangat Kiai Majid terus menyala. Hingga pada pendirian kembali sebuah madarasah, “Alhamdulillah atas doa restu Romo KH Masbuhin Faqih pada tahun 2022 kami merintis kembali Pondok Pesantren Bustanur Rushaifah yang terletak di Ibu Kota Provinsi Kepulauan Riau yaitu Kota Tanjungpinang,”
Selain mengajar di pesantren, Kiai Majid juga melakukan dakwah dengan berkeliling ke beberapa daerah kepulauan terpencil. Ia juga bergiat di beberapa organisasi kemasyarakatan. Diantaranya sebagai Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ (PCNU) Kabupaten Bintan, Sekretaris FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kabupaten Bintan, Pengasuh Majlis Dzikir. Innama al-barakah ma`a al-harakah, hidup harus terus bergerak, di dalam pergerakan terdapat keberkahan.
Menggenggam Nasehat KH Masbuhin Faqih
“Pernah dalam salah satu kunjungan Romo Kiai Masbuhin Faqih ke Bintan, saya mendapatkan pesan dan nasihat khusus dari beliau. Waktu itu, saya memperoleh kesempatan untuk menghantar beliau hingga ke bandara Hang Nadim di pulau Batam,” lanjutnya.
Lantas sebelum berpisah, saya sampaikan pada beliau, bahwa kegiatan Peletakan batu pertama Mambaus Sholihin (MBS Bintan) diliput media massa. Mulanya saya mengira beliau akan merasa senang, sebab dalam acara itu ada pernyataan pemerintah Kepri bahwa pemerintah akan berkomitmen untuk ikut memajukan pendidikan pesantren di sana.
“Ojok pesantren tok, yo kudu luwih teko iku. Kudu mbok perhatikno ugo Ahlussunah wal jama’ah.” demikian Kiai Majid menuturkan kembali dawuh sang Guru.
Kiai Majid lekas memahami dari pesan itu, bahwa beliau sang Guru telah mengajarkan dirinya untuk berpikir dan berjuang demi kepentingan yang lebih luas. Bukan semata-mata demi pesantren, tapi demi Islam Ahlussunah wal jama’ah.
Pada awal-awal perintisan MBS Bintan di tahun 2013, Kiai Majid ditugasi Romo Kiai Masbuhin Faqih sebagai orang yang berkonsentrasi di bagian pembangunan. Hampir dua minggu sekali Romo Kiai Masbuhin Faqih bertelpon untuk memberikan motivasi, semangat dan juga doa.
“Atimu ojok gumantung karo menuso, tapi gantungno marang rohmate’ Alloh. Be’n ora gampang atimu loro lan kuciwo ne’k misale’ ora oleh bantuan songko menungso,” kata Kiai Majid, menirukan dawuh Romo Kiai Masbuhin.
Sementara itu, nasihat lain yang masih Kiai Majid ingat dari sang Guru tercintanya itu adalah bahwa dalam berjuang dan berkhidmah untuk meninggikan Islam haruslah dari ranah yang bervariasi. Tidak hanya dalam satu medan kehidupan saja. Realitanya, lapangan atau kehidupan itu bervariasi dan bermacam-macam.
Ada lapangan pendidikan, ekonomi, politik, sosial masyarakat dan sebagainya. Semua lapangan ini haruslah diikuti dan dimasuki oleh santri, agar bisa memperjuangkan kepentingan agama di bidang tersebut. Bagaimana kita bisa berjuang kalau tidak mau masuk ke dalamnya?
Semua itu beraduk dalam pikiran Kiai Majid. Sehingga ia menyentuh pergulatan politik di tempatnya kini. Maka saat 2019 silam ia ditawari terlibat menjadi kontestan Calon Legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Lagi-lagi, ia pun meminta petunjuk Romo Kiai Masbuhin Faqih.
“Saat beliau menasihati dan mendoakan saya ketika di tahun 2019 yang lalu, saya minta restu saat saya ikut maju sebagai caleg DPRD Bintan. Beliau Romo Kiai Masbuhin Faqih mendoakan dan mengatakan; Perjuangane santri pancen kudu Songko dalan macem-macem, kudu ‘min abwaabim mutafarriqoh’ (perjuangan dari berbagai jalan, dari pintu yang berbeda-beda),”
Bila saja seluruh pencapaiannya saat ini, Kiai Majid enggan dianggap sebagai orang yang berhasil sebagai mubaligh dan pendakwah.
“Karena cipratan barokah dari Romo Kiai Masbuhin Faqih. Entah melalui sentuhan nasihat-nasihat yang beliau berikan, atau bacaan doa-doa yang selalu beliau kirimkan, atau lewat keikhlasan dan ketulusan cinta yang selalu beliau curahkan pada saya, juga para santri lainnya,” pungkasnya. (Chidir)