Perbincangan tentang pemilihan ketua tanfidziyah Pengurus Cabang NU Gresik ramai diperbincangkan, beberapa ide muncul untuk mendapatkan ketua tanfidziyah yang berkualitas, ada yang mendasarkan pada kemampuan dalam menguasai ilmu agama khas NU seperti bisa membaca kitab kuning serta paham tentang amaliah dan tradisi NU. Ada juga yang menghendaki agar ketua PC NU mendatang harus mempertimbangkan kewilayahan, misalnya kalau rois berasal dari wilayah utara maka ketua dari wilayah selatan. Sedangkan yang lain mengajukan pendapat bahwa calon ketua PCNU idealnya memiliki lembaga pendidikan khas NU atau pondok pesantren. Adalagi yang berkeinginan calon ketua PCNU harus memiliki pengalaman aktif dalam organisasi dibawah naungan atau yang mempunyai hubungan sejarah dengan NU dan tidak terkontaminasi dengan faham atau ideologi yang berseberangan dengan NU.
Uniknya riuh wacana pemilihan PCNU Gresik berada pada tataran ketua tanfidziyah padahal dalam sejarah biasanya yang cukup sakral dalam pemilihan adalah untuk jabatan rais, contohnya, begitu kharismanya jabatan rois ini sehingga pada waktu itu masyarakat nusantara melihat NU tidak lain adalah figur Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari sehingga tidak banyak khalayak tahu siapa sosok H. Hasan Gipo ketua tanfidziyah HB NU pertama yang berasal dari Surabaya ini.
Begitu ta’dhimnya ulama di Nusantara khususnya dari kalangan NU sehingga jabatan rais am (rais akbar) selalu dipangku Mbah Hasyim hingga akhir hayatnya, setelah itu dilanjutkan KH. Wahab Chasbullah dan ketika itu tidak ada perbincangan untuk rais am selama Mbah Wahab masih sehat dan masih kuat untuk memangku jabatan ini, hal yang sama juga pada KH. Bisri Syamsuri yang memangku jabatan rais am hingga akhir hayatnya, begitu kharismanya para muassis Jam’iyyah NU sehingga sangat tabu dan tidak pantas untuk memperbincangkan jabatan rais am pada waktu itu, dan pasca ketiga rais am ini, setiap pemilihan rais am berikutnya mengalami kesulitan karena kiyai yang dianggap mampu dan dipilih muktamirin untuk memangku jabatan ini selalu tidak berkenan dengan alasan tidak pantas dan sebagainya.
Namun cukup beralasan jika riuh pembahasan pemilihan PCNU Gresik berada di seputar ketua tanfidziyah karena bukan saja umumnya ketua tanfidziyah umumnya usianya relatif muda sehingga lebih dinamis sehingga cukup pantas bila harus melakukan akrobat politik walaupun NU bukan organisasi politik karena masih banyak masyarakat yang memandang kurang elok seorang kiyai yang memangku jabatan rois syuriah mondar mandir keluar masuk kantor penguasa dan yang pantas melakukan itu adalah jajaran pelaksana (tanfidziyah), sebaliknya rais syuriah pantasnya disowani oleh penguasa, selain itu tidak pantas rais syuriah berbicara dengan penguasa dan politisi secara sharih dan vulgar membahas tentang jabatan dan pendapatan, meskipun seharusnya itu memang harus dibahas tuntas karena eksistensi NU di Gresik cukup nyata dan harus menjadi pertimbangan utama.
Terlepas itu semua intinya kehadiran ketua PCNU seyogyanya bisa melaksanakan tugas-tugas yang diberikan rais syuriah khususnya yang berhubungan dengan urusan administrasi, tata organisasi serta sistem koordinasi internal dan eksternal dalam membangun gerak organisasi NU yang sangat besar, pentingnya hal ini karena NU tergolong organisasi yang kreatif dalam mewujudkan ide tapi lemah dalam menjaga dan mengamankan ide tersebut, sebagai contoh, NU Gresik adalah organisasi keagamaan pertama yang berhasil mendirikan Balai kesehatan untuk masyarakat umum yang awalnya berada di Jalan Pahlawan sisi timur dekat alun-alun Kabupaten Gresik dan konon katanya tempat itu dipinjami oleh tokoh aghniya NU Gresik, dalam perkembangannya balai kesehatan itu berubah menjadi Balai Kesehatan Ibu dan Anak dan kemudian secara de facto PCNU cukup dibanggakan masyarakat karena telah memiliki rumah sakit yang kala itu belum ada pihak swasta di Gresik yang mampu membangun rumah sakit semewah dan seindah milik NU, namun dalam perjalanannya kebanggaan itu terasa agak pupus karena sekarang ini untuk mencari rumah sakit yang benar-benar secara de facto dan de jure miliknya PCNU Gresik sulit ditemukan dan tentunya status kepemilikan itu sangat berbeda dengan di organisasi keagamaan yang lain.
Kesulitan juga muncul kembali ketika mencari perguruan tinggi milik PCNU Gresik, padahal ketika masyarakat Gresik masih sangat terbatas untuk menempuh pendidikan level sarjana, karena pada waktu itu kuliah yang paling dekat hanya di Surabaya, maka untuk memenuhi kebutuhan pendidikan sarjana, tokoh-tokoh NU Gresik berhasil mendirikan Universitas Islam Gresik (UNIG) dan kalau tidak salah berubah menjadi Universitas Sunan Giri di Gresik, perguruan tinggi ini cukup populer dan jaya pada jamannya, bahkan mampu mengalahkan perguruan tinggi swasta lainnya yang ada di Kota Gresik, namun pada perjalanannya perguruan tinggi yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh yang telah dikenal di masyarakat akhirnya harus mengakui keunggulan perguruan tinggi baru yang didirikan organisasi keagamaan yang lain, dan mampu menyedot animo generasi mudah NU untuk belajar di perguruan tinggi tersebut sehingga perguruan tinggi NU harus hilang tiada bekas.
Penyelamatan aset PCNU Gresik harus ditata sesuai administrasi yang baik dan tepat, sebagimana diketahui tidak semua lembaga pendidikan yang menyematkan nama dan panji-panji NU otomatis telah selesai urusan kepemilikannya untuk NU, bahkan dalam sejarah perkembangan NU di Gresik, tidak sedikit aset berupa lembaga pendidikan NU harus berpindah tangan dan berubah kepemilikan ketika NU harus keluar dari Masyumi, terlepas karena keikhlasan NU dalam perjuangan atau karena pertimbangan lain yang jelas ini sangat merugikan NU.
Belum lagi urusan aset yang tidak jelas yang selalu terjadi pada setiap pergantian pengurusan, di era keterbukaan ini seharusnya tidak terjadi lagi, seharusnya sama-sama dipahami bahwa pergantian itu pasti akan selalu terjadi dan tidak ada kepengurusan yang bersifat abadi, maka yang perlu dikembangkan adalah cara berpikir yang tidak picik maka sebaliknya harus berwawasan luas bahwa yang abadi adalah NU sedangkan kepengurusannya bisa diganti kapan saja dan diduduki siapa saja asalkan sesuai dengan alur proses, regulasi dan pantas serta mumpuni.
Sadar dan paham tentang fenomena NU juga harus tercancap kuat dalam pemikiran Pengurus PCNU mendatang, sehingga yang ditonjolkan bukan hanya rasa bangga tiada tara dengan berjalan pongah membusungkan dada karena memangku jabatan ketua organisasi besar warisan para ulama, tapi sebaiknya menyadari dengan sepenuh hati bahwa dengan jabatan itu, harus berjuang keras membantu menyelamatkan madrasah madrasah yang telah didirikan para kiyai kiyai desa dalam kondisi kembang kempis, jangankan menjadikan sebagai sarana pendidikan yang mewah dan indah, untuk memberi honor gurunya saja dengan jumlah rupiahnya yang tidak seberapa setiap bulannya kadang-kadang tidak bisa, padahal madrasah-madrasah ini bukan saja sarana pencerahan yang sangat efektif tapi lebih dari itu juga sebagai lembaga persiapan kader militan dalam mengembangkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah an nahdliyah.
Telah kasatmata, begitu luar biasa pesatnya pembangunan sarana pendidikan yang dimiliki organisasi keagamaan selain NU di Gresik ini, dan mereka dalam membangun lembaga itu pastinya tidak sendiri tapi benar-benar melibatkan kekuatan penuh dan berbagai unsur persyarikatan, bahkan tidak jarang para pengurus persyarikatan yang berada dari level paling tinggi sampai daerah terlibat dalam membangun jaringan dengan kekuasaan, maka tidak heran bila mereka membangun tidak memerlukan waktu lama dan hasilnya membikin organisasi lain terkesima melihat hasilnya.
Belum lagi tentang dana-dana halal yang bisa diterima dari masyarakat dan pemerintah yang kadang-kadang NU Gresik gagap untuk meraih itu semua, sehingga NU sebagai organisasi besar dan tua serta memiliki kontribusi besar dalam menata umat serta menjaga negara, sering dikalahkan oleh lembaga-lembaga yang lebih kecil dan cenderung diurus secara perorangan akan tetapi menangguk jumlah yang cukup besar, bahkan kini lembaga-lembaga kecil itu lebih masyhur namanya dibanding mabarrot NU atau Lazisnu bagi masyarakat perkotaan, maka ketika mau menyalurkan kelebihan rezki serta amal sedekah bagi fakir, miskin (dhuafa) dan yatim yang diingat dan diketahui adalah lembaga-lembaga kecil ini. inilah uniknya, peran NU yang begitu penting sebagai jangkar negara dan sangat beresiko tapi urusan-urusan kecil tapi bernilai agama dan memberikan keuntungan material besar diraup oleh mereka yang kecil-kecil dan cenderung perorangan itu, mulai penyediaan kambing aqiqoh sampai paket sate gulenya, dana yatim dan dhuafa, zakat mal yang proaktif diambil di rumah dan itu cukup dikendalikan dari bangunan sebesar rumah dengan beberapa tenaga anak muda saja, lalu NU yang telah lama berdarah-darah dapatnya apa.
Seiring kemajuan Gresik sebagai daerah industri yang terus bergerak maju terutama adanya pembangunan Pelabuhan Internasional dan lain sebagainya maka kehadiran para pekerja dari luar daerah cukup besar jumlahnya, konsekwensi dari hal itu kebutuhan perumahan juga cukup besar, ditengah perkembangan perumahan itu pasti diperlukan tempat ibadah (masjid) sehingga pendirian masjid di Gresik terus naik jumlahnya, ditambah kesadaran yang semakin tinggi akan pendirian masjid di perkantoran dan pabrik, maka kebutuhan akan khotib dan pemangku pengajian di masjid-masjid tersebut juga meningkat, maka ini harus benar-benar menjadi perhatian pengurus PCNU mendatang, karena jika tidak, pasti akan diisi oleh organisasi baru yang kehadirannya hampir selalu berseberangan dengan pemahaman keagamaan cara NU, ditambah lagi gerakan baru ini umumnya sangat gesit dan proaktif menyasar lini-lini yang sebenarnya telah digarap lama oleh aktifis tradisional NU.
Kendatipun madrasah maupun sekolah yang bernaung dibawah organisasi NU sangat banyak, namun hadirnya pengurus NU Gresik mendatang harus bisa berkomunikasi dengan pemerintah dalam menjaga generasi akan datang agar tidak terpapar dengan ideologi yang memecah belah bangsa, mungkin karena ketidak pahaman atau sikap cuek para kepala sekolah negeri yang telah merasa aman dan yyang penting setiap bulan gajian, sehingga apatis terhadap perkembangan ideologi trans maka memilih laissez faire sehingga tidak sedikit sekolah-sekolah negeri menjadi tempat persemaian aliran atau gerakan yang tidak jarang kontra terhadap negara yang biasanya dikemas dengan kegiatan unit kegiatan kerohanian atau kajian-kajian lainnya, dan yakinlah ini akan memperberat beban NU sebagai jangkar negara.
Penulis : Dr. Muhammad Toha, M. Si