BUNGAH | NUGres – Majelis Ya Kafi Ma’had Al-Jami’ah Universitas Qomaruddin Gresik sebagai ruang diskusi publik, dengan tagline “Ngaji Ngopi Poro Santri” menjadi muara bertemunya gagasan dan ekspresi intelektual.
Kehadiran forum yang penuh bobot ilmu ini selalu menemukan relevansi antara Pesantren dan Masyarakat ini kembali berlangsung pada Rabu, 12 Februari 2025, kemarin.
Kembali hadir dengan apik, tema dan pembahasan Majelis Ya Kafi pad edisi kedelapan ini sangat menarik, pasalnya mengangkat tema yang agak terbuka yakni “Sejarah Industri dan Kerusakan Lingkungan”. kegiatan yang juga disiarkan di secara live di akun YouTube Pondok Qomaruddin.
Para hadirin secara offline dari berbagai latar belakang antusias menyimak berlangsung diskusi di Fakultas Kopi, kantin yang terletak di lingkungan Universitas Qomaruddin Gresik.
Memberikan pengantar, Kiai Mudhoffar Usman selaku salah satu pemuka Majelis Ya Kafi menyampaikan, kalau dalam beberapa pertemuan sebelumnya mendalami warisan keilmuan yang berkembang di Pondok Sampurnan, seperti tradisi peringatan Maulid Nabi ala Sampurnan (Syaroful Anam).
Kemudian, tentang perkembangan Ilmu Falak dan tokoh-tokohnya di Sampurnan, hingga mengupas budaya Musyawarah Kitab yang dahulu menjadi kegiatan terapan para santri Sampurnan.
Namun kali ini, ungkap Kiai Mudhoffar, berdasar kesepakatan pegiat Majelis Ya Kafi mencoba merespons industri dalam prespektif keilmuan kalangan pesantren, dalam hal ini yaitu prespektif fikih.
Kiai Mudhoffar lantas menjelaskan latar belakang diskusi yang akhirnya memotret industri. Salah satunya terdorong dari keberadaan air mutaghayar di daerah pemukiman di kawasan industri.
Air mutaghayar sendiri merupakan air yang mengalami perubahan disebabkan tercampur dengan barang suci lain yang mengubah sifat-sifatnya hingga kemutlakan air tersebut hilang. Di kawasan industri, air sumur rentan terkontaminasi oleh dampak lingkungan dari industri.
“Mengapa tema ini dimulai? Pertama, muncul pertanyaan dari para siswa kami, walaupun pertanyaan itu sederhana. Yaitu, pertama, kita ini sebagai seorang Muslim, wajib melakukan salat lima waktu. Kewajiban salat lima waktu itu mudah dilaksanakan, tetapi persoalannya adalah ketika kita mau salat lima waktu, kita harus bersuci dari hadas, yaitu melakukan wudu. Terutama wudu. Pertanyaan yang muncul (dari mereka, para siswa) adalah bagaimana kalau air wudunya itu terkontaminasi oleh limbah industri? Sehingga persoalan ini muncul,” jelas Kiai Mudhoffar.
Lebih lanjut, Kiai Mudhoffar mengungkapkan bahwa pendalaman pun dilakukan setelah terjadi persoalan air sumur di kawasan industri Kabupaten Gresik yang terdampak industri hingga berubah sifatnya dan tidak dapat lagi disebut air mutlak.
Perbincangan kecil tentang air untuk bersuci ini mengarah pada kaidah fikih yang coba didalami dengan berpanduan pada kaidah-kaidah dalam ilmu fikih, antara lain: ad-dharar yuzal, al-umuru bi maqashidiha, al-yaqinu la yuzalu bi syak, al-masyaqqah tajlibut taysir, dan al-adatu muhakkamah.
Pada penghujung pengantarnya, Kiai Mudhoffar menekankan bahwa Majelis Ya Kafi dengan tema industri ini, diharapkan dapat memberi masukan bagi keluarga besar Pondok Pesantren Qomaruddin untuk belajar lebih banyak tentang industrialisasi, atau dalam bahasa terkini disebut dengan Fikih Ekologi.
Menurutnya, ini akan membutuhkan waktu yang cukup panjang, hingga pun ia merekomendasikan nanti terdapat segmen yang menghadirkan pakar Fikih juga ahli lingkungan dari skup regional maupun nasional.
Sementara itu, mengupas tema “Sejarah Industri di Kabupaten Gresik dan Krisis Lingkungan”, hadir tiga orang narasumber antara lain H. M. As’ad, S.Hum., MA. (Sejarah Industrialisasi di Gresik), Muhammad Hafidz Yusuf, ST., MT. (Manajemen Industri, Infrastruktur Industri, dan Ekologi Industri), serta Agil Muhammad, MA (Fiqh Ekologi Sampurnan, pengantar).
Dalam penelitian sejarah yang pernah dilakukan oleh H. M. As’ad, industrialisasi dan transformasi Kabupaten Gresik menjadi kota industri bukanlah sesuatu yang baru.
“Di sini (Gresik), merupakan tempat berkumpulnya para saudagar-saudagar besar, yang ramai dikunjungi karena memiliki pelabuhan-pelabuhan yang sangat strategis sebagai tempat singgah. Begitu pula ketika era selanjutnya, banyak usaha-usaha perekonomian muncul dari yang kecil hingga yang besar,” ujarnya.
Gresik, sambung As’ad, pada tahun 1890-an aktivitas industri telah berkembang pesat bahkan menarik perhatian pembesar dari Solo untuk meninjau usaha di tempat tersebut. Sebelum era industri modern, tempat-tempat pengumpulan kayu pun ada di Gresik.
“Namun, menurut sejarah, Gresik menuju arah industrialisasi dalam skala yang sangat besar, tidak hanya lokal, tetapi juga nasional, bahkan internasional itu dimulai ketika proyek-proyek pendirian pabrik semen pada tahun 1953 yang mulai dibangun dan beroperasi pada tahun 1957, meskipun rencana itu sudah ada sejak tahun 1935. Ketika Belanda datang ke Gresik, mereka melakukan penelitian-penelitian tentang kemungkinan bahan baku semen di Gresik. Hal ini juga dibukukan dalam sebuah catatan resmi Belanda tahun 1935, namun rencana ini tidak berjalan karena Perang Dunia II dan kedatangan Jepang ke Indonesia, yang membuat konsentrasi Belanda teralihkan,” terangnya.
Lebih jauh, As’ad membentangkan perkembangan industri yang terus berkembang dari era pemerintahan Soekarno, Soeharto, hingga kebijakan pembangunan Nasional dan potensi geografis di Kabupaten Gresik, yang juga disebabkan oleh padatnya lahan industri di Surabaya.
Dalam sajiannya, ia menilai bahwa selain keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari industri, dampak negatifnya juga dirasakan oleh masyarakat baik dalam hal lingkungan maupun sosial kemasyarakatan.
Selanjutnya narasumber kedua, Muhammad Hafidz Yusuf, menyampaikan bahwa dalam konteks teknik industri, seorang pengusaha harus memulai dari angka 0 dan mencapai angka 1.
“Namun, seorang industriawan atau pengusaha pasti akan mengikuti regulasi yang ada di daerah masing-masing, karena itu adalah aturan yang harus dipatuhi,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Hafidz juga memperkenalkan sejumlah kebijakan yang mengatur tatanan industri, mulai dari Perindustrian, Penataan Ruang, Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Izin Usaha Industri, Izin Lingkungan, hingga peraturan tentang penerbitan Izin Usaha dan Izin Perluasan. Dalam kesempatan ini, Hafidz juga berbagi wawasan tentang hasil riset Pengembangan Kawasan Industri di Kabupaten Gresik.
Pada gilirannya, Agil Muhammad yang mendapat kesempatan untuk menyajikan materi tentang fikih dan kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat.
Agil menyampaikan gambaran bahwa para fuqoha yang ia cerap seperti Fiqih Sosial yang dicetuskan oleh KH Sahal Mahfudh, KH Ali Yafie, hingga Fikih Peradaban PBNU, yang dalam hal ini mencerap pemikiran KH Afifuddin Muhajir.
“Ketiga-tiganya mengapa fikih sosial, fikih peradaban itu tujuan utamanya adalah fikih menjadi solusi bagi problem masyarakat. Jangan sampai fikih menjadi masalah, jadi masalah,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa para ulama-ulama dulu telah mengamalkan fikih sebagai pemaknaan sosial, bukan hanya ortodoksi berkutat pada halal, haram, wajib, sunah, dan makruh.
Agil juga menyampaikan bahwa karakteristik fikih menjadi sangat penting karena pada hakikatnya merupakan Saadatut Daroin, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
“Semua hal, perbuatan manusia, mengandung sisi masyaqqah dan maslahat yang relatif. Kita tinggal memilih yang maslahatnya lebih tinggi menurut ijtihad kita, sesuai dengan sebaik-baiknya,” sambungnya.
Ia juga meninggalkan rekomendasi bahwa Kabupaten Gresik, yang juga dikenal sebagai kota Santri, perlu memiliki ekosistem yang kuat untuk mencetak kader Fukoha. Yakni kader fikih sejati yang intensif bermusyawarah, menggelar Bahtsul Masail secara berkala, bahkan mencetak level mushohih.
“Dalam mewujudkan ini, fikih ekologi di Sampurnan perlu dua sosok, yang pertama adalah ulama yang bisa berada di level mushohih, agar diterima di dunia akademik. Kemudian peran akademisi yang membantu dalam mengartikulasikan ucapan-ucapan dari ahli fikih, ulama tadi, agar disebarkan ke dunia akademisi. Ditulis dengan bahasa yang baik, karena kecenderungan ulama itu kurang jago menulis. Kecuali dua tokoh tadi, Mbah Sahal dan Kiai Ali Yafie, yang merupakan ulama sekaligus akademisi, itu luar biasa. Yang terakhir, kita perlu menyiapkan kader fikih yang menempuh tiga pendidikan: bandongan, sorogan, dan musyawarah,” tukasnya.
Selain pemaparan ketiga narasumber tersebut, moderator diskusi yang dipandu Maghfur Munif, tampak memberikan kesempatan bagi beberapa tokoh yang hadir untuk memberikan tanggapan, dan juga beberapa pertanyaan dari peserta forum Majelis Ya Kafi Ma’had Al-Jami’ah Universitas Qomaruddin Gresik.
Editor: Chidir Amirullah