Oleh: Muhamad Arif*
KOLOM KALEM | NUGres – Salah satu tradisi yang semakin berkurang peminatnya di kalangan pemuda Nahdlatul Ulama adalah tradisi menulis. Sebuah tradisi yang membutuhkan pembiasaan membaca, merenung, serta analisis mendalam. Hal ini mungkin menjadikan tradisi ini sulit dipilih oleh para pemuda.
Padahal, jika melihat “sejarah masa lalu”, tradisi menulis merupakan warisan peradaban Islam yang dimulai sejak zaman kanjeng Nabi Muhammad Saw dan para sahabat, hingga berkembang di kalangan ulama Nusantara.
Sejenak kita merenung, mengenang para ulama yang hampir tidak pernah kita temui atau bertatap muka, karena mereka telah wafat. Namun, meskipun mereka telah tiada, kita masih bisa merasakan kehadiran pemikiran dan karya-karya mereka melalui hasil dari “tradisi menulis”.
Misalnya saja Al-Ghazali, seorang ulama sekaligus penulis produktif yang hidup pada abad ke-5 Hijriah atau abad ke-11 Masehi. Al-Ghazali meninggalkan tidak kurang dari seratus karya yang hingga kini masih bisa kita pelajari. Magnum opus Al-Ghazali, yaitu Ihya’ Ulumuddin, terus berdenyut hingga saat ini dan menjadi sumber kajian para ulama serta santri pondok pesantren di Nusantara.
Jika kita berpaling pada warisan keilmuan yang dihasilkan oleh para ulama Nusantara, kita akan menemukan bahwa meskipun sebagian besar karya mereka muncul di dunia yang berbeda, karya-karya tersebut tetap diakui secara luas.
Salah satunya adalah Syekh Nawawi al-Bantani, ulama asal Banten yang lahir pada abad ke-19 dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam, khususnya di Makkah. Salah satu karya monumental beliau yang terus dikaji di pesantren hingga kini adalah Sullam at-Taufiq.
Bergerak sedikit lebih jauh, ada tokoh penting dalam sejarah pengembangan Islam di Nusantara, yaitu KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada abad ke-19.
Beliau memberikan teladan penting tentang “tradisi menulis”. Beberapa karya dan pemikirannya, seperti kitab Risalah Ahli Sunnah wal Jamaah, Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim, dan berbagai karya lainnya, masih terus dikaji dan diteruskan hingga kini.
Pemilihan ketiga ulama tersebut bukan tanpa alasan. Selain memiliki konsensus dalam mengembangkan Islam, ketiga tokoh masyhur ini juga meninggalkan warisan pemikiran melalui tulisan (kitab), yang hingga kini tetap menjadi rujukan bagi generasi setelahnya.
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa para ulama yang wafat dengan meninggalkan karya-karya tulisan seakan-akan tetap hidup, memberikan pengingat kepada kita yang hidup di zaman yang berbeda. Lantas, bagaimana dengan kita yang masih hidup, namun belum mampu berkarya?
Ini seharusnya menjadi pelecut semangat bagi kita untuk memulai tradisi menulis yang telah diwariskan oleh para ulama. Menulis adalah tradisi yang wajib dilestarikan agar sejarah peradaban tetap eksis.
Meminjam kata-kata Pramoedya Ananta Toer, yang sering kita temui di berbagai media sosial, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, sebuah fakta yang tidak dapat disangkal, karena sudah banyak bukti bahwa menulis adalah cara untuk meraih keabadian.
Sebagai refleksi diri, sekaligus momentum untuk mengajak para pembaca, terutama generasi muda—Gen Y, Z, dan Alpha—untuk kembali menghidupkan “tradisi menulis”, di tengah berkurangnya minat untuk menulis.
Karena satu-satunya warisan yang bisa kita tinggalkan bagi generasi selanjutnya adalah keilmuan yang diabadikan dalam tulisan, yang kelak dapat dijadikan rujukan dalam setiap langkah kehidupan mereka.
Akhir kata, saya tidak akan lupa mengutip kata-kata Imam Syafi’i: “Kalau kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah”. Sebuah pesan yang mendalam, terutama bagi kita yang lahir dari garis keturunan orang biasa, namun ingin meninggikan derajat diri. Mari kita mulai dengan terus mengkaji ilmu pengetahuan dan menulis.
*Muhamad Arif, Dosen Institut Al Azhar Menganti Gresik