Oleh Wildah Nurul Islami*
Kemerdekaan yang sudah diraih bukan berarti perjuangan sudah berakhir. Sebagai nasionalis sejati, kita harus tetap berjuang menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam keutuhan NKRI. Meskipun banyak ragam suku, budaya, bahasa, etnis, agama dan golongan, itu semua bisa menjadi sumber kekuatan dalam berjuang di masa kini dan masa yang akan datang. Jika keberagaman ini tidak didasari rasa persatuan, tentu bisa memicu konflik yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah sampai pada revolusi industri 4.0 dan era society 5.0 ini, jika tidak didasari nilai-nilai etika sosial maka akan berpengaruh pada munculnya degradasi moral penerus bangsa.
Semakin berkembangnya peradaban manusia, tantangan sebuah bangsa semakin besar. Apalagi dalam realitanya, permasalahan bangsa kini adalah memudarnya nilai-nilai kebangsaan pada jiwa generasi muda Hal ini yang menjadi alasan pentingnya aktualisasi nilai-nilai kebangsaan yang bersumber pada 4 pilar kebangsaan yakni Pancasila (nilai religius, kekeluargaan, keselarasan, kerakyatan, dan keadilan), UUD 1945 (nilai demokrasi, kesederajatan, dan ketaatan hukum), Bhinneka Tunggal Ika (nilai toleransi, keadilan, dan gotong royong), dan NKRI (nilai kesatuan wilayah, persatuan, dan kemandirian). Gus Dur adalah salah seorang pionir dalam penyelesaian masalah berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengimplementasikan nila-nilai etika sosial yang selaras dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pemikiran dan perjuangan KH. Abdurrahman Wahid bersifat transformatif karena gagasan-gagasan beliau memadukan pemikiran Islam tradisional, modernisme Islam, dan pemikiran Barat modern. Beliau juga merevolusi konsep-konsep etika Islam dari yang bersifat teoretik menuju praktis, dari yang berorientasi pada kepentingan individu menuju kesejahteraan sosial. Dalam konteks Indonesia, pengembangan ajaran Islam sebagai etika sosial menurut Gus Dur penting dilakukan. Beliau mengatakan bahwa agama itu kekuatan inspiratif, kekuatan moral sehingga harus membentuk etika dari masyarakat. Ketika membentuk etika masyarakat, maka agama itu sendiri merumuskan masa depan masyarakat itu seperti apa yang diingini, dengan menilai situasi masyarakat pada saat itu.
Gus Dur menggunakan istilah etika terapan dengan etika sosial yang berpedoman pada sumber ajaran Islam, baik al-Quran dan hadis, kaidah ushul fiqh, maupun ajaran tasawuf. Dalam pandangan beliau, ada tiga pola pengembangan konsep Islam sebagai etika sosial yang diharapkan mampu mengatasi problematika kehidupan sosial. Pertama, transformasi nilai-nilai etika Islam ke dalam ranah sosial. Kedua, implementasi nilai-nilai etika Islam dalam kehidupan berbangsa. Ketiga, orientasi pengembangan etika Islam diarahkan kepada penciptaan kesejahteraan bangsa (maslahah ummah). Adapun nilai-nilai etika Islam yang dicontohkan oleh Gus Dur sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diantaranya nilai toleransi, amanah, keikhlasan, kejujuran, kepedulian, keadilan, ketegasan dan keberanian, kesabaran dan pemaaf, kearifan, egaliter, kerendahan hati, kelapangan dada, nilai kerjasama, nilai cinta damai dan anti kekerasan.
Nilai-nilai etika Islam Gus Dur memiliki relevansi dengan bidang-bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu bidang agama, bidang politik dan pemerintahan, bidang hukum dan HAM, bidang sosial budaya dan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran beliau tentang konsep Islam sebagai etika sosial selaras dengan nilai-nilai kebangsaan yang bersumber pada 4 konsensus dasar negara. Misalnya, solusi terhadap problematika perbedaan cara pandang keberagamaan yang menimbulkan gerakan-gerakan Islam radikal, nilai-nilai etika sosial yang diajarkan beliau adalah menumbuhkan sikap toleransi dan kerjasama antar umat beragama, bukan malah memaksakan kehendak kelompoknya untuk mencapai tujuan yang menghalalkan segala cara.
Kemerdekaan kali ini berada dalam situasi pandemi yang belum tahu kapan berakhirnya. Problematika bangsa semakin kompleks dan pemerintah berusaha memulihkan kondisi dengan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan rakyat. Tugas kita sekarang adalah mendukung upaya pemerintah dan tidak memunculkan konflik yang memperkeruh suasana. Yang terpenting adalah menjaga persatuan dan kesatuan dengan menerapkan nilai-nilai etika sosial sebagai dasar untuk segala tindakan kita membangun bangsa. Kita bisa meneladani sosok Gus Dur dengan pemikiran transformatifnya terkait dengan konsep Islam sebagai etika sosial. Beliau melakukan perjuangan dan pembelaan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu karena ada nilai-nilai etika sosial sebagai pondasinya.
Ada beberapa bentuk perjuangan dan pembelaan Gus Dur yang bisa kita teladani dari segi nilai-nilai etika sosial. Beliau pernah berjuang membela kelompok minoritas Tionghoa yang selama ini mengalami diskriminasi karena dianggap nonpribumi. Nilai etika sosial yang ditunjukkan adalah nilai toleransi, keadilan, dan kesetaraan. Menurut beliau, etnis Tionghoa juga bagian dari bangsa Indonesia, mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan etnis lainnya hingga ditetapkannya tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Beliau juga membela Inul yang dianggap oleh para kyai membela pornografi yang tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Namun Gus Dur melihatnya dari nilai etika sosial yakni nilai kebebasan berekspresi dan keadilan individu. Selain itu, beliau juga pernah membela Ahmadiyyah meskipun berbeda pendapat dalam hal tauhid. Nilai etika sosial yang ditunjukkan Gus Dur adalah nilai kesederajatan sebagai warga negara Indonesia dan ada nilai kemanusiaan, persaudaraan, pembebasan, dan keadilan.
Kemerdekaan Indonesia yang ke-75 ini dapat dimaknai sebagai kebebasan bangsa Indonesia untuk menatap masa depan menuju Indonesia maju setelah lama terjajah oleh bangsa lain. Bangsa yang maju tidak hanya dilihat dari kemajuan pembangunan infrastruktur, namun juga kemajuan mental spiritual bangsa melalui penerapan nilai-nilai etika sosial. Pada masa pandemi ini, kita bisa meneruskan perjuangan Gus Dur dengan cara membantu masyarakat miskin atau terdampak covid-19, baik melalui pengumpulan donasi, bantuan langsung berupa sembako, dan lain sebagainya. Ini termasuk bagian dari nilai kepedulian, keikhlasan dan amanah. Selain itu, sikap yang bijak terhadap orang-orang di sekitar kita yang positif covid-19 atau telah sembuh, adalah tidak mengucilkan mereka, tetap menerima kembalinya mereka setelah sembuh, bahkan memberi dukungan moril meski tetap jaga jarak. Ini termasuk bagian dari nilai-nilai etika sosial yakni nilai persaudaraan, keadilan dan keikhlasan.
Merdeka dalam pandemi berarti lepas dari kondisi keterpurukan menuju tatanan kehidupan yang terarah. Semangat kemerdekaan ini bisa ditunjukkan dengan tiga aspek perubahan dengan menjadikan nilai etika sosial sebagai acuan. Pertama, perubahan pola berpikir. Masyarakat harus mengubah mindset dari “masa bodoh” menjadi peduli lingkungan sekitar, dari pesimis menjadi optimis untuk bisa melewati ancaman covid-19, dari pandangan hedonis dalam gaya hidup menjadi lebih religius, dan dari pemikiran konvensional menjadi terbuka menerima perkembangan TIK. Kedua, perubahan pola perilaku. Masyarakat harus siap beradaptasi dengan kebiasaan hidup baru dan menjaga konsistensi dalam protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah dalam segala aktivitas, baik di rumah maupun di luar rumah. Ketiga, perubahan tingkat religiusitas. Masyarakat harus bertawakkal kepada Allah atas ujian pandemi. Pendekatan kepada Allah adalah cara yang paling baik untuk menenangkan akal dan hati akibat wabah yang merebak.
*Penulis adalah dosen STAI Ar-Rosyid Surabaya