Napak Tilas Jejak Perjuangan Kiai Gresik
Identitas karya
Judul : Jejak Perjuangan Kiai Gresik
Penulis : Muhammad Hasyim dan Ahmad Athoillah
ISBN : 978-602-18884-5-7
Cetakan Pertama : November 2021
Penyunting : Rizal Mubit
Desain Sampul : Azen
Desain Isi : Rizal Mubit
Diterbitkan oleh : LTN NU GRESIK Jl. DR. Wahidin Sudiro Husodo No.756, Dahanrejo, Kec. Kebomas Gresik
Synopsis
Buku ini menyajikan kisah hidup dan perjuangan beberapa kiai dari kota Gresik. Ada belasan kiai dan semuanya sudah menyandang gelar al-maghfurlah. Masing-masing kiai memiliki ciri khas yang unik, yang membedakan satu dengan yang lain. Masing-masing tokoh memiliki bidang keahlian dan kompetensi yang beragam, serta berasal dari latar belakang dan lintasan zaman yang berbeda. Namun ada sebuah benang merah yang mempertautkan mereka: berjuang menegakkan agama Allah Swt.
Melalui buku ini penulis berupaya menghidupkan kembali para pejuang agama Islam yang berkiprah di wilayah Gresik. Kita tahu, Kota Gresik sejak dahulu kala merupakan Bandar penting yang menjadi tempat persinggahan orang-orang dari mancanegara. Hal itu, secara langsung maupun tidak, memberikan dampak yang signifikan terhadap karakteristik dan gaya hidup masyarakatnya. Sampai tataran tertentu, dapat dikatakan, Gresik merupakan barometer pencapaian dakwah bagi wilayah-wilayah di sekitarnya.
Dahulu kala Sunan Giri membangun Giri Kedaton dan menjadikan Gresik sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Jawa Timur dan pulau-pulau di sekitarnya. Sebagai seorang penguasa Beliau tidak serta merta melakukan tindakan represif untuk mengubah kayakinan dan prilaku masyarakat. Dari para sejarawan kita tahu bahwa Sunan Giri berdakwah dengan menggunakan pendekatan keilmuan dan kultural. Beliau mendirikan lembaga pendidikan, yang pada masa kini dikenal dengan sebutan pondok pesantren, sebagai basis penyiapan kader dakwah. Selain itu, Beliau menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat melalui jalur kebudayaan, di antaranya dengan menggubah tembang-tembang dolanan dan menyusun ulang tradisi-tradisi yang sudah tertanam kuat di masyarakat.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam buku ini juga menggunakan pendekatan dakwah yang kurang lebih serupa. Hampir seluruhnya merupakan pendiri atau penerus sebuah pondok pesantren. Kita tahu, Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua, yang mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia (indigenous). Bahkan, dalam prediksi Nurcholis Madjid, seandainya Indonesia tidak pernah dijajah oleh bangsa asing, maka pondok pesantren memiliki peluang besar untuk menjadi basis utama sistem pendidikan di Indonesia. Prediksi tersebut ia dasarkan pada kecenderungan yang terjadi di Barat, di mana basis utama pendidikan mereka kebanyakan berakar dari lembaga-lembaga keagamaan.
Membangun pondok pesantren dapat dikatakan sebagai pilihan paling logis untuk membangun sebuah peradaban Islam yang ideal. Bukti kongkrit yang tidak mungkin dapat dielakkan sebagai buah perjuangan tokoh-tokoh dalam buku ini, di antaranya, adalah munculnya predikasi Gresik sebagai salah satu kota santri di Indonesia. Sampai hari ini tradisi santri masih begitu kuat mengakar dalam pri kehidupan masyarakat Gresik. Hal itu merupakan pencapaian besar, mengingat Gresik dikenal juga sebagai kawasan Industri, di mana orang-orang dari berbagaimacam latar belakang sosial saling berinteraksi dan bertukar nilai.
Dalam buku ini setidaknya ada tiga tokoh yang bukan merupakan pengasuh Pondok Pesantren, yaitu Habib Abu Bakar Assegaf, Kh. Umar Burhan dan Kiai Ahyad Mengare. Hal itu tidak dengan sendirinya mengurangi kadar ketokohan mereka. Kita tahu, Habib Abu Bakar Assegaf, yang haul-nya selalu diperingati dan menjadikan alun-alun dan masjid agung gresik sebagai lautan manusia, telah mengembangkan spectrum pondok pesantren secara lebih luas lagi. Jamaah majlis taklim beliau tersebar luas melintasi batas-batas social dan geografis.
Sedangkan Kiai Umar Burhan dan Kiai Ahyad Mengare adalah tokoh-tokoh yang melekat dalam dirinya predikasi sebagai pejuang Jamíyah Nahdlatul Ulama. Sampai kapanpun kita akan terus mengenang Kiai Umar Burhan sebagai dokumentator legendaris yang pernah dimiliki oleh Nahdlatul Ulama. Sementara itu maju dan berkembangnya ajaran Islam ala ahlussunah wal Jamaáh di wilayah Mengare dan sekitarnya tidak bisa dilepaskan dari peran Kiai Ahyad. Beliau adalah salah satu murid kinasih Hadratussyaikh Kh. Hasyim Asyaári. Bahkan dalam salah satu pernyataannya Mbah Hasyim menegaskan posisi keulamaan Kiai Ahyad bagi warga Nahdlatul Ulama.
Para tokoh dalam buku ini digambarkan memiliki hubungan “spesial” dengan Sang Pencipta. Kedekatan hubungan tersebut pada beberapa tokoh dihadirkan oleh penulis dalam kontruksi dunia adi kodrati, yang melampaui nalar kebanyakan orang. Barangkali memang sudah menjadi kebiasaan, yang terbawa dari tradisi lisan nusantara, bahwa penceritaan tentang seorang tokoh harus pula menyertakan hal-hal di luar kelaziman yang ada pada dirinya. Penulis tampaknya masih terpaku pada hal itu, sehingga dalam beberapa kisah unsur karomah itu menjadi sesuatu yang dominan.
Dalam deskripsinya penulis lebih banyak menggunakan pendekatan sastrawi, di mana adegan demi adegan digambarkan dengan cukup detail dan manusiawi. Sehingga, pada tataran tertentu sosok-sosok yang dihadirkan dalam buku ini seolah hidup kembali di tengah-tengah kita. Meskipun begitu tentu masih terdapat lubang di sana-sini, terutama dalam hal kelengkapan data. Penelusuran lebih lanjut harus dilakukan untuk melengkapi kekurangan tersebut.
Terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini hadir untuk melengkapi khazanah pengetahuan kita tentang tokoh-tokoh pejuang Islam di Nusantara. Dengan membaca buku ini anda akan merasakan pengalaman luar biasa, di mana anda dapat menapaktilasi jejak langkah dan perjuangan para ulama dalam membangun peradaban Islam di Kota Gresik tanpa seincipun beranjak dari ruang baca anda. Salam.