Oleh : Muhammad Toha*
Biasanya pengamat, peneliti, penulis memberi lebel NU yang merupakan organisasi keagamaan terbesar didunia ini dalam kelompok Islam tradisional walaupun sebenarnya untuk kontek kekinian sudah tidak tepat lagi, namun karena sebutan tradisional sudah melekat cukup lama sehingga kendatipun organisasi ini telah bergerak melesat menyalip organisasi keagamaan yang lain, tapi sebagian masyarakat masih menilai Jam’iyyah yang didirikan di Surabaya dalam kelompok Islam tradisional.
Cukup beralasan ketika ada kalangan yang menggolongkan NU adalah organisasi keagamaan tradisional karena mungkin mereka melihat fakta, umumnya umat NU berada di pedesaan, kalaupun punya lembaga pendidikan biasanya di daerah pedesaan, begitu juga pondok pesantren yang menjadi salah satu penyangga kokohnya NU baik yang kaliber besar, sedang maupun kecil biasanya berada di daerah pedesaan, bagi mereka yang tidak sepaham dengan NU pasti akan melontarkan pemeo bahwa NU adalah organisasi kampung atau ndeso, padahal andaikan mereka mau berpikir obyektif pasti akan berterimakasih pada NU.
Dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini, para tokoh agama (kiai) pernah dikejar kejar dan menjadi target buruan para penjajah, contohnya KH. Zainal Mustofa dari Singaparna Tasikmalaya yang dibunuh bersama para santrinya serta dibumi hanguskan pondok pesantrennya karena dianggap melawan penjajah Jepang, juga Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari harus merasakan hidup di penjara karena terus berjuang mengobarkan semangat jihad merebut kemerdekaan, dan masih banyak lagi kisah heroik perjuang bangsa ini yang dipimpin para tokoh agama.
Menghadapi penjajah yang sangat represif pada para kiai inilah maka tidak ada pilihan lain selain berjuang di wilayah pedesaan, membuka hutan (babat alas) didaerah yang relatif jauh dari kota dan terus menjaga nilai nilai perjuangan yang tidak pernah padam bersama para santrinya dan tentu saja ini tidak mungkin bisa dilakukan di area tengah perkotaan pasti akan dihancurkan oleh para penjajah dengan berbagai alasan misalnya akan merusak penataan kota yang telah dirancang oleh penjajah, sehingga bangunan bangunan megah bertembok tebal beratap tinggi, berpilar besar menghadap jalan lebar dan mulus umumnya milik lembaga yang memili ki hubungan baik dengan penjajah, maka jarang sekali ada pondok pesantren atau masjid tua yang berdiri di dekat Balai Kota.
Dari hutan itu kemudian dibabat menjadi desa dan perkampungan yang layak untuk tempat tinggal masyarakat, biasanya diawali membangun masjid dan pondok pesantren lalu berkembang menjadi tempat ramai dan terkenal, keramaian itu bukan saja karena penduduknya berkembang beranak-pinak namun juga mendapat tambahan jumlah person dari luar yaitu para santri yang datang dari mana-mana untuk mencari ilmu di pondok pesantren, sehingga desa kecil terpencil dipinggir hutan menjadi terkenal, sehingga tidak jarang nama dusun dimana pondok pesanten berdiri akan lebih terkenal dibandingkan desa atau kecamatan yang membawahi dusun itu, contohnya Dusun Tebuireng menjadi sangat populer ketika ada pondok pesantren yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari begitu juga dengan Lirboyo di Kediri, Termas di Pacitan, dari desa terpencil ini para kiai membangun kekuatan untuk terus tetap berjuang mencapai kemerdekaan negeri ini.
Jasa besar lainnya para kiai di pedesaan adalah penjagaan terhadap keyakinan dan tradisi budaya masyarakat Nusantara, kendatipun negeri ini dijajah ratusan tahun lamanya, namun kondisi masyarakat sebagian besar tidak berubah menjadi kebarat baratan (kemlondo) tentunya ini berbeda dengan negara bekas jajahan sekitar kita yang para tokoh agama (kiai) tidak mengambil peran maksimal ditengah-tengah masyarakatnya, kendatipun kehadiran penjajah di Nusantara tidak saja mengambil kekayaan negara jajahannya saja dengan slogannya gold, glory, gospel tapi juga menyemaikan agama yang diyakininya, tapi karena para kiai begitu gigih sehingga Islam masik menjadi mayoritas.
Ketika Kolonial Belanda tidak mengijinkan penduduk non elite pribumi Nusantara untuk mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian besar kaum pribumi Nusantara banyak yang buta aksara latin alias tidak dapat membaca dan menulis latin, maka para kiai mengenalkan huruf pegon (huruf jawi) yaitu huruf Arab yang telah disesuaikan dengan Bahasa Jawa, sehingga kegiatan keilmuan, surat menyurat termasuk administrasi organisasi dan urusan pencatatan dalam kehidupan kemasyarakatan serta keagamaan menggunakan huruf pegon, sehingga karena pengguna huruf pegon ini banyak maka pemerintah kolonial Belanda terpaksa menggunakan huruf ini juga dalam menulis pengumuman serta dalam mata uang.
Kenapa kiai mengajarkan huruf pegon pada waktu itu, karena huruf Arab telah dikenal masyarakat melalui tulisan dalam kitab al Qur’an, sehingga tinggal menyesuaikan atau sedikit mengkreasikan huruf-huruf yang tidak terdapat dalam huruf Arab, misalnya huruf “p” yang tidak ada dalam rangkaian abjad huruf Arab, maka yang dilakukan adalah menambah titik tiga diatas huruf “f” atau fa’, untuk mendapatkan huruf “c” yang tidak ada dalam huruf Arab yaitu memberi titik tiga pada bagian bawah huruh “j” atau ja dalam huruf Arab dan seterusnya, sehingga walaupun tulisannya Arab tapi bahasanya bisa Jawa, Madura, Sunda, Melayu atau bahasa-bahasa etnis yang lain.
Inilah salah satu kearifan kiai pada waktu itu, ketika Belanda menggunakan huruf latin untuk berbagai keperluan mulai pendataan administrasi, tulis menulis dalam dunia pendidikan maupun mengatur kehidupan yang lebih luas, disisi lain wilayah-wilayah yang memiliki hubungan dan diurus kerajaan menggunakan aksara jawa (hanacaraka), ternyata ada ranah kosong yang tidak tersentuh diantara keduanya yaitu pihak yang menggunakan huruf latin maupun huruf jawa, maka tepat jika para kiai mengenalkan huruf pegon bagi masyarakat yang berada dalam wilayah kosong ini.
Ketika Belanda membangun HIS atau Mulo lembaga pendidikan ini diperuntukkan bagi kalangan Belanda atau timur jauh dan peranakannya, kalaupun ada dari pribumi tentunya dari kalangan bangsawan yang sangat sedikit jumlahnya, maka untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat kelas bawah yang tidak mungkin bisa mengenyam pendidikan itu, maka para kiai makin getol mendirikan dan mengembangkan pesantren sebagai sarana pendidikan pribumi jelata, dalam pendidikan pesantren ini, tidak hanya dididik masalah agama saja tapi juga ilmu kemasyarakat, kepemimpinan, pertanian, peternakan dalam praktek yang sebenarnya meskipun luasannya masih dalam ukuran pesantren atau desa.
Sehingga dalam praktek sesungguhnya di masyarakat, tidak sedikit hasil pendidikan pesantren terlibat perjuangan nyata dalam membina masyarakat, memimpin pergerakan maupun panglima lascar perjuangan seperti Hizbullah, Sabilillah mulai tingkat pusat sampai daerah, sehingga bagi diri kiai dimanapun berada bagaimanapun situasinya akan tpetap berjuang selagi jasad masih bernyawa.
*Penulis tinggal di Gresik dan kini bertugas di Surabaya sebagai Kepala Pusdiklat Kantor Kementerian Agama Jawa Timur