Oleh : Muchammad Toha*
Organisasi besar akan dianggap kecil bila tidak mempunyai media massa, sebaliknya organisasi kecil akan dianggap besar bila menguasai media massa, maka dalam sejarahnya hampir sebagian besar orgasisasi baik yang bercirikan keagamaan atau kebangsaan memiliki media massa dan media massa yang bisa diusahakan oleh organisasi-organisasi tersebut adalah berbentuk cetakan (tulis) karena media elektronik yang mampu menyediakan hanya negara, disamping itu masyarakat yang mampu membeli radio atau dalam masa itu disebut dengan mesin suara masih sangat terbatas sekali jumlahnya hanya golongan ekonomi kuat saja yang mampu membelinya bahkan untuk satu kecamatan saja mungkin hanya beberapa orang yang memilikinya.
Ditambah lagi kondisi waktu itu, jangankan di pelosok desa di wilayah kawedanan atau kecamatan saja belum ada aliran listrik sehingga tidak mungkin untuk memiliki radio kendatipun mempunyai dana untuk membelinya karena di jaman itu untuk menghidupkan radio dibutuhkan daya listrik, begitu juga pemancarnya yang masih rendah dan teknologinya sangat sederhana sehingga jangkauan gelombangnya sangat terbatas, belum lagi harus melintasi tingginya gunung, curamnya ngarai dan luasnya samudra raya, maka pilihan yang memungkinkan adalah melahirkan mass media cetak.
Maka pada waktu itu banyak koran atau surat kabar yang bermunculan, kalangan nasionalis melahirkan koran Suluh Marhaen, Sarekat Islam menerbitkan koran Sinar Jawa, Medan Priyayi, Fajar Asia, NU mencetak koran Duta Masyarakat, sedangkan Koran komunitas Tionghoa adalah Sin Po, kendatipun Koran adalah mass media yang paling efektif dan maju pada masa itu, tapi yang terjadi untuk ukuran sekarang adalah berita yang sampai pada pembacanya tergolong basi, karena percetakan di daerah pada waktu itu belum dikenal, sehingga semua redaktur dan percetakannya di pusat ibu kota sedangkan transportasi untuk pendistribusiannya sangat terbatas, apalagi untuk wilayah luar Jawa pasti baru beberapa hari koran sampai ke tangan pembaca, ditambah lagi masih besarnya jumpa buta aksara di Nusantara sehingga koran masih menjadi konsumsi para elit cerdik cendekia.
Perkembangan kemajuan mass media berikutnya setelah koran adalah radio, pada awalnya di Nusantara radio hanya menjadi sarana propaganda pemerintah penjajah saja, baik Belanda maupun Jepang, kendatipun pada jaman itu radio merupakan lembaga penyiaran swasta tapi kebutuhan anggarannya disubsidi oleh pemerintah penjajah, salah satunya adalah radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchappyj) yang mengawali siarannya tahun 1934 seiring dengan itu kemudian diikuti berdirinya beberapa radio yang lain di beberapa kota besar di Nusantara termasuk Surabaya.
Selanjutnya radio terus berkembang hingga ke pelosok desa, lereng gunung dan daerah terpencil terutama ketika muncul baterai atau accu (aki) sebagai pengganti daya listrik maka radio semakin tersebar luas di masyarakat, aneka informasi maupun hiburan bisa sampai dengan efektif, gamblang, gampang, mudah dan murah, namun salah satu kendala yang muncul adalah tidak semua masyarakat pada waktu itu benar-benar paham Bahasa Melayu, maka pada segmen tertentu program radio menggunakan bahasa lokal atau bahasa etnis.
Berikutnya kesadaran untuk memiliki alat mass media elektronik yang dapat digunakan untuk syiar dakwah, informasi serta menyapa dan membina umatnya yang cukup besar, masyarakat NU Gresik terus berpikir keras dan akhirnya oleh kalangan anak-anak muda NU Gresik yang mendapat restu, bimbingan para alim ulama mendirikan radio yang cukup terkenal pada waktu itu yakni sekitar tahun 1960 an dengan nama radio Mahkota dan radio Buana.
Radio Mahkota, tempat penyiarannya sekaligus antene (studio) berada dibelakang Masjid Jamik Kabupaten Gresik Jl. KH. Wahid Hasjim sebelah barat, tepatnya di rumah Yek Amat (Syayyid Ahmad) termasuk wilayah Kelurahan Pekauman Kecamatan Gresik, sedangkan radio Buana studionya berada di lantai atas SMINU atau Sekolah Muallimat NU Kalitutup yang didirikan tokoh-tokoh NU Sukodono dan sekitarnya, salah satunya KH. Achmad Zaini Sa’dan yang terletak di Jl. KH. Hasjim Asj’ari termasuk wilayah Kelurahan Sukodono Kecamatan Gresik.
Selain radio Mahkota dan Buana pada tahun itu juga ada radio TMC yang terletak di Kelurahan Kemuteran, tidak tahu dari akronim apa TMC itu, ada juga Radio Radex (Radio experiment) yang didirikan anak-anak dan guru SMA Negeri Gresik yang studionya di Kampung Kemasan Kecamaan Gresik, serta radio Elbayu di Jl. Setiabudi Pecinan Kecamatan Gresik, namun yang dikenal radio NU hanya dua tadi, radio Mahkota identik dengan corong NU yang menyuarakan berbagai aktifitas kegiatan ibadah di Masjid Jamik Gresik dengan tokoh utama KH. Achmad Danyalin atau masyarakat Gresik lebih akrab memanggil Yai Yalin, rumahnya di gang kauman sisi kiri Masjid yang mengisi pengajian rutin setelah subuh pada waktu itu, dan kiai yang pernah lumayan lama menjabat rais syuriah PCNU Gresik ini merupakan kiai paling populer di Gresik pada jamannya.
Sehingga walaupun sama-sama radio NU namun cukup bisa dibedakan diantara keduanya. Radio Mahkota sangat didominasi acara pengajian atau acara keagamaan serta pengumuman atau informasi-informasi keagamaan khususnya berbagai kegiatan NU Gresik, seperti solawatan, terbangan dan khutbah jumat.
Sedangkan radio Buana sesuai namanya Buana artinya jagad ini menunjukkan lambang NU yaitu bola dunia (jagad), manajemen dan pengsisi acara di radio ini adalah anak-anak muda NU dari IPNU/IPPNU, Fatayat maupun Ansor sehingga radio ini paling digandrungi anak muda di Gresik utamanya kalangan NU.
Kalau program acara radio Mahkota didominasi pengajian, beda dengan radio Buana yang hampir sebagaian besar programnya diisi lantunan musik meskipun juga tetap ada siaran pengajian, adapun pilihan warna musik yang diudarakan lebih berwarna gambus, qosidah, samroh atau bentuk musik Islami lainnya. Bahkan pada masa kejayaan radio Buana ini di Gresik ada grup musik berwarna gambus bernama Suara Putra yang mengisi lagu-lagu dalam acara pilihan pendengar dan salah satu penyiarnya adalah Ma’ad Mujtahid aktifis Ansor Cabang Gresik.
Lagu lagu yang diudarakan selain orkes Suara Putra, grup musik asli Gresik termasuk semua personelnya, juga lagu karya Mashabi, A. Kadir dengan Sinar Kumala (Kemala) tidak pernah absen diperdengarkan, sedangkan lagu-lagu qosidah yang biasanya dilantunkan adalah suara Rofiqoh Darto Wahab Qoriah Harlah NU ke-40 tahun 1966 di Senayan Jakarta dan Qoriah pada acara Isra’ Mi’raj tahun 1966 dan 1967 di Istana Merdeka, dengan lagu hitsnya Hamawi Ya Mismis serta Ya Asmar Latin Tsani, selain itu juga lagu yang dinyanyikan Ummu Kulsum dari Mesir.
Karena pada waktu itu belum ada alat komunikasi seperti sekarang ini maka bagi para penggemar dan pendengar lagu biasanya datang sendiri dan menulis surat yang berisi kirim salam dan meminta lagu secara langsung ke studio siaran, kemudian dibacakan oleh penyiar radio, inilah model membangun keakraban dan persahabatan pada waktu itu, bahkan tidak jarang penggemar datang dengan sukarela membawa jajanan atau kudapan yang ada pada waktu itu, seperti nogosari, godo gedang, godo tempe, limping-limpung untuk dimakan bersama-sama sembari membahas NU dengan berbagai kegiatannya, sehingga studio radio ini bukan saja sebagai stasiun siaran saja tapi lebih dari itu menjadi semacam markas diskusi bagi kebesaran NU di Gresik khususnya.
Kejayaan radio milik masyarakat NU di Gresik mulai redup sekitar tahun 1970 an, tepatnya ketika lahirnya peraturan pemerintah yang mengharuskan radio berbadan hukum dan memenuhi persyaratan yang tidak mudah dipenuhi terutama radio yang didirikan oleh masyarakat dan dikembangkan secara sukarela tanpa gaji dan iuran apapun, maka radio Mahkota, Buana serta radio lainnya terpaksa harus berhenti mengudara dan satu satunya yang bertahan tetap mengudara sampai hari ini adalah radio Elbayu yang sekarang studionya di Jl. AKS Tubun Kecamatan Gresik.
Pernah juga penulis dengar sendiri dari salah seorang aktifis NU Gresik yang cukup tahu tentang pendirian radio NU dan perkembangannya, bahwa saat diperlakukan peraturan pemerintah tentang badan hukum, maka bagi radio yang didirikan secara sekarela oleh masyarakat NU di Gresik sangat susah untuk memenuhi persyaratannya serta memerlukan banyak dana dan itu sudah diprediksi oleh penguasa pada waktu itu serta itulah harapan sesungguhnya penguasa, sehingga radio NU Gresik tidak bisa mengudara lagi, karena radio NU Gresik ini merupakan salah satu mass media yang cukup efektif untuk melakukan propaganda maupun kampanye bagi kekuatan partai politik non pemerintah yang dikemas melalui acara pengajian dan ceramah-ceramahnya, mengingat pada waktu itu NU bukan saja sebagai organisasi keagamaan tapi juga sebagai partai politik, sehingga masih menurut narasumber yang menerangkan pada penulis waktu itu, penutupan radio NU Gresik oleh penguasa tidak lepas karena masalah politik.
*Penulis tinggal di Gresik dan kebetulan ditugaskan sebagai Kepala Balai Diklat Keagamaan Surabaya