Beberapa hari setelah Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad NU dikumandangkan Hoofd Bestuur Nadlatoel Oelama atau sekarang disebut Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945, rakyat Surabaya beserta pemimpin pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Hizbullah dan kelaskaran-kelaskaran lain, terlihat mengatur persiapan tersendiri dalam usaha menyambut rencana pendaratan pasukan Sekutu di Surabaya. Sebagian besar usaha penyambutan itu di luar perkiraan pemerintah RI di Jakarta.
Menurut KH Agus Sunyoto pada buku Fatwa dan Resolusi Jihad; Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya, 10 November 1945, rakyat dan anggota kelaskaran di Surabaya melakukan latihan menembak menggunakan aneka jenis senjata. Mereka yang berlatih tidak hanya pemuda-pemuda kampung sekitar markas TKR, melainkan diikuti pula pemuda-pemuda dari kampung-kampung yang jauh dari markas TKR seperti kampung Kranggan, Blaoeran, Kebangsren, Kedoengdoro, Kedoengroekem, Genteng, Goebeng, Kepoetran, Dinojo, dan bahkan Wonokromo.
Sementara tiap sore sampai malam, beratus-ratus pemuda dari Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Gresik, Malang berkumpul di Pesantren-pesantren, terutama Pesantren Ngelom, Sepanjang, untuk menerima gemblengan dari KH Hamzah Ismail, keluarga KH Abbas, Boentet, Cirebon. (Zuhri, 1987; Haidar, 1998; Anam, 1999; Bizawie, 2014; K.M.Soelchan, 1 1-10-1989; Moeljadi, 5-11-1988).
Tanggal 23 Oktober 1945 di tengah kesibukan berlatih menembak dan mempersiapkan penyambutan kedatangan Sekutu serta membincang seruan Jihad Fi Sabilillah yang disampaikan KH Hasyim Asy’ari, penduduk Kota Surabaya hangat membincang tentang bakal terjadinya perang besar di Surabaya melawan balatentara lnggris dan Belanda yang akan datang atas nama Sekutu.
Tidak diketahui siapa yang mula-mula menyebarkan ramalan Jayabaya. Hal ini seperti saat Jepang akan datang tiba-tiba. Waktu itu tersebar ramalan Jayabaya tentang bakal datangnya “orang cebol kulit kuning yang lamanya hanya seumur jagung”.
Saat menjelang kedatangan tentara Sekutu pun, tersebar kembali ramalan Jayabaya yang memungkinkan akan pecahnya perang besar di Surabaya. Ramalan tersebut hangat diperbincangkan masyarakat sejak memasuki minggu kedua bulan Oktober1945.
Tersebarnya Fatwa Jihad fi Sabilillah NU memperkuat perbincangan tentang ramalan itu. Hampir semua yakin bahwa seruan dari KH Hasyim Asy’ari itu akan menjadi pemicu bagi pecahnya perang besar di Surabaya melawan lnggris dan Belanda sebagaimana telah diramalkan.
Dalam perbincangan mereka, ramalan Jayabaya dalam perang besar itu akan dimenangkan oleh orang-orang Jawa yang menggunakan senjata bambu runcing. Para pemuda di gardu-gardu penjagaan kampung dengan serius mendengarkan orang-orang tua melantunkan tembang “Dandanggula Semut Ireng” yang memuat ramalan Jayabaya tersebut:
Semut ireng anak-anak sapi/ Kebo bang kang nyabrang bengawan/ Keong gondang dowo sungute/ Suroboyo geger kepati/ Ramene wong ngoyak macan/ lamun kecekel den wadahi bumbung// (Semut hitam beranak sapi/ Kerbau bule menyeberang sungai besar/ keong besar bermisai panjang/ Surabaya perang besar/ gaduhnya orang mengepung harimau/jika (harimau) tertangkap diwadahi bambu.
Menurut KH Agus Sunyoto orang-orang Surabaya menafsirkan ramalan tersebut dengan pemahaman masing-masing, tapi secara umum, hampir mirip. Semut ireng atau semut hitam bermakna orang Jawa yang kecil dan lemah tak memiliki kekuatan; “anak-anak sapi” berarti melahirkan sapi, ditafsirkan melahirkan sapi hutan atau banteng yang siap menyerang musuh. “Kebo bang” ditafsirkan sebagai kerbau bule yang berarti Belanda dan Inggris. “Kang nyabrang bengawan” ditafsirkan bahwa bangsa bule itu menyebrang lautan datang ke Indonesia.
“Keong gondang dowo sungute” ditafsirkan sebagai kendaraan tank baja dengan meriam panjang di depannya. “Suroboyo geger kepati” dimaknai sebagai bahwa kota di Surabaya akan terjadi geger dan perang besar mati-matian. “Ramene wong ngoyak macan” kegaduhan terjadi rakyat Surabaya mengepung orang-orang bule (Inggris) yang memiliki lambang negara harimau. “Lamun kecekel den wadahi bumbung//” dimaknai sebagai jika (harimau) tertangkap, dimasukkan ke dalam bambu. Artinya kekalahan Inggris hanya mungkin dikalahkan dengan bambu. Bambu di sini artinya bambu runcing. Penulis: Abdullah Alawi
Sumber: Abdullah Alawi, www.nu.or.id