Oleh: Ahmad Rofiq*
Orang-orang Yahudi terpecah menjadi banyak sekte dan kelompok. Kelompok atau sekte tersebut berselisih khususnya yang berkaitan dengan kitab suci mereka. Salah satu penyebab dari perpecahan itu adalah banyaknya versi taurat yang menjadi kitab suci mereka.
Ada lima macam kitab di dalam Taurat. Kelima kitab dalam Taurat itu adalah kitab kejadian yang dalam bahasa Latin disebut “Genesis”, kitab keluaran yang dalam bahasa Latin disebut “Exodus”, kitab Imamat yang dalam bahasa Latin disebut
“Leviticus”, kitab bilangan yang dalam bahasa Latin disebut “Numerii”, dan juga kitab Ulangan yang dalam bahasa Latin disebut “Deuteromonium”. Nama lain bagi kumpulan kitab suci ini adalah “Lima Kitab Musa”, “Taurat Musa”, atau “Pentateukh” atau Septuaginta kalau dalam bahasa Yunani.
Kenyataan seperti itu juga dialami orang-orang Nasrani berkaitan dengan kitab suci mereka, yaitu Injil. Kata ‘injil’ umumnya diartikan sebagai rekaman tertulis akan perkataan dan perbuatan Yesus. Asal katanya dari bahasa Yunani, ‘euaggelion’, atau dalam bahasa Latin ‘Evangelium‘, yang artinya adalah “Kabar Gembira”.
Kisah yang dituliskan di sana adalah kisah yang berhubungan dengan kehidupan Kristus. Menurut New Advent Catholic Encyclopedia, terdapat sekitar 50-an karya-karya tulis di abad- abad awal yang menulis tentang Pribadi dan karya Kristus, dan ada 20 karya yang disebut ‘injil’. Meskipun hanya ada empat kitab Injil yang disebut Injil kanonik, artinya dinyatakan oleh Gereja sebagai Injil yang ditulis atas ilham Roh Kudus, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas dan Injil Yohanes.
Adapun selain keempat Injil tersebut, masih ada puluhan Injil lainnya, misalnya injil Petrus, Injil menurut jemaat Mesir, Injil Matias, Injil Filipus, Injil Tomas, Injil Yakobus, Injil Nicodemus (Acta Pilati), Injil Keduabelas Rasul, Injil Basilides,. Injil Valentinus, Injil Marcion, Injil Hawa, Injil Yudas, Injil Teleioseos, Injil Maria Magdalena, dan masih banyak yang lainnya.
Namun dari puluhan Injil ini hanya empat yang diakui oleh Gereja sebagai Injil yang ‘diilhami oleh Roh Kudus’, yaitu Injil Matius, Markus, Lukas, dan Injil Yohanes.
Keempat Injil tersebut ditulis sendiri oleh rasul Kristus (Matius dan Yohanes) atau oleh murid rasul Kristus (Markus, murid Rasul Petrus dan Lukas, murid Rasul Paulus). Keempat Injil tersebut: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes ini ditetapkan sebagai Injil Kanonik/ termasuk dalam Kanon Kitab Suci Perjanjian Baru, pertama- tama oleh Paus Damasus I (382) dan kemudian diteguhkan oleh Konsili Hippo (393) dan Carthage (397) dan konsili- konsili berikutnya
Tidak menutup kemungkinan kitab suci Al Qur’an akan mengalami hal yang sama andai saja Utsman bin Affan r.a tidak melakukan standarisasi atau penyeragaman bacaan. Perbedaan yang pastinya menimbulkan makna yang berbeda. Sehingga berkat jasa Khalifah ketiga yang punya julukan Dzun Nuroin itulah, sampai saat ini Al Qur’an tetap terjaga. Dalam arti tidak terpecah menjadi versi yang bermacam-macam dalam hal bacaan.
Dipandang dari sisi ini, Utsman bin Affan r.a adalah Khalifah yang sukses gemilang. Memang, dari segi politik banyak penulis sejarah yang menganggap beliau adalah Khalifah yang kurang berhasil. Dengan indikasi banyaknya pemberontakan dan orang-orang yang ingin menggulingkan beliau. Asumsi tersebut hanya didasarkan pada satu aspek saja, yaitu aspek politik dan pemerintahan.
Yang perlu diketahui, khususnya bagi para penulis sejarah Islam yang menganggap bahwa pemerintahan Ustman bin Affan r.a adalah pemerintahan yang kurang berhasil, bahwa beliau sadar betul akan realitas tersebut. Utsman bin Affan sadar bahwa pemerintahan yang beliau pimpin sedang carut marut. Namun beliau tidak begitu menghiraukannya, sebab konsentrasi beliau terfokus pada upaya standarisasi Al Qur’an. Bagi Utsman bin Affan, pemerintahan terpuruk dan hancur tak mengapa, itu masalah kecil. Tapi kalau umat Islam terpecah belah lalu hancur akibat banyaknya versi Al Qur’an yang beredar, itu baru masalah besar.
Awalnya, Utsman bin Affan menerima laporan dari Hudzaifah al-Yamani terkait adanya perselisihan antara umat Islam tentang Al-Qur’an. Khalifah Utsman menanggapi dan merespon laporan itu dengan baik. Beliau tidak sekedar memperlakukan laporan tersebut sebagai sebuah aspirasi yang harus ditampung, tapi beliau langsung menindaklanjuti laporan tersebut untuk kemudian melakukan eksekusi. Beliau bermusyawarah dengan beberapa orang sahabat di Madinah. Kemudian mereka sepakat untuk menyatukan bacaan Al-Qur’an dengan membuat Mushaf agar bacaan Al-Qur’an sama di seluruh dunia. Agar umat Islam tidak sampai mengalami apa yang menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani berkaitan dengan kitab suci mereka.
Sejak menerima laporan Hudzaifah itulah Utsman bin Affan mencurahkan perhatiannya untuk merealisasikan penyatuan bacaan Al Qur’an. Sehingga persoalan-persoalan pemerintahan relatif terbengkalai. Namun yang perlu dicatat, Utsman bin Affan sadar betul dengan hal itu. Bagi Utsman bin Affan, pemerintahan terbengkalai, atau bahkan runtuh sekalipun itu soal sepele’. Tapi jika Al Qur’an tidak diseragamkan, maka akan muncul banyak sekali model bacaan yang hal itu akan menjadi pemicu perpecahan dan kehancuran umat Islam.
Khalifah Utsman langsung membentuk satu tim ahli untuk melaksanakan tugas penulisan Al-Qur’an. Tim ahli tersebut adalah Zaid bin Tsabit dari Anshar, kemudian dari Quraisy, ada Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Keempat sahabat ini adalah orang-orang yang berilmu dan teliti.
Setelah membentuk tim, Utsman bin Affan mengutus seseorang kepada Ummul Mukminin Hafshah binti Umar bin Khathab untuk meminta sebuah mushaf Al-Qur’an yang dibukukan di zaman Abu Bakar. Tim penulis lalu menjadikan mushaf tersebut sebagai acuan dalam menjalankan tugas mereka. Kemudian mereka menulis ulang berdasarkan perintah Utsman. Dalam pengerjaan tersebut, mereka diawasi langsung oleh Utsman bin Affan. Jadi Khalifah Utsman sendirilah yang mengawasi proses kodifikasi Al-Qur’an ini. Beliau tidak mendelegasikan pada orang lain. Satu bukti bahwa beliau fokus dan benar-benar memprioritaskan kodifikasi Al Qur’an tersebut
Utsman berkata pada tim panitia, “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit dalam hal apapun pada Alquran, maka tulislah dengan lisan Quraisy. Kerena Alquran diturunkan dengan lisan Quraisy.”
Lalu saat para sahabat di Madinah datang dan mengawasi proses kodifikasi, Zuhri mengatakan, “Mereka berbeda pendapat dalam At Taabuut atau At Taabuuh. Para penulis Quraisy berpendapat At Taabuut, sedangakan Zaid memilih At Taabuuh. Perbedaan ini sampai pada Utsman. Lalu Utsman memerintahkan, “Tulislah At Taabuut. Karena ia turun dengan lisan Quraisy.”
Orang-orang yang memiliki catatan langsung dari Rasulullah sallallhu alaihi wasallam mendatangi tim tersebut dan mengujinya dengan pedoman mushaf dari zaman Abu Bakar.
Setelah selesai Mushaf Utsmani ditulis, Zaid bin Tsabit membacanya berkali-kali sebelum mushaf itu disalin. Khalifah Utsmani juga ikut mengoreksi dan membacanya untuk memperkuat validitas mushaf induk tersebut. Agaknya Khalifah Utsmani bin Affan benar-benar konsentrasi total dalam pekerjaan besar ini sehingga beliau tidak begitu peduli dengan kondisi pemerintahan. Hingga timbul banyak pemberontakan. Maka keliru besar orang yang mengatakan atau menulis bahwa sayyidina Utsman bin Affan adalah Khalifah yang kurang cakap memimpin sampai-sampai banyak pemberontakan. Yang lebih tepat, konsentrasi beliau terfokus pada pekerjaan standarisasi bacaan Al Qur’an dan itulah yang menjadi prioritas utama selama beliau menjadi Khalifah.
Setelah Mushaf Utsmani selesai dibuat, Utsman bin Affan memerintahkan tim untuk membuat salinan. Pada saat itu belum ada mesin cetak ataupun fotocopy. Sehingga pastinya proses penyalinan itu butuh waktu lama dan juga ketelitian ekstra. Setelah rampung, Utsman bin Affan mengirim beberapa salinan dari mushaf induk ke wilayah-wilayah dalam kekuasaannya. Ada lima mushaf yang ditulis Utsman bin Affan yang kemudian dikirim ke Makkah, Madinah, Kufah, Syam, dan satu lagi dipegang oleh Utsman bin Affan sendiri.
Setiap mushaf yang dikirim disertai dengan pengajar yang mengajarkan kaum muslimin cara membacanya. Bacaan yang berdasarkan hadits-hadits shahih dan mutawir. Abdullah bin Sa’ib mengajarkan mushaf yang dikirim ke Mekkah, Mughirah bin Syiab mengajar di Syam, Abu Abdurrahman Sulami di Kufah, Amir bi Qash di Bashrah, Zaid bin Tsabit di Madinah.
Kemudian Utsman bin Affan mengeluarkan satu kebijakan yang brilian. Kebijakan yang pengaruh dan hasilnya kita rasakan sampai saat ini. Beliau memerintahkan agar mushaf yang berbeda dihilangkan dengan cara dibakar atau dicuci dengan air sampai tintanya hilang. Hal ini bertujuan agar kaum muslimin bersatu dalam satu mushaf. Tidak berbeda dan terpecah belah berkaitan dengan kitab suci mereka.
Akhirnya, sampai saat ini dan mungkin sampai nanti hari kiamat, Al Qur’an di seluruh dunia sama. Al Qur’an yang ada di irian jaya sama persis dengan Al Qur’an yang ada di new York, Rusia, Cina Makkah maupun di belahan dunia lainnya. Dan semua itu adalah jasa serta warisan sayyidina Utsman bin Affan r.a. saat menjadi Khalifah ketiga.
Wallahu ‘alam bisshowab