Tentu Saja Bisa Asal Bisa
Oleh Nur Fakih*
Kapan lagi NU Gresik bangkit, kalau tidak dimulai sekarang. Sudah hampir satu abad cap kaum sarungan, berteklek, bersurban, hidup terbelakang, berekonomi lemah, tertinggal di landasan, tukang dorong mobil, tukang cuci piring, dan label-label tidak menguntungkan lainnya disematkan pada kaum nahdliyiin.
Gelar-gelar yang mencitrakan organisasi kebangkitan ulama ini dihembuskan terus menerus, sepertinya ada upaya pengawetan trademark, padahal faktanya tidaklah demikian. Kaum santri sekarang sudah banyak yang berjas, berdasi, bercelana panjang kadang bersarung dan bersepatu dan kadang juga bersandal kulit. Warga nahdliyin juga sudah banyak yang tajir, berotak barat tetapi hati tetap santri.
Ketika dilabelisasi sebagai organisasi kolot, konservatif tradisional, belum bisa disikapi sebagaimana orang Jepang memanfaatkan kehancurannya sebagai pendobrak kebangkitannya. Keterpurukan Jepang di segala bidang justru bangkit di segala bidang. Andai saja, kita bisa menjadikan laqob-laqob yang meminggirkan posisi NU itu sebagai pengungkit, maka kita tidak akan menemukan wajah NU seperti sekarang ini; wajah yang tetap mempertahankan tradisi lama yang masih baik dan mengambil tradisi-tradisi baru yang lebih baik.
Memang tidak bisa dijadikan ukuran standar jika melihat gedung PCNU, Gresik divonis sebagai organisasi yang kurang diurus. Pengurus NU bukannya tidak bisa membangun kantor semegah ormas keislaman lainnya dan bukannya tidak bisa memiliki gedung pendidikan yang berdiri gagah menjulang tinggi ke langit Gresik. Tetapi ini semua, bisa disebabkan banyaknya momentum bagus yang dibiarkan berlalu, atau hanya karena warga NU sering mendahulukan kepentingan ormas lain dari pada dirinya sendiri. Dan mungkin karena kebesarannya, justru yang membuat dirinya lambat berjalan.
Pada era kempemimpinan KH Mahfudz Ma’sum-KH Mulyadi yang terpilih dalam Konfercab NU sebagai Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah PC NU Gresik, diwarisi modal besar yang sampai saat belum dimaksimalkan peran dan fungsinya. Pengurus baru berkewajiban menghidupkan kembali lini-lini organisasi yang mati suri.
Meski tidak bisa sepenuhnya meninggalkan cara berorganisasi warisan salafussholeh, tetapi menerapkan menejemen organisasi yang transparan, profesional dan akuntabel adalah keniscayaan agar organisasi ini berjalan on the track. Bagi pengurus PC NU Gresik untuk mewujudkannya tidaklah terlalu sulit, karena sudah memiliki kader-kader yang lebih berkualitas, lebih kompeten dan lebih kuat komitmen ke-NU-annya. Pola pikir generasi NU Gresik akademik, ilmiah, obyektif dan dalam menjalankan program kerjanya selalu terukur.
Maka tidak perlu dipertanyakan, jika kader-kader NU banyak menjelajahi beragam profesi, menjadi aktivis pergerakan dengan jaringan kerjanya yang kolaboratif. Dalam program pendampingan, pemerintah merekrut tenaga-tenaga terbaik NU untuk menjadi penggerak masyarakat desa. Dengan memanfaatkan tenaga-tenaga potensial, pengurus PCNU Gresik didorongkan agar semangat annahdliyah dihidupkan kembali.
Mengapa demikian? Hal ini sebagai jawaban untuk menghadapi era digital yang dengan cepatnya membentuk peradaban baru. Lihat saja, saat ini budaya tidak lagi disekat-sekat secara geografis; desa-kota. Prilaku masyarakat agraris di Gresik mulai bergeser menuju masyarakat indsutri. Pusat-pusat pertumbuhan sudah bertumpu di desa. Gresik Selatan dan Gresik Utara sudah tidak perlu didikotomikan. Masyarakat Gresik dari sudut budaya mulai bergerak mendatar dan dilipat dalam kepentingan bersama.
Perubahan di Gresik ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Kiai Fudz-Kiai Mul untuk memface-off wajah NU yang lebih fresh dan tampil dengan program kerja yang difrensial yang kelak diharapkan bisa menebar kerahmatan untuk masyarakat Gresik seluruhnya, terkhusus bagi warga nahdliyiin. Apa bisa? Tentu saja bisa asal bisa. Bisa apa? ***
Pernah di kala komunitas generasi Nahdatul Ulama pewaris bangsa ini dibentuk dan dirancang membangkitkan mutu Pendidikan Agama Islam mencerdaskan anak didik bangsa melalui kumpulan kecerdasan melalui komunikasi website kami