Oleh : Muhammad Toha*
BIASANYA nama jalan penting (utama) atau tempat dimana pusat pemerintahan suatu kota/kabupaten berada diambilkan nama tokoh yang memiliki hubungan sejarah atau pendirian daerah tersebut, misalnya di Kabupaten Bangkalan, nama jalan yang terletak di pusat kota adalah Sultan Abdul Kadirun, tokoh yang makamnya terletak dibagian barat (belakang) Masjid Jamik Kabupaten Bangkalan ini adalah raja (Penguasa) Madura Barat yang berpusat di Bangkalan, begitu juga di Kabupaten Pamekasan, nama jalan penting adalah Ronggo Sukowati, nama ini sangat beraroma Jawa dan ketika kami cari tahu pada masyarakat disekitar makamnya, tokoh ini memang berasal dari Jawa dan menjadi Bupati Pertama Kabupaten Pamekasan.
Begitu juga di Bandung selain jalan Braga, juga terdapat nama jalan yang bernilai sejarah yaitu Jalan Dipati Ukur, nama ini diambil dari seorang adipati penguasa Tatar Priyangan yang diperintah Sultan Agung Penguasa Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Kota Gede Yogyakarta untuk menyerang Belanda di Batavia, nama lain yang cukup terkenal sebagai nama jalan di Bandung adalah Mohamad Toha putra asli Pasundan dikenal sebagai Pahlawan Bandung Selatan. Demikian juga nama Mohammad Husni Thamrin, juga nama Pangeran Jayakarta, dua tokoh besar ini diabadikan sebagai nama jalan di Ibu kota karena memiliki hubungan sejarah perjuangan dengan tanah kelahirannya dan memang kedua tokoh ini adalah putra asli Betawi.
Bagaimana dengan nama jalan di Gresik bila dibandingkan dengan penamaan jalan penting (utama) di daerah lain, tulisan ini intinya menawarkan usulan barangkali ada baiknya nama jalan yang memanjang persis didepan Kantor Pemerintahan Kabupaten Gresik dipertimbangkan kembali untuk ditata ulang sehingga aroma Gresik lebih terasa serta memiliki hubungan historis secara langsung, contohnya, jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo, jalan ini sangat panjang, membentang mulai perempatan Kebomas dan terus menerabas beberapa pertigaan dan perempatan yang demikian ini tidak lazim ada di Gresik, biasanya nama jalan di Gresik apabila terdapat perempatan atau pertigaan, nama jalan itu berganti, seperti, jalan Haji Oemar Said Cokroaminoto (HOS Cokroaminoto) yang sangat pendek dan tidak dilanjutkan atau digabung dengan jalan Raden Santri untuk sisi selatan atau jalan Nyai Ageng Arem Arem untuk sisi utara, karena sisi utara ada perempatan dan sisi selatan ada pertigaan.
Begitu juga jalan Nyai Ageng Pinatih yang juga pendek dan tidak disambung atau digabung dengan jalan Haji samanhudi karena harus terputus perempatan disisi barat, juga antara jalan M.H. Thamrin dengan jalan Akim Kayat, walaupun sama-sama pendek tapi jalan ini tetap tidak digabung karena ditengahnya ada pertigaan jalan KH. Abdul Karim, demikian halnya jalan KH. Kholil dengan Jl. Sindujoyo yang harus terputus karena ada pertigaan menuju bale gede Lumpur, namun ini tidak berlaku untuk jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo, sehingga mulai perempatan Kebomas terus menerobos pertigaan jalan Tri Darma (pertigaan Petrokimia), terus kebarat menerobos pertigaan jalan menuju Perumahan Gresik Kota Baru, terus melewati pertigaan Masjid Agung dan belok kebarat memanjang menerobos perempatan jalan KH. Syafi’i sehingga jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo sangat panjang untuk ukuran umumnya jalan Gresik.
Pilihan yang arif adalah memotong jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang terlalu panjang, bila diawali dari perempatan Kebomas maka pantasnya diakhiri sampai pertigaan jalan menuju Perumamahan Gresik Kota Baru, itupun sebenarnya tidak sesuai dengan kebiasaan pemotongan nama jalan yang telah umum di Gresik, yaitu terus menerobos pertigaan jalan Tri Darma, sedangkan mulai pertigaan Perumahan GKB sampai pertigaan Masjid Agung Maulana Malik Ibrahim Gresik diganti dengan nama jalan Kanjeng Ngabei Pusponegoro, kemudian mulai pertigaan Masjid Agung Maulana Malik Ibrahim sampai perempatan jalan KH. Syafi’i (jalan depan kantor Pusat Pemerintah Kabupaten Gresik) diganti dengan nama jalan Giri Kedaton.
Dipilihnya nama jalan Giri Kedaton karena memiliki hubungan dengan figure tokoh pendiri Kabupaten Gresik yaitu Sunan Giri yang diperingati jumenengannya setiap tahun dalam bentuk peringatan Hari Jadi Gresik, barangkali muncul pertanyaan mengapa tidak menggunakan nama Sunan Giri saja, harus dimaklumi nama tersebut sudah digunakan di jalan perempatan Kebomas kearah selatan. Lalu kenapa dahulu nama jalan Sunan Giri disematkan disitu, mungkin karena pertimbangan yang dipilih pemerintah pada waktu itu karena makam dan pusat perjuangan Sunan Giri berada di wilayah itu.
Kalaupun mau sebenarnya bisa saja menggeser nama jalan Sunan Giri kedepan Kantor Pemda Gresik karena itu tidak ada larangan, namun yang pasti berbiaya tinggi dan sedikit banyak akan menuai protes masyarakat yang bermukim di sekitar jalan Sunan Giri mengingat wilayah itu merupakan pemukiman padat penduduk, sehingga akan menambah pekerjaan pada bagian kependudukan, yakni harus menyesuaikan Kartu Tanda Penduduk atau surat surat dan administrasi lainnya, belum lagi urusan badan usaha yang sudah sangat terkenal pasti akan keberatan. Alternatif lainnya adalah karena nama jalan Sunan Giri sudah digunakan, maka dapat diambil nama lain atau nama gelar yang dimiliki Sunan Giri, misalnya Raden Paku, Joko Samudro, Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih, namun pilihan ini kemungkinan dinilai tumpang tindih dan generasi mendatang akan bingung karena dua nama berbeda yang digunakan sebagai nama jalan ditempat berbeda adalah memang dua tokoh yang berbeda pula.
Barangkali pilihan yang bagus adalah membiarkan nama jalan Sunan Giri tetap di perempatan Kebomas arah selatan, sedangkan jalan depan Kantor Pemda Gresik diganti menjadi jalan Giri Kedaton, karena bila diurai lebih detail yang dimaksud Giri adalah Sunan Giri, sedangkan kalau dibahas lebih jelas dalam Bahasa Sanskerta yang memiliki pengaruh besar dalam Bahasa Jawa dan Sunda, arti Giri adalah gunung, sehingga Sunan Giri maksudnya Susuhunan (Sunan) yang mengendalikan kekuasaannya dari puncak gunung, sedangkan kedaton berasal dari kata dasar datu yang artinya raja, ratu atau tokoh keramat, dengan mendapatkan tambahan ke-an berarti menunjukkan tempat, contohnya keraton dari kata ke-ratu-an menjadi keraton (tempat ratu), ke-adipati-an menjadi kadipaten (tempat adipati), ke-bupati-an menjadi kabupaten tempat bupati), ke-tumenggung-an menjadi ketumenggungan (tempat tumenggung), ke-panji-an menjadi kepanjen (tempat panji), ke-rangga-an menjadi keranggan (tempat rangga).
Sehingga yang dimaksud dengan kedaton dari kata ke-datu-an adalah kerajaan atau pusat pemerintahan dan bila digabungkan menjadi satu kalimat Giri Kedaton artinya pusat pemerintahan Sunan Giri atau pusat pemerintahan yang berada dipuncak gunung, sehingga tepat kiranya bila didepan Pemda Gresik yang merupakan pusat pemerintahan, nama jalannya diganti dengan jalan Giri Kedaton. Alasan lain adalah untuk mengganti nama jalan ini, ekses dalam pekerjaan administrasi kependudukan lebih ringan karena relatif lebih sedikit perkampungan yang berada di kiri kanan jalan tersebut dan yang lebih mendominasi adalah deretan perkantoran.
*Penulis tinggal di Gresik, kini mengemban tugas sebagai Kepala Pusdiklat Kantor Kemenag Jawa Timur