Oleh : Ahmad Rofiq *
SYAHDAN, seseorang sedang tertimpa suatu masalah atau persoalan. Ia bertanya pada banyak orang tentang permasalahan yang ia hadapi dan meminta saran serta solusi. Semakin banyak orang yang ia curhati, malah ia semakin bingung. Saat bertanya pada si A, jawabannya “begini”. Ketika konsultasi pada si B, jawaban si B bukan “begini” tapi “begitu”. Ketika konsultasi pada si C, dijawab bahwa solusinya adalah “seperti ini”. Tetapi saat curhat pada si D, jawabannya justru beda lagi, bukan “seperti ini”, tapi “seperti itu”. Singkatnya, orang yang tertimpa persoalan itu semakin bingung. Sebab mendapatkan saran yang berbeda-beda.
Terakhir, ia menemui seseorang yang memiliki sedikit kebijaksanaan. Lelaki bijak itu berkata, “Kau sudah berkonsultasi pada banyak orang, telah bertanya pada banyak orang tentang solusi dari persoalan yang sedang kamu hadapi. Nyatanya kamu malah menjadi semakin bingung dengan saran atau usul yang mereka berikan. Ada satu yang tidak kamu ajak diskusi, tidak kamu mintai pendapat dan saran. Padahal, justru satu orang itulah yang paling penting dalam menyelesaikan masalahmu.”
“Siapa?” tanya lelaki itu
“Dirimu sendiri. Kamu terlalu sibuk bertanya pada orang, sehingga lupa bertanya pada dirimu sendiri”.
Para Nutizen di manapun berada. Seperti lelaki itulah yang seringkali terjadi pada diri kita. Saat kita tertimpa persoalan, kita akan begitu semangat mencari solusinya. Kita sibuk bertanya ke sana kemari, atau curhat dengan orang yang kita temui. Kita banyak menghabiskan waktu untuk mencari “jalan keluar” untuk bisa mengatasi persoalan. Sehingga kita lupa mencari “jalan ke dalam” yang justru lebih penting.
TRADISI MENCERDASKAN DIRI
Bila kita merunut sejarah, akan kita jumpai bahwa kebanyakan orang-orang besar, para pahlawan atau pemimpin dunia adalah orang-orang yang punya tradisi “ber-kholwat”, bertapa, meditasi atau berdialog dengan diri sendiri.
Lelaku “menyendiri untuk sementara waktu” itu sangat penting. Sebab dalam kondisi seperti itu, orang akan bisa dengan leluasa berdialog dengan diri sendiri. Intensitas penjagaan jarak dari orang lain itulah yang sangat powerfull untuk meningkatkan level kesadaran. Sehingga pada akhirnya seseorang dapat menemukan jati dirinya.
Tradisi ber-kholwat, bertapa atau menjaga dari hiruk-pikuk keramaian inilah yang dijalani tokoh-tokoh dunia dari berbagai macam agama.
Kita tahu kisah nabi Yusuf as yang karena suatu fitnah sehingga harus berada di penjara. Nabi Musa di bukit Tursina. Seperti yang juga kita ketahui, bahwa salah satu kebiasaan Nabi Muhammad Saw, terlebih ketika bulan romadhon adalah menjalani kholwat atau menyendiri di gua Hira. Dengan menyendiri dan menjaga jarak dari keramaian agar bisa fokus dan intensif ber-ibadah.
Ber-kholwat atau menyendiri untuk melakukan muroqobah, berdialog dengan diri sendiri juga salah satu cara untuk meningkatkan level kesadaran dan juga kecerdasan.
Selama ini yang banyak dipahami secara “kurang tepat”, semakin banyak banyak ber-interaksi dengan hal-hal eksternal, misalnya buku, orang, media dan sebagainya, maka akan membuat kita semakin cerdas. Ada benarnya, namun kurang tepat. Nyatanya secara historis banyak sekali orang besar yang peningkatan kualitas kesadaran dan kecerdasan mereka justru karena intensif-nya mereka bersinggungan dengan hal-hal internal. Sebut saja “bertapa,” menyendiri atau menjaga jarak dari keramaian.
Dengan akan diberlakukannya PSBB dan juga jam malam ini, kita punya peluang besar untuk “meneladani” Kanjeng nabi dalam urusan ber-kholwat ini. Sudah terlalu lama kita menghabiskan waktu di luar. Terlalu banyak waktu yang kita gunakan untuk rapat, bertukar pikiran atau jagongan dengan orang lain di luar sana. Di ruang rapat, di kelas, di kantor, tempat kerja atau bahkan di cafe atau warung kopi.
Begitu intensifnya kita berdialog dengan orang lain, bermusyawarah dengan orang lain sehingga kita tidak pernah berdialog dengan diri sendiri. Kita jarang sekali mengadakan rapat atau musyawarah dengan diri sendiri. Sehingga, dengan diberlakukannya PSBB dan Jam Malam ini, kita akan punya lebih banyak waktu untuk melakukan Tahannuts. Menjalani kholwat dan melakukan instrospeksi diri secara lebih intensif. Adapun tempatnya, tentu saja di rumah kita sendiri-sendiri.
Dengan menjalani kholwat kolosal di rumah masing-masing, kita akan semakin banyak punya waktu untuk mendengarkan banyak hal, termasuk suara hati kita sendiri-sendiri. Suara nurani itulah yang relatif lebih dekat dengan “suara”.
Bukankah selama ini kita terlalu banyak bicara, terlalu banyak mengadu, terlalu banyak merengek dan meminta pada Tuhan sehingga kita tidak sempat mendengar “suara-Nya”???
Wallahu alam bisshowab
* Penulis adalah Founder PPV AL HIDAYAH (Pesantren Virtual Pertama di 5 Benua) yang mengajarkan secara online berbagai kitab kuning dengan metode ala pesantren. Saat ini penulis tinggal di nomor 082139536592